• HOME
  • ABOUT ME
  • CONTACT
  • WIRDY'S PROJECT

Rahayu Wulandari Ibrahimelya

Daripada tawuran, mending kita curhat-curhatan





Gue termasuk anak yang boros. Gue nggak bisa lihat nasi padang lama-lama begitu saja di etalase. Kasihan. Nasi padangnya minta dimakan banget.
Gue boros untuk hal yang berbau makanan. Untuk baju, tas dan sepatu mah boro-boro. Yang penting makan, makan dan makan.

Besok-besok kalo gue jadi caleg, gue mau bikin slogan 3M. Makan, makan dan makan. Okesip.
Tenang aja. Kalo gue jadi DPR, gue nggak bakal tidur di sidang paripurna kok. Gue hanya bakalan tidur di pundak dan dada bidang kamu. Eheheew

Gue memang boros untuk hal-hal makanan, tapi bukan berarti gue pecinta makan makanan berat. Cukup rindu aku ke kamu aja yang berat, makanan nggak usah.
Gue boros untuk makanan yang berupa cemilan. Gue bisa-bisanya bangun tengah malam hanya untuk duduk di pinggir tempat tidur, membuka cemilan dan mengunyahnya dengan penuh khidmat.

Gue selalu salut dengan orang yang menerapakan prinsip hemat di hidupnya. Menyisihkan uang bulanan untuk disimpan, membuat tabungan harian kecil, dan berbagai macam cara berhemat dan menabung lainnya.

Memang bener ya, Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan dan saling melengkapi.

Kalimat itu yang ada di pikiran gue di tahun 2012 silam. Ketika itu gue memiiki pacar yang super hemat. Sementara gue anaknya boros.
Saling melengkapi, right?

 Saat itu gue masih duduk di semester awal kelas satu SMK. Gue mengenal dekat seorang lelaki yang usianya lebih tua 3 tahun daripada gue. Ketika itu dia sudah bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan.
Namanya Deni.
Serius. Ini bukan nama samaran.

Sampai pada suatu hari, Deni mengajak gue untuk menghadiri undangan pernikahan temannya. Mengingat lokasi undangan yang cukup jauh karena menempuh perjalanan satu jam lebih, Deni meminta izin kepada Ayah dan Ibu untuk membawa gue satu harian.
Ayah dan Ibu mengizinkan.

Sekitar jam 10 pagi, gue dan Deni berangkat dengan riang gembira. Sesaat sebelum pergi, gue yang mendadak kehausan  berkata kepada Deni, ‘’ Aku haus. Berhenti cari minum dulu dong. ‘’
Deni memberhentikan motornya dan mendekat ke sebuah warung kecil. Gue cukup tercengang saat Deni menghampiri gue dengan menyodorkan minuman frutang.

Oke nggak papa. Gue pun langsung meminum habis minuman itu. Perjalanan kembali dilanjutkan.

Sesampainya di tempat undangan, seperti orang pada umumnya, gue dan Deni langsung menuju pada bagian makanan yang terhidang. Tadinya gue pengen gantiin mempelai wanitanya di atas pelaminan, tapi nggak jadi. Mending gue gantiin pas malam pertamanya aja.  Enak.
Makanannya. Makanannya di sana enak-enak.

Setelah selesai makan, menyalami kedua mempelai, gue dan Deni memutuskan untuk mencari mesjid terdekat. Di sana kami solat dan berdoa dengan penuh khusyuk. Terutama gue, gue berdoa supaya nanti nggak dikasih minuman frutang lagi. Seret euy.
Jam menunjukkan pukul tiga sore. Deni mengajak gue ke salah satu mall yang ada di daerah tersebut. Motor yang Deni kendarai berhenti di pinggir jalan dan di luar area mall.

  ‘’ Kok kita parkir di sini? ‘’ tanya gue heran. Melihatnya melepaskan helm dan mematikan motor, gue juga turut turun dari motor.

  ‘’ Iya, kita parkir di sini aja ya. Kalau masuk nanti kena biaya parkir. ‘’

Sore itu, dengan cuaca yang cukup panas dan membuat badan gerah, gue dan Deni berjalan kaki menuju pintu masuk mall. Jarak yang terbilang cukup jauh dari posisi parkir motor yang di tepi jalan.



Sepertinya Deni sedang menerapkan GISDH. Gerakan Indonesia Sehat dan Dompet Hemat.



Sesampainya di dalam mall, gue dan Deni berjalan mengitari segala penjuru mall. Dari lantai dasar sampai lantai paling atas. Dari kiri ke kanan. Dari masuk sampai keluar lagi dari toko buku. Dari cleaning service ganti shift satu sampai ganti ke shift lima.
Gue dan Deni tetap berjalan dengan langkah yang pasti. Langkahnya doang yang pasti, tujuannya nggak pasti. YHA.
Selama berjalan mengitari mall, gue selalu tertinggal di belakang dari Deni. Deni jalannya cepet banget. Lebih cepet dari usia hubungan lu sama dia yang tiba-tiba kandas. Cepet deh pokoknya. Sementara gue selalu celingukan di belakang. Diantara kerumunan orang-orang yang berlalu lalang.
Pribahasa yang tepat untuk gue yang kebingungan ketika itu adalah, bagai anak ayam kehilangan om-omnya.

Saat itu gue masih pacaran dengan malu-malu. Pegangan tangan aja malu. Jadi maklum aja kalo gue sering ketinggalan jalan di belakang Deni.

Kegiatan mengitari mall yang dimulai dari pukul tiga itu akhirnya selesai saat jarum jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Gila. 4,5 jam gue dan Deni jalan keliling mall  tanpa tujuan yang jelas.


4,5 JAM GAESSS??

Saat itu gue ngerasa jadi peserta jalan sehat di tujuhbelasan.
Jangankan membeli sebiji barang, makan juga enggak. Jangankan makan, ditawarin juga kagak.
Gue mendadak lemes dengan perut yang meminta diisi saat berjalan keluar dari mall.

Setelah sampai di motor, gue dan Deni langsung memutuskan untuk pulang ke rumah. Takut pulang kemalaman. Eh tapi memang udah malem sih.
Tidak sampai limabelas menit perjalanan, hujan turun dengan derasnya. Deni langsung kelabakan dan mencari tempat untuk berteduh. Malam itu, gue dan Deni berteduh di depan salah satu ruko yang tutup. Tepat di sebelah kami berteduh, seorang bapak tua terlihat juga ikut berteduh ditemani dengan gerobak bakso putihnya.

Wah mantap nih. Hujan-hujan, dingin, makan bakso, bareng pacar lagi, gumam gue ketika itu.

  ‘’ Kamu mau bakso? ‘’ Deni menoleh ke arah gue. Spontan gue langsung menggeleng sambil berkata tidak mau. Belum sempat gue mengembalikan posisi kepala dari arah gelengan, Deni sudah dulu sampai di depan gerobak bakso.

  ‘’ Mas, baksonya satu ya. ‘’

Lah si kampret. Mesen bakso sendiri doang. Ini gerakan hemat apalagi sih elah.

Buat cowo-cowo di luar sana, percayalah. Jawaban pertama yang terlontar dari mulut cewe bukanlah jawaban yang sebenarnya. Dengan kata lain, jawaban yang sebenarnya adalah kebalikan dari jawaban pertama.
Jadi jawaban gue yang sebenernya saat ditawarin Deni untuk memakan bakso adalah, YA GUE MAU BANGETLAH GILAAK. UJAN UJAN GINI MAKAN BAKSO. ENAK BANGET. SIAPA YANG NOLAK


Ngerti dong. Tadi kan gue malu-malu gitu pas ditawarin. Coba aja ada tawaran kedua, pasti gue bakal ngangguk.


Malam itu, di bawah ruko dengan suasana yang dingin serta hujan yang deras, sambil menenteng helm dan jaket, gue berdiri lemes menatap Deni yang tampak begitu menikmati baksonya.
Miris.

Setelah perut Deni kenyang dan gue masih dengan keadaan lapar, kita kembali menunggu hujan reda. Gue melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Jam setengah sembilan. Sepertinya kali ini gue harus pulang larut malam.
Setelah hujan reda, gue dan Deni kembali melanjutkan perjalanan. Selama di perjalanan, badan gue bener-bener lemes. Muka gue yang tadinya kusut jadi acak adut tak menentu. Gue yang tadinya masih bertenaga kuat dan ceria sekarang jadi lemah tak bergairah.

Semua gara-gara bakso.
Beberapa jam kemudian, gue dan Deni tiba di rumah gue. Gue mempersilahkan lelaki itu masuk dan menyuguhinya dengan teh hangat.

  ‘’ Eh Deni, diminum tehnya ya. Mumpung masih hangat,’’ ujar Ibu sambil ikut duduk dan gabung di sebelah gue.

  ‘’ Lan, ajak dulu nih Mas Deni makan. ‘’

Malam itu gue makan bersama Deni. Sesekali gue menoleh ke Deni, gue heran. Gue yang kelaparan belom makan dari tadi, gue yang kedinginan, kenapa dia yang makannya lahap?? -_-

Sebulan setelah itu gue memilih untuk mengakhiri hubungan gue dengan Deni. Menurut gue, hidupnya terlalu hemat. Bahkan untuk parkir dua ribu rupiah juga terlalu hemat.


Sebenernya hemat itu yang seperti apa? 





Share
Tweet
Pin
Share
36 comments


                                              




Sebagai cewe macho sejagad raya, gue harus terlihat selalu tegar di hadapan teman-teman.
Disakiti cowo, gue tegar. Dibohongin cowo, gue tegar. Dikecewain cowo, gue tegar.
Gila. Keren banget ya gue.

Namun semua kemachoan gue hampir saja runtuh di beberapa minggu lalu.
Tepat pada tanggal 20 Maret di hari Minggu, gue dan beberapa teman serta dosen berangkat menuju kampus pusat.
Fyi, gue berkuliah di kampus cabang. Dari kampus cabang ke kampus pusat bisa dikatakan cukup jauh. Bisa memakan waktu satu setengah jam.

Pagi itu, di mata kuliah yang terakhir di semester dua, gue dan beberapa teman sudah berkumpul di area parkir kampus cabang. Area parkirnya tidak terlalu luas. Nggak bakalan cukup untuk dipake main gobak sodor. Apalagi main futsal. Nggak cukup.
Seperti yang diinfokan dari beberapa hari yang lalu di grup, pagi ini, di mata kuliah Pancasila, semua mahasiwa diharuskan untuk berangkat ke kampus pusat. Kelas akan diadakan di sana.
Karena salah seorang ibu dosen di kampus cabang gue ini berbaik hati, ramah serta bisa menggunakan lampu sein motor dengan benar, ia dengan senang hati menyediakan dua mobil pribadinya untuk digunakan mahasiswa.

Posisi duduk gue ketika itu berada di bangku tengah dan di tengah. Di kursi belakang diisi oleh tiga cowok kece, di kursi tengah diisi oleh tiga cewe. Dengan gue yang berada di tengah, Nurul di sebelah kanan gue dan kakak senior di sebelah kiri gue.
Sementara Dosen di bangku depan dengan adiknya yang menyetir mobil.

Saat 15 menit perjalanan, gue melihat ke sebelah kanan dan kiri. Mereka diam. Hening.
Dengan setengah berbisik gue bertanya ke kakak senior.

  ‘’ Kakak, suka mabok ya kalo naik mobil? ‘’

  ‘’ Iya, Dek. ‘’

Gue manggut-manggut sebelum akhirnya gue menanyakan hal yang sama ke Nurul.

  ‘’ Nurul suka mabok ya? ‘’

  ‘’ Iya, Kak. ‘’

Yawlaaa. Tolong.

Ini kenapa posisi duduk gue bisa di tengah-tengah mereka yang suka mabok gini sih. Harusnya kalo sama-sama suka itu kan disatukan, didekatkan. Bukan dipisahkan.


Setengah jam berlalu sampai pada akhirnya gue mendengar suara-suara aneh dari Nurul. Gue menoleh. Nurul terlihat menutup mulutnya dan mukanya memerah.
Sebagai perempuan yang teramat sangat ngerti dengan kode, gue langsung meminta plastik ke dosen.

  ‘’ Bu, ada plastik nggak? Ini Nurul mau muntah. ‘’

Ibu dosen terlihat panik dan merogoh laci tasnya.

  ‘’ Kakak ada plastik nggak? ‘’

  Kakak senior menggeleng. Mukanya ikut memerah. Sepertinya dugaan gue bener. Mereka akan muntah bersamaan dengan intonasi dan irama yang sama. Gue ngerasa kalau di antara mereka ada ikatan batin yang kuat.

  ‘’ Nggak ada plastik nih, ‘’ ujar Ibu dosen setelah membuka dasbornya.


HUWAAAAA

Gue nggak tau harus gimana lagi. Lama-lama gue jual plastik juga nih di dalam mobil. Mayan kalo dijual seratus rupiah. Seenggaknya lebih murah dari plastik indomartt. Bakal laku keras pasti.
Kira-kira begini:

Nurul muntah 5 kali = Rp. 500
Kakak senior muntah 5 kali = Rp. 500
Total Rp. 1.000
Rp. 1.000 = dapat antimo dua biji.

1 biji untuk gue minum di perjalanan pergi dan 1 biji lagi untuk gue minum diperjalanan pulang.
Keren ya perhitungan gue.


Untung saja ketika itu, Nurul dan kakak senior bersama-sama mengurungkan niat untuk muntah massal. Syukurlah.

Limabelas menit sebelum sampai di kampus pusat, gue mendadak pusing. Badan gue lemes. Dan begonya gue baru sadar kalo gue belum makan dari pagi. Bahkan dari kemarin malam. Di saat seperti ini gue merasa kemachoan gue sedang dipertaruhkan.

Gue nggak boleh muntah.

Sesampainya di kampus pusat, gue langsung sarapan di tempat yang tidak jauh dari lokasi kampus.
Tepat pada jam setengah sembilan, gue dan anak-anak lain mulai memasuki kelas. Seorang lelaki tua, dengan baju abu-abu yang super rapi kayak mau ikut prospek MLM, kacamata bulet serta rambut klimis yang licin kebangetan. Itu gajah kalo jalan di rambutnya pasti langsung kepeleset. Licin cooyy.
Selama menyampaikan materi, dosen pancasila ini bener-bener bikin gue boring. Posisi duduk gue yang di depan meja dosen, sama sekali nggak bisa membuat gue fokus mengikuti materi yang ia sampaikan.

Sampai pada akhirnya, KREEK KREEK
Di hadapan gue, dosen pancasila itu menggaruk kepalanya dengan dua kali garukan.  Karena hal itu, rambut dosen yang awalnya rapi dan licin mendadak langsung berantakan.

Gue langsung menahan tawa yang hampir meledak.
Rasanya saat itu juga gue pengen teriak, YA ALLAH ANDHIKA KANGEN BAND.

Sekitar jam setengah empat sore, perkuliahan di hari itu selesai. Perkuliahan di semester dua selesai. Saat keluar dari kampus, salah seorang teman perempuan gue menawarkan beberapa orang untuk ikut dengan mobilnya.

  ‘’ Yuk siapa yang buru-buru naik sama aku aja, ‘’ ujarnya setengah berteriak.

Mengingat besok adalah hari Senin dan gue harus masuk kerja lagi, rasanya gue pengen buru-buru istirahat. Pengen cepet pulang. Tanpa menunggu waktu lama, gue dan beberapa teman langsung masuk ke dalam mobilnya.
Tiga orang cowo, gue dan Nurul kini tengah berada di dalam mobil. Nggak afdhol rasanya kalo cewek yang menyetir mobil sementara ada tiga biji cowo di dalamnya. Salah seorang temen cowo gue, menawarkan diri untuk menyetir.

Perjalanan dimulai.
Lagi-lagi gue duduk di posisi tengah dan di tengah. Dengan Nurul di sebelah kiri dan Sheina di sebelah kanan.
Bener-bener deh. Gue tersiksa dengan posisi duduk di tengah gini. Nggak enak.

Bang Daniel, temen gue yang menyetir tiba-tiba saja membuka suara.

  ‘’ Ini remnya kok jauh banget ya. ‘’ 

Maksudnya rem yang jauh ini, rem yang kurang cakram.

  ‘’ Iya bang. Remnya jauh. Nggak bisa ngerem mendadak, ‘’ ujar Sheina


DEGG!


Gue kaget. Takut. Ini mah bukan buru-buru untuk sampai di rumah. Tapi buru-buru untuk melepas nyawa. Gue belum siap ketemu mas Fir'aun di neraka.
Lagian, ini kenapa juga remnya sampe bermasalah gini. Kalo ada apa-apa, secara nggak langsung kita pasti ngerem mendadak dong. Lah kalo remnya jauh gini, gimandose? Gue panik.

Lagi sedang panik-paniknya, tiba-tiba  AAAAAAAKKK
Salah seorang cowo yang duduk di belakang gue berteriak. Awalnya gue sempat berfikir, ah kali aja kejepit resleting. Baju kemejanya. Gue menegakkan badan untuk melihat ke depan mobil. Hampir. Bener-bener hampir aja mobil yang gue naikin ini menabrak seorang pengendara motor.

Gue baru menyadari suatu hal. Ternyata naik mobil dan ngeliat buku rekening di akhir bulan itu sama. Sama-sama nyeremin.

Perjalanan kembali diteruskan dengan khusyuk dan banyak cemasnya.
Langit kian meredup. Lampu jalanan mulai dinyalakan. Gue perlahan menoleh ke belakang, memastikan dua orang cowo yang duduk di belakang gue masih hidup dan bukan salah satu dari kaum LGBT. Yakali aja. Habis mereka berdua-berduaan sih di belakang. Udah gelap juga.
Ajak-ajak gue gitu kek.


Entah dengan faedah apa, Bang Daniel tiba-tiba menaikkan kecepatan laju mobilnya. Suasana dalam mobil semakin panik. Kami semua berteriak histeris. Tapi tetap dalam hati. Kalo tetap dalam jiwa itu lagunya Isyana.
Suasana di dalam semakin mencekam. Gue yang sedari tadi berusaha untuk memejamkan mata, mulai merasa tidak tenang. Jantung gue berdegup kencang. Oh apakah ini cinta?

Mobil semakin kencang. Melesat di antara kerumunan mobil truk bermuatan lainnya. Gue mendadak pucat.
Rasanya saat itu juga gue pengen mendekatkan wajah gue ke telinga Bang Daniel seraya berbisik pelan, ‘Gue belum mau mati. Plis. ‘

Gimana kalo gue kecelakaan trus mati. Gue belum nikah. Belum ngerasain bobo dan manja manja halal dengan pasangan. Belum ngerasain jadi ibu-ibu yang menyalahgunakan fungsi lampu sein motor. Belum namatin sinetron anak jalanan. Belum namatin uttaran. Belum hafal mars perindo apalagi.

Huwaaaaa. Gue pengen nangis.

Gue tetep diam sambil sesekali membaca ayat-ayat pendek. Jantung gue terus menerus berdegup kencang. Kepanikan gue malah meningkat saat Bang Daniel memutuskan untuk menyalip mobil depan. Masalahnya ini, mobil yang di depan bukan sembarang mobil. Mobil tangki SPBU. Mobil gede. 
Dan di saat yang bersamaan, sebuah mobil datang dari arah lawan.

TIN TIIIIN

AAAAAAAAAKKKK

Suasana mobil yang tadinya hening penuh kecemasan mendadak berubah ramai penuh histeris. Terlebih gue. Gue berteriak sehisteris mungkin. Satu teriakan histeris gue sama dengan nada suara Komo yang lagi batuk kering.

Mobil melaju kian kencang. Rasanya roh gue udah menggantung di langit-langit atap mobil.

Dan

Alhamdulillah ya Allah.
 Mobil yang dikemudi Bang Daniel selamat. Itu artinya GUE BISA MENIKAH. YEAH.

Ternyata Bang Daniel jago nyalip euy. Gue salut.

Beberapa menit kemudian, gue mendengar suara aneh dari sebelah kiri gue. Nurul. Iya, Nurul terlihat sedang menutup mulutnya yang hendak muntah. Sebagai perempuan sejati yang pantang pergi sebelum disakiti, gue langsung saja menyodorkan sebuah plastik ke Nurul. Nurul menggeleng.
Heran gue. Ini anak mau muntah. Tapi pas gue sodorin plastik, dia malah nolak.

Buat cowo-cowo yang cintanya sering ditolak, ai nou wat yu fil. Ditolak itu sakit gengs.

Gue memperhatikan Nurul yang sepertinya sudah tidak tahan ingin muntah. Dengan cepat gue langsung menyuruh Bang Daniel untuk menepikan mobilnya. Nurul turun. Kami meninggalkan Nurul.
Enggak deng.

Kami semua menunggu Nurul untuk menuntaskan tugasnya. Satu pelajaran yang bisa gue contoh dari seorang Nurul. Kita harus mencintai lingkungan.
Gue jadi tau alasan kenapa Nurul menolak plastik pemberian gue. Karena Nurul lebih mencintai lingkungan. Ia tidak mau menggunakan plastik sebagai wadah untuk muntahnya.

Keren juga si Nurul.


Baru beberapa menit Nurul duduk dan mobil kembali berjalan normal, mendadak perut gue terasa nggak enak. Kerongkongan gue hambar. Kayak hubungan kamu dan dia. Udah hambar. Tapi tetep aja masih diteruskan. Huh.
Tidak hanya itu, kepala gue juga terasa pusing. Kesimpulannya, gue pengen muntah.


OH NO!


Gue mencoba menelan ludah. Ludah Bang Daniel. Kagak. Ludah gue sendiri. Gue menarik nafas panjang. Mencoba untuk menenangkan tenggorokan yang sepertinya sudah meminta untuk dikeluarkan.
Gue menegakkan posisi duduk gue. Berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang suasana jalan di malam hari. Tapi paan. Kanan kiri gue gelap banget. Sepi. Hanya satu-satu lampu dari cahaya kendaraan yang menerangi jalan raya.

Gue menyandarkan badan ke kursi. Saat itu juga, kepala gue terasa berat. Gue mual.

Gue juga nggak tau kenapa tiba-tiba gue mual dan pengen muntah. Padahal sebelumnya nggak ada yang naruh foto mantan di hadapan gue.

Demi menjaga kemachoan diri sendiri, gue bertekad kalo gue-enggak-boleh-muntah.
Mau ditaruh di mana harkat martabat negara? Hellaaww~
Bisa-bisa dalam sekejap, pencitraan barbie selama ini bakal hancur.

Sepuluh menit lagi mobil akan sampai di area parkir kampus. Dalam sepuluh menit itu, gue bernazar kalo gue berhasil dan nggak muntah sampai di parkiran kampus dan turun dari mobil, gue bakal jadi cosplay Nami. Tapi nggak mungkin. Nami dadanya indah penuh pesona. Kalo gue indah paan.

Sesampainya di parkiran kampus, gue langsung gelar sajadah. Sujud syukur. Akhirnya gue nggak muntah selama di perjalanan pulang dan pergi. Yeaaahh.
Setelah mengambil motor di parkiran kampus, gue hanya senyum-senyum saat di perjalanan pulang menuju ke rumah di atas motor.
Gue nggak bisa bayangin saat gue pulang ke rumah, ucap salam, ketok pintu, orang-orang di rumah langsung berteriak histeris lalu mengatakan, ‘’ NAMI? ‘’

Ah indahnya berkhayal.

Sesampainya di rumah, gue langsung menemui Ayah sambil berkata, ‘’ Yah, pijitin dong. Kayaknya masuk angin nih. Pusing. ‘’




BETEWE, NAMI MANA SIH YANG MASUK ANGIN DAN MINTA DIPIJITIN? ELAAH.


Pokoknya hari itu, gue bener-bener macho. Okesip.



Share
Tweet
Pin
Share
29 comments


Hai hooo

Buat yang komen di postingan kemarin dan nanya ‘udah jadian apa belum’, percaya deh gaes. Gue dan Darma nggak pacaran. Hehehee
Kita pure temen deket. Deket bangetlah pokoknya. Darma anaknya nyambung diajak ngobrol. Apalagi kalo ngobrolin dada dan paha. Nyambung banget.
Buat yang doain langgeng, gue cukup mengamininya. Langgeng pertemanannya. Hehheeew

Untuk kedepannya, jodoh siapa yang tau :))

Next kelanjutan cerita 85 jam di Pekanbaru.


                                             

 Sabtu, 26 Maret 2016

Di pagi hari ini, gue sarapan nggak sendiri. Gue sarapan ditemani oleh  Darma. Yaa meskipun Darma sesekali bilang, ‘’ Nasi gorengnya asin. ‘’
Padahal yang bikin nasgornya Ibu. Ini maksudnya Ibu gue pengen kawin lagi gitu? Yawlaaa
Menurut gue, sebenernya nggak terlalu asin sih. Mungkin lidah Darma belum terbiasa aja dengan masakan Ibu yang orang Padang atau masakan khas Melayu di sini.
Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul setengah delapan. Gue pamit berangkat kerja dan Darma melepas gue berangkat kerja dengan berdiri di depan pintu.

INI NGAPA KEBALIK.
KOK LAKI-LAKI YANG NGELEPAS PEREMPUAN PERGI KERJA.


Seperti biasa, di hari Sabtu, jam kerja gue hanya setengah hari. Setelah sampai rumah, gue langsung mandi, zuhuran dan makan. Baru saja gue menyudahi makan siang, tiba-tiba Darma mengirim sms ke gue.

  ‘’ Gue ke rumah ya. ‘’

Tidak sampai lima menit, Darma sudah hadir di depan pintu rumah gue.

Siang itu, gue dan Darma saling bertukar cerita. Aneh rasanya. Yang biasanya handphone gue bising, super rame, kali itu mendadak hening. Siang itu benda kecil yang biasanya gue genggam selalu, tergeletak begitu saja di atas meja dan sama sekali tak mengeluarkan suara notif apapun.

Hari itu, pegel di jari gue akibat keseringan chat, kini berpindah ke mulut.
Terlalu banyak cerita yang ingin kita utarakan. Terlalu banyak gelak tawa yang keluar dari masing-masing mulut kita.

Sampai pada akhirnya, Darma mengusulkan sebuah game. Menulis satu kata dengan jari di punggung. Punggung siapa? Punggung pak lurah.
Dengan peraturan, kalo yang kalah harus dicemongin dengan bedak.
Sebelumnya gue takut kalo itu hanya modus Darma untuk menjepret tali beha gue.
Ditambah lagi, permainannya dimulai dari gue. Tuhkan, kenapa harus dari gue coba. Keliatan banget kan modusnya Darma.
Sampai akhirnya Darma berkata, ‘’ Gue nulis hurufnya di sini aja deh. Ntar kena beha lu. ‘’

Alhamdulillah.  #DarmaNaqBaik
Darma memilih untuk menulis kata dengan jarinya di bagian punggung bawah gue.

Sampai skors  akhir menunjukkan angka 3-5.
Dan itu terlihat dari tiga cemong bedak di muka gue, dan banyak cemong bedak di muka Darma. Hohohhoo


Kamera gue butek. :( maapkeun
                                    


Darma keliatan kayak anak-anak balita yang habis mandi sore-sore, trus mukanya dicemongin bedak sama emaknya. Tinggal disuapin nasi pake telor dadar aja nih. Udah. Percis.


Dari permainan itu, gue bisa mengambil kesimpulan bahwa,
 ‘’ Punggung gue ternyata lebih peka daripada punggung Darma. ‘’

Okesip.

Malam harinya, Darma datang lagi ke rumah gue. Ini kalo Jakarta bisa pindah ke belakang rumah gue. Darma bisa tiap jam datang ke rumah. Ehhehew.
Malam itu kita kembali saling bercerita. Mengobrol banyak tentang apa saja.
Sampai akhirnya Darma berkata, ‘’ Ini kalo jam segini, biasanya kita telfonan yak. ‘’

Gue diem.

Terharu.

Iya, biasanya setiap malam minggu, Darma menelfon gue.
Kasihan aja lihat jomblo kayak Darma kesepian di malam minggu. Mau nggak mau, gue ngangkat telfonnya. Itung-itung sekalian ngilangin kesepian gue sebagai jomblo.


Malam itu, kita bercerita banyak hingga jam menunjukkan pukul sepuluh malam.



Minggu, 27 Maret 2016


Di Minggu pagi ini, Ayah Darma berpamitan untuk balik ke Jakarta. Dikarenakan besok Senin, Ayah Darma harus kembali bekerja. Setelah selesai bersalaman, Om gue mengantar Ayah Darma untuk menunggu mobil umum yang akan membawanya menuju bandara.Dan di hari ini pula, kakak gue mengajak gue untuk ikut CFD bareng. Gue, Darma dan Nova, adik gue. Kita berempat berangkat dengan dua motor.Jujur, gue nggak pernah ikut CFD. Gue juga nggak tau apa itu CFD. Yang gue tau hanya CFC. Enak. Bikin perut kenyang.Selesai sarapan, kita berempat langsung cus menuju lokasi.

Berhubung Darma baru bisa naik motor, jadi gue dan Ibu masih agak ragu untuk membiarkannya membonceng gue di jalan raya. Alhasil, hari itu gue yang membonceng Darma.
Kang ojek banget gue ya.
Ini kalo ada FTVnya, pasti bakal dikasih judul, ‘Cantik cantik kok ngojek?’

Pagi itu jalanan masih sepi. Cuaca yang mendung menahan agar cahaya matahari pagi itu tidak terlihat.

  ‘’ Jangan kencang dong bawa motornya, ‘’ protes sebuah sahutan suara dari belakang yang membuat gue reflek menurunkan kecepatan motor.

  ‘’ Kenapa? ‘’

  ‘’ Dingin tau. ‘’


Yawlaaa gue mau nangis.

  '' Dingin ya? '' tanya gue.

  '' Iya. ''

  '' LEMAH LU. '' 

Selama di perjalanan, gue bolak-balik memperbaiki posisi baju belakang dan jilbab gue yang terbang-terbang akibat hembusan angin pagi.

  ‘’ Lu kenapa? ‘’ tanya Darma sok perhatian.

  ‘’ Ini baju gue kebuka mulu. ‘’

Entah habis dapat hidayah apa, Darma langsung memperbaiki baju dan memegangi ujung baju gue agar tidak terbuka lagi kena angin.

Leh uga modus Darma.


***


Sesampainya di lokasi CFD, Darma tiba-tiba membuka suara dengan, ‘’ Ini toiletnya di mana ya? ‘’


LAH DIKATA INI MALL ADA TOILET SEGALA.

Untungnya, di dekat lokasi CFD, ada taman kota yang baru dibangun. Dan gue baru ingat kalo di taman itu ada toilet umum. Gue dan Nova akhirnya mengantarkan Darma ke toilet umum.
Beberapa menit setelah Darma menuntaskan tugas sucinya, gue langsung menyuruh Nova untuk memotret foto kami berdua.

Iya. Memang itu tujuan gue membawa Nova. Jadi kang foto.
Gue kakak yang cerdas. 


                                              


Sekali-sekali foto bareng kang foto.



Beberapa menit setelah itu, senam sudah akan dimulai. Gue dan Darma langsung buru-buru mengambil barisan di paling belakang. Sementara Nova? Nova hanya duduk manis sambil mengotak-atik handphone gue.

Di sela-sela gerakan senam yang dipimpin oleh dua orang perempuan instruktur senam, terjadi sebuah obrolan. 

Darma   : Itu kira-kira instruktur senamnya pake beha nggak ya?
Gue       : Hmm kayaknya pake deh


OBROLAN MACAM APA INI!


Seperti anak alay pada umumnya, di sela-sela gerakan senam, Darma mengeluarkan handphonenya dan CEKREK. 


                                          


Muka songong kami yang seolah berkata kami-anak-sehat-loh-rajin-olahraga tersimpan di handphone Darma.
Padahal mah sehat paan. Ini gue baru pertama kali ikut CFD.

Selesai CFD, Gue, Nova dan Darma memutuskan untuk membeli minum. Saat di perjalanan hendak membeli minum, sayup-sayup gue mendengar suara Darma, ‘’ Behanya cantik. ‘’

Ini Darma minta diseret ke bandara dan dipulangkan ke Jakarta banget. Bikin gue kaget aja.

Gue langsung refleks melihat bahu gue. Iya. Ainouw. Jilbab gue terangkat kena angin. Tali beha pink gue terpampang penuh pesona. Gue langsung buru-buru menutupnya dengan memperbaiki posisi jilbab gue.

Setelah selesai membeli minum, gue mengajak Darma untuk duduk-duduk lucu di hutan kota. Darma yang duduk, gue yang lucu.
Di sana, gue menantang Darma untuk lomba jalan cepat dengan melepas sepatu di atas batu-batu koral yang ditancep di jalan setapak. Kayal batu koral yang untuk refleksi gitu. Apa ya namanya. Pokoknya itu deh.
Baru jalan dua langkah, gue langsung merasa sakit. Sementara Darma anteng-anteng aja jalan di depan gue.
Ternyata saat melangkah di batu koral, gue nggak sengaja lihat mantan jalan sama gebetan barunya. Duh sakit.

Enggak deng.

Tapi beneran deh, jalan di jalan setapak yang penuh dengan batu koral itu susah. Nggak kebayang ntar kalo jalan di jembatan shiratal mustaqim. Allahuakbar!

Akhirnya tantangan gue diterima oleh Darma.
Lagi dan lagi, Nova dengan sangat amat baik menjalankan tugasnya. Nova merekam kegiatan absurd gue dan Darma.
Pokoknya di tantangan itu, DARMA CURANG!
Dia ngambil jalur jalan gue. Curang. Minta dirajam banget.


Ini kalo gue mau bikin Paguyuban Merajam Darma, kira-kira ada yang mau ikut nggak ya?


Pokoknya siapa yang ikut = 1 foto ka'bah dengan tulisan '' like yang mau bawa orangtuanya ke sini. Amin ''



(Next)
Share
Tweet
Pin
Share
28 comments



Di pertengahan bulan Agustus tahun lalu, gue berkenalan dengan seorang lelaki melalu dunia maya. Lelaki itu seorang blogger. Hmm mungkin diantara teman-teman sudah ada yang tau dengan lelaki tersebut. Ia juga sempat meramaikan kotak komentar di blog ini dengan berbalas komentar yang super aneh. Yang anehnya gue dengan senang hati membalas komentar anehnya. Berarti gue yang lebih aneh. Okesip.

Chat yang awalnya hanya bermula di hangout gmail perlahan beralih pada chat line.
Gue mulai mengenal siapa dia dan bagaimana kesehariannya. Tak jarang di setiap harinya kami selalu berbagi cerita yang kami alami masing-masing. Cerita apapun itu. Mulai dari cerita ngeselin, cerita bahagia, cerita random, cerita kebegoan masing-masing, cerita nggak penting, cerita nggak penting yang sebenernya nggak penting untuk diceritain, cerita nggak penting dan nggak ada faedahnya sama sekali dan berbagai cerita absurd lainnya.

Semenjak kenal dengan lelaki itu, gue perlahan mulai membuka diri. 

Jujur, gue seorang introvert. Meskipun di dalam lingkup keluarga sendiri. Gue nggak bakal membuka mulut dan cerita apapun tanpa ada yang bertanya. Gue nggak bakal berani membuka sebuah obrolan tanpa ada yang mendahului. Gue nggak bisa mengangkat topik pembicaraan untuk dijadikan bahan obrolan. Gue nggak bisa.
Apapun yang gue alami, gue selalu memendam itu sendirian. Gue nggak berani bercerita ke Ayah Ibu di rumah. Baik itu hal yang menyenangkan maupun tidak.

Karena itu, gue lebih memilih untuk menulis apa yang gue rasakan, unek-unek amarah  pada sebuah binder cokelat milik gue.

Gue nggak pernah punya teman cerita.
Maksudnya, gue nggak pernah punya teman yang bisa menerima segala cerita gue dengan respon yang menurut gue nyaman.

Dan dengan lelaki itu, gue mulai menyibakkan diri dari sosok Wulan yang introvert. Gue dengan mudahnya bercerita apapun dengan lelaki itu. Ada perasaan lega setiap kali gue selesai bercerita dan mendapatkan respon darinya. Lega kayak habis boker di jamban.

Itu artinya dia jamban. Eh enggak gitu.

Tapi memang iya sih. Jamban.


Gue nggak pernah menemukan teman ngobrol yang bisa senyaman ini. Apakah ini yang dinamakan teman-ngobrol-nyaman-zone?
HALAH.


Dengan beberapa lelaki yang pernah hadir mengisi hati gue sebelum pada akhirnya mereka tidak hanya mengisi tetapi juga menyakiti. Tsadeeesst.
Gue nggak pernah bisa seterbuka itu dengan para mantan gue yang pernah khilaf jadi pacar gue ketika itu. Hanya sebatas, kamu pacar aku dan aku pacar kamu. Hanya itu. Gue nggak pernah bercerita banyak tentang keseharian gue dengan mereka.
Iya. Gue seaneh itu.

Lelaki itu tidak hanya membuat gue menjadi orang yang terbuka, ia juga bisa membuat gue ngakak bodoh nggak jelas di tengah malam. Cekikikan sendiri dengan mata yang menatap layar handphone. Senyam-senyum sendiri sambil bergumul di dalam selimut.

Lelaki itu juga membuat gue yang ketika itu sempat kelabakan dengan jadwal ujian semester dan jadwal kerja yang melelahkan, menjadi kembali semangat. Ia selalu mengingatkan gue untuk membawa modul ataupun catatan kuliah untuk dibaca-baca di jam istirahat kantor. Tidak hanya itu, ia juga mengajak gue untuk menyelesaikan kisi-kisi soal matematika ekonomi bersama. Dan kemudian ia mengirim foto cara dan hasil penyelesaian soal tersebut. Gue juga mengirim hasil penyelesaian untuk menyocokkan jawaban.

Kalau nggak salah, di bulan November tahun lalu ia sempat bercanda akan rencananya untuk datang ke rumah gue. Ke Pekanbaru. Riau. Di pulau Sumatera.
Mengingat gue dan dia berada di pulau yang berbeda, gue hanya memberi respon biasa dengan ucapannya yang menurut gue itu adalah sebuah candaan.

Tepat di tanggal 24 Februari, menjelang siang hari. Ia mengirimkan foto bukti pembayaran atas pembelian tiket ke gue.

Asli.

Gue.

Terharu.


Gue nangis di ruangan kantor.
Gue nggak tau harus bagaimana mengungkapkan kebahagian yang gue rasakan ketika itu.
Intinya. Gue terharu atas sebuah keputusan penuh perjuangan yang telah ia ambil.



                              



Jumat, 25 Maret 2016

Hari ini hari libur. Hari yang selalu gue nantikan kehadirannya. Jarang-jarang bisa dapet libur gini. Hari ini, lelaki yang pernah gue ceritakan di sini akan tiba dan mendarat di bandara SSK II. Sebelumnya gue sudah mengatakan kalo gue nggak bisa menjemputnya di bandara.

Darma akan datang ke Pekanbaru bersama dengan Ayahnya.

Mungkin bakal ada yang bertanya mengapa Darma datang bersama dengan Ayahnya. Melepas anak sendiri tanpa khawatir untuk pergi jauh sampai menyebrangi pulau itu menurut gue suatu tindakan yang bodoh.
Untungnya, Ayah Darma tidak melepas anaknya begitu saja.
Takut terjadi apa-apa.


Takut Darma diculik kali ya.
Padahal kagak bakalan ada yang mau nyulik dia. Hih.

Jam dua, pesawatnya akan berangkat. Begitu isi chatnya. Beberapa menit setelah itu, sebuah chat masuk kembali.

  ‘’ Pesawatnya delay. ‘’

Gue sempat ngerasa nggak enak. Kasihan harus nunggu lama di bandara.

Tidak ada yang bisa gue lakukan selain hanya goleran di ruang tamu dan di kamar. Berhubung hari itu hujan, gue yang sudah mulai ngantuk hampir saja ketiduran.
Jam mulai menunjukkan pukul setengah empat. Gue mengirim sms ke Darma. Pending.
Oke. Ini saatnya gue tidur.

Sambil berulangkali memejamkan mata dengan perasaan tak tenang karena sms gue masih pending, tepat di jam setengah lima, sebuah sms masuk.

  ‘’ Gue sudah naik taksi. ‘’

Okesip. Darma sudah landing.
Darma dan Ayahnya sudah sampai di bandara Pekanbaru dengan selamat. Syukurlah.

Ini pertama kalinya Darma menginjakkan kaki di pulau Sumatera. Di Pekanbaru. Karena itu, gue langsung saja mengiriminya pesannya.
  ‘’ Selamat datang di Pekanbaru. ‘’

  ‘’ Telat lu. Lebih dulu mbak pramugarinya yang ngucapin itu :p ‘’

Keyfain. Akurapopo.

Berhubung rumah gue di pelosok, dari Pekanbaru Darma dan Ayahnya harus naik mobil umum untuk sampai di Pangkalan Kerinci. Perjalanan yang membutuhkan waktu satu setengah jam paling lama.
Usai magrib, gue menerima sms kalau Darma dan Ayahnya sudah sampai di Pangkalan Kerinci.

  ‘’ Gue udah sampai. Lagi makan sate di deket toko obat Agi Farma. ‘’

Belum sempat gue membalas smsnya, Darma langsung menelfon gue.

  ‘’ Toko obat Agi Farma di mana? ‘’

INI KOK GUE BEGO YA.
MALAH NANYA BALIK KE DARMA.

Agar kebegoan gue tidak terlalu terlihat, gue bertanya kembali ke Darma.

  ‘’ Di seberangnya ada Vanhollano, bukan? ‘’

  ‘’ Hah? Apa? ‘’

  ‘’ Seberangnya. Ada Vanhollano? ‘’

  ‘’ Apa? ‘’

  ‘’ Di seberangnya. Seberang. ADA VANHOLLANO, BUKAN? ‘’

  ‘’ Vanhollano? ‘’

  ‘’ Iya. ‘’

  ‘’ Enggak ada. ‘’

Gue sempat panik. Keliatan begonya gue. Gue dari lahir udah di sini, tapi kenapa gue nggak tau kalau ada toko obat Agi Farma di tempat gue tinggal ini.
Lagi asyik mikir dan sempat ada niatan untuk mengelilingi semua toko obat di Pangkalan Kerinci, sebuah sms kembali masuk di hp gue.

  ‘’ Toko obat Anggi Farma. Hehehee tadi salah baca. ‘’

Gue ngangguk-ngangguk sambil tersenyum.

MAU AGI FARMA, MAU ANGGI FARMA, TETEP AE GUE NGGAK TAU TOKO OBAT ITU. AAAAAKKK


***


Singkat cerita, gue akhirnya menemukan Darma dan Ayahnya di samping abang-abang gerobak sate. Gue langsung mengajak Ayahnya untuk ke rumah.
Darma mah bodo amat. Hahahaaa

Enggak deng.
Gue juga mengajak Darma untuk ke rumah.

Sesampainya di rumah, Ibu langsung mengobrol banyak dengan Ayah Darma. Sedangkan Darma? Itu anak diem mulu. Bengong.
Sepertinya dia masih ngebayangin paha mulus dan body mba pramugari tadi di pesawat.

Sekitar pukul setengah sepuluh malam, gue dan Ibu langsung saja mengantarkan Darma dan Ayahnya ke rumah Om gue yang letaknya cukup dekat dengan rumah gue. Selama beberapa hari di Pangkalan Kerinci, Darma dan Ayahnya akan tidur di rumah Om gue.
Sesampainya di rumah Om, Darma langsung meletakkan tasnya yang berat-amat-gile. Nggak tau deh itu Darma bawa apaan di tasnya. Setelah beres-beres semuanya, gue dan Ibu pamit untuk balik ke rumah dan membiarkan mereka beristirahat malam itu.
Saat gue hendak memakai sandal, Darma menemui gue.

  '' Lu langsung cepet tidur ya. ''


LAH BARU NGOMONG INI ANAK.






 (Next)


Share
Tweet
Pin
Share
47 comments


Bagian sebelumnya. (Bagian Delapan)

Bagi yang ingin membaca cerita bersambung ini dari awal silahkan lihat di halaman Proyek WIDY







Agus lupa bagaimana cara berdamai dengan kehilangan. Saat ini, ia memang sudah ikhlas dengan kepergian ayahnya. Bahkan sudah dari SMA. Tapi, kini ia mengalami rasa kehilangan yang baru. Kehilangan seseorang yang ia sayangi. Ini memang pertama kalinya Agus merasakan jatuh cinta. Rasanya pasti berbeda jika disamakan dengan kehilangan ayahnya beberapa tahun yang lalu.

Di saat keadaan semakin kelam, Agus kemudian teringat pesan almarhum ayahnya beberapa hari sebelum meninggal,

“Ketika Ayah udah nggak ada, kamu nggak boleh terpuruk lama-lama. Segeralah bangkit. Kamu itu anak cowok. Harus kuat. Jangan benci ibumu. Juga kakakmu. Apa yang ibumu bilang itu sebenarnya baik. Tapi cara penyampaiannya mungkin salah. Dia cuma ingin memotivasi kamu supaya berprestasi dan mandiri. Ayah yakin kamu bisa mandiri, tapi memang butuh proses. Cara belajar kamu berbeda dengan Januar. Kamu itu tidak bisa terburu-buru, sedangkan ibumu wataknya kurang sabaran. Kamu harus bisa maklumi itu, ya.
Kamu juga nggak perlu iri sama kecerdasan kakakmu. Setiap orang diciptakan Tuhan berbeda-beda. Kamu nggak perlu jadi seperti kakakmu untuk mendapatkan kasih sayang dari ibu atau orang lain. Karena kamu juga spesial, Nak. Jadilah dirimu sendiri.
Ayah sayang kamu, Gus.”


Air mata Agus pun mengalir semakin deras. Ia ingat sekali pesan itu lengkap dengan jenis suara Ayah yang terdengar parau dan melemah. Tapi, berkat pesan itulah ia sedikit-sedikit mulai belajar. Agus jadi lebih mandiri sejak kepergian ayahnya. Ia mulai tidak acuh ketika ibunya mulai memuji-muji Januar. Agus juga tidak perlu membuktikan apa-apa kepada ibunya. Ia cukup bersyukur menjadi dirinya sendiri, meskipun kenyataannya ia memang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sang kakak. Agus masih percaya dengan kata-kata ayahnya, menjadi diri sendiri itu menyenangkan. Dan di situlah letak keunikannya.

Lagi pula, Agus hanya sebulan memandangi Mei dari kejauhan. Baru bertemu dua kali, dan tentunya belum mengenal Mei lebih lama daripada Januar. Sedangkan Januar sudah hampir setahun memiliki hati Mei. Agus kalah terlampau jauh. 


***


Setelah tidur, semua ingatan menyedihkan itu mulai tertutup dan kembali tersimpan otomatis di memorinya. Agus bangun tidur dengan lebih fresh. Hati Agus juga sudah tak sesakit malam itu. Setelah melewati masa-masa sulit, ia tampaknya mulai belajar mengikhlaskan Mei untuk Januar.

Hari ini, perkuliahan sedang libur dan ia tidak ada kesibukan. Maka, siang itu, Agus berencana untuk pergi ke toko buku. Saat sedang bosan di rumah, di sanalah tempat yang membuatnya merasa tenang. Larut dalam imajinasi akan tokoh-tokoh yang disajikan oleh jajaran novel fiksi di rak buku yang sering ia sambangi.

Sesampainya di Gramedia, Agus langsung menuju ke arah rak favoritnya. Matanya yang cokelat itu membulat begitu melihat banyak novel yang dipajang di rak itu. Dadanya pun bergemuruh. Agus mengambil salah satu novel untuk dibaca. Ia mulai membaca halaman demi halaman sambil berjalan. Sampai akhirnya, ia tak sengaja menabrak seorang perempuan di dekatnya.
“Duh, maaf-maaf,” ucap Agus spontan.

“Gapapa, Mas,” jawab perempuan itu.

“Ng... Mei?” ucap Agus heran melihat penampilan perempuan yang mirip Mei. Perempuan ini memang benar-benar mirip. Dari mulai matanya, warna kulitnya, dan juga jenis kelaminnya (yaiyalah kampret). Hanya saja perempuan ini memiliki potongan rambut berbeda dan suara yang lebih lembut.

“Mas siapa?” tanya perempuan itu.

Padahal Agus serasa mimpi kalau dirinya dapat bertemu Mei di Gramedia. Namun, aneh sekali karena Mei kali ini sangat berbeda. Apalagi mendengar responsnya yang seperti itu. Apakah itu bukan Mei? Kalaupun bukan, apakah Mei punya kembaran? Apa mungkin di dunia ini ada seseorang yang benar-benar mirip dengan Mei?

“Gue Agus. Kita pernah ketemu di kafe deket kampus. Ngobrol banyak hal sambil nunggu macet waktu itu,” terang Agus.

“Hmm.... Kok saya nggak ingat apa-apa, ya?" jawab perempuan itu.

“Tapi kita, kan, sempet ketemu lagi waktu itu di....”Agus ingin mengingatkan perempuan ini tentang pertemuan selanjutnya saat makan malam bersama keluarganya. Namun, ia sendiri ingin sekali menghapus momen itu dari ingatannya. Agus kemudian termenung. Wajahnya mendadak murung.

"Di mana?" tanya perempuan itu.

“Lu bener bukan Mei? Lu mirip temen gue soalnya.”

“Bukan. Saya Septi, Mas.”

“Oh, maaf kalo gitu. Gue salah orang,” jawab Agus pasrah, kemudian ia berjalan menjauhi perempuan yang tidak mengenali dirinya ini. Mungkin ingatan tentang Mei di pikiran Agus masih benar-benar melekat. Sehingga saat ia melihat perempuan yang rada mirip, ia pun berpikir kalau perempuan itu adalah ’Mei’.


***


Agus sedang membaca novel yang baru saja ia beli siang tadi, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Agus mendapat sebuah notif di layar ponselnya. Sebuah permintaan pertemanan BBM dari seorang perempuan. Yang ternyata adalah Mei. Padahal Agus sudah mulai mencoba untuk mengikhlaskannya, tapi dia malah hadir kembali.

Ada perlu apaan dia invite gue, ya? Bukannya waktu itu dia nggak mau ngasih pinnya? Apa dia mulai kehilangan gue? Atau dia baru menyadari bahwa gue lebih ganteng daripada Januar?

Tanpa berpikir macam-macam dan untuk menghindari agar ia tidak terlalu kegeeran, Agus segera menerima permintaan pertemanan dari Mei. Setelah berteman di BBM, Agus ingin sekali mengontak Mei. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan rindunya. Paling tidak, ia mungkin bisa bertanya basa-basi “Kok tau pin gue? Ada apa, ya?”, namun, ia malah bimbang dengan keadaan ini.

'' BBM aja. ''
'' Jangan! ''
'' BBM. ''
'' Jangan! ''
'' BBM! ''



Suara-suara di dalam kepalanya mulai berdebat.

Oke, BBM aja deh.
Saat sudah mulai menggerakan jemarinya untuk mengetik sesuatu, tiba-tiba... INGET! DIA ITU PACAR KAKAK LU WOY! IKHLASIN. HARUS IKHLASIN. INGET PESAN AYAH.

Jemari Agus perlahan kaku danmenjauh dari layar ponsel. Ia kembali mengurungkan niatnya.

*tengtongteng*

Dan di saat kebimbangan Agus, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi di HP-nya.

“Gus?” sebuah chat masuk dari...

Mei.
Ingin rasanya Agus bersorak girang. Bagaimana mungkin Mei mengirim chat untuknya?
Karena setahu Agus, bagi perempuan, mengontak laki-laki terlebih dahulu adalah ketidakmungkinan yang tak akan terjadi di dunia.
Seperti pada umumnya, biasanya kebanyakan perempuan gengsi untuk mengontak laki-laki terlebih dulu.

Dan betapa bahagianya ia saat mengetahui  Mei terlebih dahulu mengontaknya dengan mengirim sebuah chat bbm. Agus buru-buru melupakan ketidakmungkinan bodoh itu.

Senyuman terlukis di bibir Agus. Hidungnya kembang-kempis. Matanya berbinar-binar. Cukup lama Agus terdiam hening dengan menatap chat yang tertera di layar HP-nya. Seolah terhipnotis dengan chat barusan. Agus mulai menggerakkan jemarinya, menyusun kata-kata yang hendak ia layangkan kepada Mei sebagai chat balasan.

“Ya? What's up?”


Agus tau kalau Mei adalah penggila musik hip-hop. Ia berlagak seperti rapper dengan sok asyiknya, berharap Mei tertawa dan mengejeknya. Lalu, berharap kalau mereka bisa chatting tanpa ingat waktu.

“Cuma mau nanya, apa Januar sudah pulang kerja, Gus? Chat gue dari tadi sore belum di-read."



Bangkeh. 

Hal ini lebih mengejutkan dari seorang perempuan yang tidak gengsi mengontak duluan. Ya, mengontak hanya karena ada maunya.


Bagian Sepuluh



Share
Tweet
Pin
Share
46 comments
Newer Posts
Older Posts

Rahayu Wulandari

Rahayu Wulandari
Atlet renang terhebat saat menuju ovum dan berhasil mengalahkan milyaran peserta lainnya. Perempuan yang doyan nulis curhat.

Teman-teman

Yang Paling Sering Dibaca

  • ADAM
  • Ciri-ciri cowok yang beneran serius
  • Pelecehan
  • 5 Tipe Cowok Cuek

Arsip Blog

  • ▼  2020 (5)
    • ▼  September (1)
      • Perjalanan Baru
    • ►  June (1)
    • ►  April (3)
  • ►  2019 (5)
    • ►  October (1)
    • ►  July (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2017 (14)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  July (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (5)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (5)
    • ►  March (5)
    • ►  February (8)
    • ►  January (7)
  • ►  2015 (138)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (8)
    • ►  September (12)
    • ►  August (12)
    • ►  July (6)
    • ►  June (9)
    • ►  May (10)
    • ►  April (15)
    • ►  March (21)
    • ►  February (11)
    • ►  January (24)
  • ►  2014 (18)
    • ►  December (10)
    • ►  November (6)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates