• HOME
  • ABOUT ME
  • CONTACT
  • WIRDY'S PROJECT

Rahayu Wulandari Ibrahimelya

Daripada tawuran, mending kita curhat-curhatan



                                              




Sebagai cewe macho sejagad raya, gue harus terlihat selalu tegar di hadapan teman-teman.
Disakiti cowo, gue tegar. Dibohongin cowo, gue tegar. Dikecewain cowo, gue tegar.
Gila. Keren banget ya gue.

Namun semua kemachoan gue hampir saja runtuh di beberapa minggu lalu.
Tepat pada tanggal 20 Maret di hari Minggu, gue dan beberapa teman serta dosen berangkat menuju kampus pusat.
Fyi, gue berkuliah di kampus cabang. Dari kampus cabang ke kampus pusat bisa dikatakan cukup jauh. Bisa memakan waktu satu setengah jam.

Pagi itu, di mata kuliah yang terakhir di semester dua, gue dan beberapa teman sudah berkumpul di area parkir kampus cabang. Area parkirnya tidak terlalu luas. Nggak bakalan cukup untuk dipake main gobak sodor. Apalagi main futsal. Nggak cukup.
Seperti yang diinfokan dari beberapa hari yang lalu di grup, pagi ini, di mata kuliah Pancasila, semua mahasiwa diharuskan untuk berangkat ke kampus pusat. Kelas akan diadakan di sana.
Karena salah seorang ibu dosen di kampus cabang gue ini berbaik hati, ramah serta bisa menggunakan lampu sein motor dengan benar, ia dengan senang hati menyediakan dua mobil pribadinya untuk digunakan mahasiswa.

Posisi duduk gue ketika itu berada di bangku tengah dan di tengah. Di kursi belakang diisi oleh tiga cowok kece, di kursi tengah diisi oleh tiga cewe. Dengan gue yang berada di tengah, Nurul di sebelah kanan gue dan kakak senior di sebelah kiri gue.
Sementara Dosen di bangku depan dengan adiknya yang menyetir mobil.

Saat 15 menit perjalanan, gue melihat ke sebelah kanan dan kiri. Mereka diam. Hening.
Dengan setengah berbisik gue bertanya ke kakak senior.

  ‘’ Kakak, suka mabok ya kalo naik mobil? ‘’

  ‘’ Iya, Dek. ‘’

Gue manggut-manggut sebelum akhirnya gue menanyakan hal yang sama ke Nurul.

  ‘’ Nurul suka mabok ya? ‘’

  ‘’ Iya, Kak. ‘’

Yawlaaa. Tolong.

Ini kenapa posisi duduk gue bisa di tengah-tengah mereka yang suka mabok gini sih. Harusnya kalo sama-sama suka itu kan disatukan, didekatkan. Bukan dipisahkan.


Setengah jam berlalu sampai pada akhirnya gue mendengar suara-suara aneh dari Nurul. Gue menoleh. Nurul terlihat menutup mulutnya dan mukanya memerah.
Sebagai perempuan yang teramat sangat ngerti dengan kode, gue langsung meminta plastik ke dosen.

  ‘’ Bu, ada plastik nggak? Ini Nurul mau muntah. ‘’

Ibu dosen terlihat panik dan merogoh laci tasnya.

  ‘’ Kakak ada plastik nggak? ‘’

  Kakak senior menggeleng. Mukanya ikut memerah. Sepertinya dugaan gue bener. Mereka akan muntah bersamaan dengan intonasi dan irama yang sama. Gue ngerasa kalau di antara mereka ada ikatan batin yang kuat.

  ‘’ Nggak ada plastik nih, ‘’ ujar Ibu dosen setelah membuka dasbornya.


HUWAAAAA

Gue nggak tau harus gimana lagi. Lama-lama gue jual plastik juga nih di dalam mobil. Mayan kalo dijual seratus rupiah. Seenggaknya lebih murah dari plastik indomartt. Bakal laku keras pasti.
Kira-kira begini:

Nurul muntah 5 kali = Rp. 500
Kakak senior muntah 5 kali = Rp. 500
Total Rp. 1.000
Rp. 1.000 = dapat antimo dua biji.

1 biji untuk gue minum di perjalanan pergi dan 1 biji lagi untuk gue minum diperjalanan pulang.
Keren ya perhitungan gue.


Untung saja ketika itu, Nurul dan kakak senior bersama-sama mengurungkan niat untuk muntah massal. Syukurlah.

Limabelas menit sebelum sampai di kampus pusat, gue mendadak pusing. Badan gue lemes. Dan begonya gue baru sadar kalo gue belum makan dari pagi. Bahkan dari kemarin malam. Di saat seperti ini gue merasa kemachoan gue sedang dipertaruhkan.

Gue nggak boleh muntah.

Sesampainya di kampus pusat, gue langsung sarapan di tempat yang tidak jauh dari lokasi kampus.
Tepat pada jam setengah sembilan, gue dan anak-anak lain mulai memasuki kelas. Seorang lelaki tua, dengan baju abu-abu yang super rapi kayak mau ikut prospek MLM, kacamata bulet serta rambut klimis yang licin kebangetan. Itu gajah kalo jalan di rambutnya pasti langsung kepeleset. Licin cooyy.
Selama menyampaikan materi, dosen pancasila ini bener-bener bikin gue boring. Posisi duduk gue yang di depan meja dosen, sama sekali nggak bisa membuat gue fokus mengikuti materi yang ia sampaikan.

Sampai pada akhirnya, KREEK KREEK
Di hadapan gue, dosen pancasila itu menggaruk kepalanya dengan dua kali garukan.  Karena hal itu, rambut dosen yang awalnya rapi dan licin mendadak langsung berantakan.

Gue langsung menahan tawa yang hampir meledak.
Rasanya saat itu juga gue pengen teriak, YA ALLAH ANDHIKA KANGEN BAND.

Sekitar jam setengah empat sore, perkuliahan di hari itu selesai. Perkuliahan di semester dua selesai. Saat keluar dari kampus, salah seorang teman perempuan gue menawarkan beberapa orang untuk ikut dengan mobilnya.

  ‘’ Yuk siapa yang buru-buru naik sama aku aja, ‘’ ujarnya setengah berteriak.

Mengingat besok adalah hari Senin dan gue harus masuk kerja lagi, rasanya gue pengen buru-buru istirahat. Pengen cepet pulang. Tanpa menunggu waktu lama, gue dan beberapa teman langsung masuk ke dalam mobilnya.
Tiga orang cowo, gue dan Nurul kini tengah berada di dalam mobil. Nggak afdhol rasanya kalo cewek yang menyetir mobil sementara ada tiga biji cowo di dalamnya. Salah seorang temen cowo gue, menawarkan diri untuk menyetir.

Perjalanan dimulai.
Lagi-lagi gue duduk di posisi tengah dan di tengah. Dengan Nurul di sebelah kiri dan Sheina di sebelah kanan.
Bener-bener deh. Gue tersiksa dengan posisi duduk di tengah gini. Nggak enak.

Bang Daniel, temen gue yang menyetir tiba-tiba saja membuka suara.

  ‘’ Ini remnya kok jauh banget ya. ‘’ 

Maksudnya rem yang jauh ini, rem yang kurang cakram.

  ‘’ Iya bang. Remnya jauh. Nggak bisa ngerem mendadak, ‘’ ujar Sheina


DEGG!


Gue kaget. Takut. Ini mah bukan buru-buru untuk sampai di rumah. Tapi buru-buru untuk melepas nyawa. Gue belum siap ketemu mas Fir'aun di neraka.
Lagian, ini kenapa juga remnya sampe bermasalah gini. Kalo ada apa-apa, secara nggak langsung kita pasti ngerem mendadak dong. Lah kalo remnya jauh gini, gimandose? Gue panik.

Lagi sedang panik-paniknya, tiba-tiba  AAAAAAAKKK
Salah seorang cowo yang duduk di belakang gue berteriak. Awalnya gue sempat berfikir, ah kali aja kejepit resleting. Baju kemejanya. Gue menegakkan badan untuk melihat ke depan mobil. Hampir. Bener-bener hampir aja mobil yang gue naikin ini menabrak seorang pengendara motor.

Gue baru menyadari suatu hal. Ternyata naik mobil dan ngeliat buku rekening di akhir bulan itu sama. Sama-sama nyeremin.

Perjalanan kembali diteruskan dengan khusyuk dan banyak cemasnya.
Langit kian meredup. Lampu jalanan mulai dinyalakan. Gue perlahan menoleh ke belakang, memastikan dua orang cowo yang duduk di belakang gue masih hidup dan bukan salah satu dari kaum LGBT. Yakali aja. Habis mereka berdua-berduaan sih di belakang. Udah gelap juga.
Ajak-ajak gue gitu kek.


Entah dengan faedah apa, Bang Daniel tiba-tiba menaikkan kecepatan laju mobilnya. Suasana dalam mobil semakin panik. Kami semua berteriak histeris. Tapi tetap dalam hati. Kalo tetap dalam jiwa itu lagunya Isyana.
Suasana di dalam semakin mencekam. Gue yang sedari tadi berusaha untuk memejamkan mata, mulai merasa tidak tenang. Jantung gue berdegup kencang. Oh apakah ini cinta?

Mobil semakin kencang. Melesat di antara kerumunan mobil truk bermuatan lainnya. Gue mendadak pucat.
Rasanya saat itu juga gue pengen mendekatkan wajah gue ke telinga Bang Daniel seraya berbisik pelan, ‘Gue belum mau mati. Plis. ‘

Gimana kalo gue kecelakaan trus mati. Gue belum nikah. Belum ngerasain bobo dan manja manja halal dengan pasangan. Belum ngerasain jadi ibu-ibu yang menyalahgunakan fungsi lampu sein motor. Belum namatin sinetron anak jalanan. Belum namatin uttaran. Belum hafal mars perindo apalagi.

Huwaaaaa. Gue pengen nangis.

Gue tetep diam sambil sesekali membaca ayat-ayat pendek. Jantung gue terus menerus berdegup kencang. Kepanikan gue malah meningkat saat Bang Daniel memutuskan untuk menyalip mobil depan. Masalahnya ini, mobil yang di depan bukan sembarang mobil. Mobil tangki SPBU. Mobil gede. 
Dan di saat yang bersamaan, sebuah mobil datang dari arah lawan.

TIN TIIIIN

AAAAAAAAAKKKK

Suasana mobil yang tadinya hening penuh kecemasan mendadak berubah ramai penuh histeris. Terlebih gue. Gue berteriak sehisteris mungkin. Satu teriakan histeris gue sama dengan nada suara Komo yang lagi batuk kering.

Mobil melaju kian kencang. Rasanya roh gue udah menggantung di langit-langit atap mobil.

Dan

Alhamdulillah ya Allah.
 Mobil yang dikemudi Bang Daniel selamat. Itu artinya GUE BISA MENIKAH. YEAH.

Ternyata Bang Daniel jago nyalip euy. Gue salut.

Beberapa menit kemudian, gue mendengar suara aneh dari sebelah kiri gue. Nurul. Iya, Nurul terlihat sedang menutup mulutnya yang hendak muntah. Sebagai perempuan sejati yang pantang pergi sebelum disakiti, gue langsung saja menyodorkan sebuah plastik ke Nurul. Nurul menggeleng.
Heran gue. Ini anak mau muntah. Tapi pas gue sodorin plastik, dia malah nolak.

Buat cowo-cowo yang cintanya sering ditolak, ai nou wat yu fil. Ditolak itu sakit gengs.

Gue memperhatikan Nurul yang sepertinya sudah tidak tahan ingin muntah. Dengan cepat gue langsung menyuruh Bang Daniel untuk menepikan mobilnya. Nurul turun. Kami meninggalkan Nurul.
Enggak deng.

Kami semua menunggu Nurul untuk menuntaskan tugasnya. Satu pelajaran yang bisa gue contoh dari seorang Nurul. Kita harus mencintai lingkungan.
Gue jadi tau alasan kenapa Nurul menolak plastik pemberian gue. Karena Nurul lebih mencintai lingkungan. Ia tidak mau menggunakan plastik sebagai wadah untuk muntahnya.

Keren juga si Nurul.


Baru beberapa menit Nurul duduk dan mobil kembali berjalan normal, mendadak perut gue terasa nggak enak. Kerongkongan gue hambar. Kayak hubungan kamu dan dia. Udah hambar. Tapi tetep aja masih diteruskan. Huh.
Tidak hanya itu, kepala gue juga terasa pusing. Kesimpulannya, gue pengen muntah.


OH NO!


Gue mencoba menelan ludah. Ludah Bang Daniel. Kagak. Ludah gue sendiri. Gue menarik nafas panjang. Mencoba untuk menenangkan tenggorokan yang sepertinya sudah meminta untuk dikeluarkan.
Gue menegakkan posisi duduk gue. Berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang suasana jalan di malam hari. Tapi paan. Kanan kiri gue gelap banget. Sepi. Hanya satu-satu lampu dari cahaya kendaraan yang menerangi jalan raya.

Gue menyandarkan badan ke kursi. Saat itu juga, kepala gue terasa berat. Gue mual.

Gue juga nggak tau kenapa tiba-tiba gue mual dan pengen muntah. Padahal sebelumnya nggak ada yang naruh foto mantan di hadapan gue.

Demi menjaga kemachoan diri sendiri, gue bertekad kalo gue-enggak-boleh-muntah.
Mau ditaruh di mana harkat martabat negara? Hellaaww~
Bisa-bisa dalam sekejap, pencitraan barbie selama ini bakal hancur.

Sepuluh menit lagi mobil akan sampai di area parkir kampus. Dalam sepuluh menit itu, gue bernazar kalo gue berhasil dan nggak muntah sampai di parkiran kampus dan turun dari mobil, gue bakal jadi cosplay Nami. Tapi nggak mungkin. Nami dadanya indah penuh pesona. Kalo gue indah paan.

Sesampainya di parkiran kampus, gue langsung gelar sajadah. Sujud syukur. Akhirnya gue nggak muntah selama di perjalanan pulang dan pergi. Yeaaahh.
Setelah mengambil motor di parkiran kampus, gue hanya senyum-senyum saat di perjalanan pulang menuju ke rumah di atas motor.
Gue nggak bisa bayangin saat gue pulang ke rumah, ucap salam, ketok pintu, orang-orang di rumah langsung berteriak histeris lalu mengatakan, ‘’ NAMI? ‘’

Ah indahnya berkhayal.

Sesampainya di rumah, gue langsung menemui Ayah sambil berkata, ‘’ Yah, pijitin dong. Kayaknya masuk angin nih. Pusing. ‘’




BETEWE, NAMI MANA SIH YANG MASUK ANGIN DAN MINTA DIPIJITIN? ELAAH.


Pokoknya hari itu, gue bener-bener macho. Okesip.



Share
Tweet
Pin
Share
29 comments


Hai hooo

Buat yang komen di postingan kemarin dan nanya ‘udah jadian apa belum’, percaya deh gaes. Gue dan Darma nggak pacaran. Hehehee
Kita pure temen deket. Deket bangetlah pokoknya. Darma anaknya nyambung diajak ngobrol. Apalagi kalo ngobrolin dada dan paha. Nyambung banget.
Buat yang doain langgeng, gue cukup mengamininya. Langgeng pertemanannya. Hehheeew

Untuk kedepannya, jodoh siapa yang tau :))

Next kelanjutan cerita 85 jam di Pekanbaru.


                                             

 Sabtu, 26 Maret 2016

Di pagi hari ini, gue sarapan nggak sendiri. Gue sarapan ditemani oleh  Darma. Yaa meskipun Darma sesekali bilang, ‘’ Nasi gorengnya asin. ‘’
Padahal yang bikin nasgornya Ibu. Ini maksudnya Ibu gue pengen kawin lagi gitu? Yawlaaa
Menurut gue, sebenernya nggak terlalu asin sih. Mungkin lidah Darma belum terbiasa aja dengan masakan Ibu yang orang Padang atau masakan khas Melayu di sini.
Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul setengah delapan. Gue pamit berangkat kerja dan Darma melepas gue berangkat kerja dengan berdiri di depan pintu.

INI NGAPA KEBALIK.
KOK LAKI-LAKI YANG NGELEPAS PEREMPUAN PERGI KERJA.


Seperti biasa, di hari Sabtu, jam kerja gue hanya setengah hari. Setelah sampai rumah, gue langsung mandi, zuhuran dan makan. Baru saja gue menyudahi makan siang, tiba-tiba Darma mengirim sms ke gue.

  ‘’ Gue ke rumah ya. ‘’

Tidak sampai lima menit, Darma sudah hadir di depan pintu rumah gue.

Siang itu, gue dan Darma saling bertukar cerita. Aneh rasanya. Yang biasanya handphone gue bising, super rame, kali itu mendadak hening. Siang itu benda kecil yang biasanya gue genggam selalu, tergeletak begitu saja di atas meja dan sama sekali tak mengeluarkan suara notif apapun.

Hari itu, pegel di jari gue akibat keseringan chat, kini berpindah ke mulut.
Terlalu banyak cerita yang ingin kita utarakan. Terlalu banyak gelak tawa yang keluar dari masing-masing mulut kita.

Sampai pada akhirnya, Darma mengusulkan sebuah game. Menulis satu kata dengan jari di punggung. Punggung siapa? Punggung pak lurah.
Dengan peraturan, kalo yang kalah harus dicemongin dengan bedak.
Sebelumnya gue takut kalo itu hanya modus Darma untuk menjepret tali beha gue.
Ditambah lagi, permainannya dimulai dari gue. Tuhkan, kenapa harus dari gue coba. Keliatan banget kan modusnya Darma.
Sampai akhirnya Darma berkata, ‘’ Gue nulis hurufnya di sini aja deh. Ntar kena beha lu. ‘’

Alhamdulillah.  #DarmaNaqBaik
Darma memilih untuk menulis kata dengan jarinya di bagian punggung bawah gue.

Sampai skors  akhir menunjukkan angka 3-5.
Dan itu terlihat dari tiga cemong bedak di muka gue, dan banyak cemong bedak di muka Darma. Hohohhoo


Kamera gue butek. :( maapkeun
                                    


Darma keliatan kayak anak-anak balita yang habis mandi sore-sore, trus mukanya dicemongin bedak sama emaknya. Tinggal disuapin nasi pake telor dadar aja nih. Udah. Percis.


Dari permainan itu, gue bisa mengambil kesimpulan bahwa,
 ‘’ Punggung gue ternyata lebih peka daripada punggung Darma. ‘’

Okesip.

Malam harinya, Darma datang lagi ke rumah gue. Ini kalo Jakarta bisa pindah ke belakang rumah gue. Darma bisa tiap jam datang ke rumah. Ehhehew.
Malam itu kita kembali saling bercerita. Mengobrol banyak tentang apa saja.
Sampai akhirnya Darma berkata, ‘’ Ini kalo jam segini, biasanya kita telfonan yak. ‘’

Gue diem.

Terharu.

Iya, biasanya setiap malam minggu, Darma menelfon gue.
Kasihan aja lihat jomblo kayak Darma kesepian di malam minggu. Mau nggak mau, gue ngangkat telfonnya. Itung-itung sekalian ngilangin kesepian gue sebagai jomblo.


Malam itu, kita bercerita banyak hingga jam menunjukkan pukul sepuluh malam.



Minggu, 27 Maret 2016


Di Minggu pagi ini, Ayah Darma berpamitan untuk balik ke Jakarta. Dikarenakan besok Senin, Ayah Darma harus kembali bekerja. Setelah selesai bersalaman, Om gue mengantar Ayah Darma untuk menunggu mobil umum yang akan membawanya menuju bandara.Dan di hari ini pula, kakak gue mengajak gue untuk ikut CFD bareng. Gue, Darma dan Nova, adik gue. Kita berempat berangkat dengan dua motor.Jujur, gue nggak pernah ikut CFD. Gue juga nggak tau apa itu CFD. Yang gue tau hanya CFC. Enak. Bikin perut kenyang.Selesai sarapan, kita berempat langsung cus menuju lokasi.

Berhubung Darma baru bisa naik motor, jadi gue dan Ibu masih agak ragu untuk membiarkannya membonceng gue di jalan raya. Alhasil, hari itu gue yang membonceng Darma.
Kang ojek banget gue ya.
Ini kalo ada FTVnya, pasti bakal dikasih judul, ‘Cantik cantik kok ngojek?’

Pagi itu jalanan masih sepi. Cuaca yang mendung menahan agar cahaya matahari pagi itu tidak terlihat.

  ‘’ Jangan kencang dong bawa motornya, ‘’ protes sebuah sahutan suara dari belakang yang membuat gue reflek menurunkan kecepatan motor.

  ‘’ Kenapa? ‘’

  ‘’ Dingin tau. ‘’


Yawlaaa gue mau nangis.

  '' Dingin ya? '' tanya gue.

  '' Iya. ''

  '' LEMAH LU. '' 

Selama di perjalanan, gue bolak-balik memperbaiki posisi baju belakang dan jilbab gue yang terbang-terbang akibat hembusan angin pagi.

  ‘’ Lu kenapa? ‘’ tanya Darma sok perhatian.

  ‘’ Ini baju gue kebuka mulu. ‘’

Entah habis dapat hidayah apa, Darma langsung memperbaiki baju dan memegangi ujung baju gue agar tidak terbuka lagi kena angin.

Leh uga modus Darma.


***


Sesampainya di lokasi CFD, Darma tiba-tiba membuka suara dengan, ‘’ Ini toiletnya di mana ya? ‘’


LAH DIKATA INI MALL ADA TOILET SEGALA.

Untungnya, di dekat lokasi CFD, ada taman kota yang baru dibangun. Dan gue baru ingat kalo di taman itu ada toilet umum. Gue dan Nova akhirnya mengantarkan Darma ke toilet umum.
Beberapa menit setelah Darma menuntaskan tugas sucinya, gue langsung menyuruh Nova untuk memotret foto kami berdua.

Iya. Memang itu tujuan gue membawa Nova. Jadi kang foto.
Gue kakak yang cerdas. 


                                              


Sekali-sekali foto bareng kang foto.



Beberapa menit setelah itu, senam sudah akan dimulai. Gue dan Darma langsung buru-buru mengambil barisan di paling belakang. Sementara Nova? Nova hanya duduk manis sambil mengotak-atik handphone gue.

Di sela-sela gerakan senam yang dipimpin oleh dua orang perempuan instruktur senam, terjadi sebuah obrolan. 

Darma   : Itu kira-kira instruktur senamnya pake beha nggak ya?
Gue       : Hmm kayaknya pake deh


OBROLAN MACAM APA INI!


Seperti anak alay pada umumnya, di sela-sela gerakan senam, Darma mengeluarkan handphonenya dan CEKREK. 


                                          


Muka songong kami yang seolah berkata kami-anak-sehat-loh-rajin-olahraga tersimpan di handphone Darma.
Padahal mah sehat paan. Ini gue baru pertama kali ikut CFD.

Selesai CFD, Gue, Nova dan Darma memutuskan untuk membeli minum. Saat di perjalanan hendak membeli minum, sayup-sayup gue mendengar suara Darma, ‘’ Behanya cantik. ‘’

Ini Darma minta diseret ke bandara dan dipulangkan ke Jakarta banget. Bikin gue kaget aja.

Gue langsung refleks melihat bahu gue. Iya. Ainouw. Jilbab gue terangkat kena angin. Tali beha pink gue terpampang penuh pesona. Gue langsung buru-buru menutupnya dengan memperbaiki posisi jilbab gue.

Setelah selesai membeli minum, gue mengajak Darma untuk duduk-duduk lucu di hutan kota. Darma yang duduk, gue yang lucu.
Di sana, gue menantang Darma untuk lomba jalan cepat dengan melepas sepatu di atas batu-batu koral yang ditancep di jalan setapak. Kayal batu koral yang untuk refleksi gitu. Apa ya namanya. Pokoknya itu deh.
Baru jalan dua langkah, gue langsung merasa sakit. Sementara Darma anteng-anteng aja jalan di depan gue.
Ternyata saat melangkah di batu koral, gue nggak sengaja lihat mantan jalan sama gebetan barunya. Duh sakit.

Enggak deng.

Tapi beneran deh, jalan di jalan setapak yang penuh dengan batu koral itu susah. Nggak kebayang ntar kalo jalan di jembatan shiratal mustaqim. Allahuakbar!

Akhirnya tantangan gue diterima oleh Darma.
Lagi dan lagi, Nova dengan sangat amat baik menjalankan tugasnya. Nova merekam kegiatan absurd gue dan Darma.
Pokoknya di tantangan itu, DARMA CURANG!
Dia ngambil jalur jalan gue. Curang. Minta dirajam banget.


Ini kalo gue mau bikin Paguyuban Merajam Darma, kira-kira ada yang mau ikut nggak ya?


Pokoknya siapa yang ikut = 1 foto ka'bah dengan tulisan '' like yang mau bawa orangtuanya ke sini. Amin ''



(Next)
Share
Tweet
Pin
Share
28 comments



Di pertengahan bulan Agustus tahun lalu, gue berkenalan dengan seorang lelaki melalu dunia maya. Lelaki itu seorang blogger. Hmm mungkin diantara teman-teman sudah ada yang tau dengan lelaki tersebut. Ia juga sempat meramaikan kotak komentar di blog ini dengan berbalas komentar yang super aneh. Yang anehnya gue dengan senang hati membalas komentar anehnya. Berarti gue yang lebih aneh. Okesip.

Chat yang awalnya hanya bermula di hangout gmail perlahan beralih pada chat line.
Gue mulai mengenal siapa dia dan bagaimana kesehariannya. Tak jarang di setiap harinya kami selalu berbagi cerita yang kami alami masing-masing. Cerita apapun itu. Mulai dari cerita ngeselin, cerita bahagia, cerita random, cerita kebegoan masing-masing, cerita nggak penting, cerita nggak penting yang sebenernya nggak penting untuk diceritain, cerita nggak penting dan nggak ada faedahnya sama sekali dan berbagai cerita absurd lainnya.

Semenjak kenal dengan lelaki itu, gue perlahan mulai membuka diri. 

Jujur, gue seorang introvert. Meskipun di dalam lingkup keluarga sendiri. Gue nggak bakal membuka mulut dan cerita apapun tanpa ada yang bertanya. Gue nggak bakal berani membuka sebuah obrolan tanpa ada yang mendahului. Gue nggak bisa mengangkat topik pembicaraan untuk dijadikan bahan obrolan. Gue nggak bisa.
Apapun yang gue alami, gue selalu memendam itu sendirian. Gue nggak berani bercerita ke Ayah Ibu di rumah. Baik itu hal yang menyenangkan maupun tidak.

Karena itu, gue lebih memilih untuk menulis apa yang gue rasakan, unek-unek amarah  pada sebuah binder cokelat milik gue.

Gue nggak pernah punya teman cerita.
Maksudnya, gue nggak pernah punya teman yang bisa menerima segala cerita gue dengan respon yang menurut gue nyaman.

Dan dengan lelaki itu, gue mulai menyibakkan diri dari sosok Wulan yang introvert. Gue dengan mudahnya bercerita apapun dengan lelaki itu. Ada perasaan lega setiap kali gue selesai bercerita dan mendapatkan respon darinya. Lega kayak habis boker di jamban.

Itu artinya dia jamban. Eh enggak gitu.

Tapi memang iya sih. Jamban.


Gue nggak pernah menemukan teman ngobrol yang bisa senyaman ini. Apakah ini yang dinamakan teman-ngobrol-nyaman-zone?
HALAH.


Dengan beberapa lelaki yang pernah hadir mengisi hati gue sebelum pada akhirnya mereka tidak hanya mengisi tetapi juga menyakiti. Tsadeeesst.
Gue nggak pernah bisa seterbuka itu dengan para mantan gue yang pernah khilaf jadi pacar gue ketika itu. Hanya sebatas, kamu pacar aku dan aku pacar kamu. Hanya itu. Gue nggak pernah bercerita banyak tentang keseharian gue dengan mereka.
Iya. Gue seaneh itu.

Lelaki itu tidak hanya membuat gue menjadi orang yang terbuka, ia juga bisa membuat gue ngakak bodoh nggak jelas di tengah malam. Cekikikan sendiri dengan mata yang menatap layar handphone. Senyam-senyum sendiri sambil bergumul di dalam selimut.

Lelaki itu juga membuat gue yang ketika itu sempat kelabakan dengan jadwal ujian semester dan jadwal kerja yang melelahkan, menjadi kembali semangat. Ia selalu mengingatkan gue untuk membawa modul ataupun catatan kuliah untuk dibaca-baca di jam istirahat kantor. Tidak hanya itu, ia juga mengajak gue untuk menyelesaikan kisi-kisi soal matematika ekonomi bersama. Dan kemudian ia mengirim foto cara dan hasil penyelesaian soal tersebut. Gue juga mengirim hasil penyelesaian untuk menyocokkan jawaban.

Kalau nggak salah, di bulan November tahun lalu ia sempat bercanda akan rencananya untuk datang ke rumah gue. Ke Pekanbaru. Riau. Di pulau Sumatera.
Mengingat gue dan dia berada di pulau yang berbeda, gue hanya memberi respon biasa dengan ucapannya yang menurut gue itu adalah sebuah candaan.

Tepat di tanggal 24 Februari, menjelang siang hari. Ia mengirimkan foto bukti pembayaran atas pembelian tiket ke gue.

Asli.

Gue.

Terharu.


Gue nangis di ruangan kantor.
Gue nggak tau harus bagaimana mengungkapkan kebahagian yang gue rasakan ketika itu.
Intinya. Gue terharu atas sebuah keputusan penuh perjuangan yang telah ia ambil.



                              



Jumat, 25 Maret 2016

Hari ini hari libur. Hari yang selalu gue nantikan kehadirannya. Jarang-jarang bisa dapet libur gini. Hari ini, lelaki yang pernah gue ceritakan di sini akan tiba dan mendarat di bandara SSK II. Sebelumnya gue sudah mengatakan kalo gue nggak bisa menjemputnya di bandara.

Darma akan datang ke Pekanbaru bersama dengan Ayahnya.

Mungkin bakal ada yang bertanya mengapa Darma datang bersama dengan Ayahnya. Melepas anak sendiri tanpa khawatir untuk pergi jauh sampai menyebrangi pulau itu menurut gue suatu tindakan yang bodoh.
Untungnya, Ayah Darma tidak melepas anaknya begitu saja.
Takut terjadi apa-apa.


Takut Darma diculik kali ya.
Padahal kagak bakalan ada yang mau nyulik dia. Hih.

Jam dua, pesawatnya akan berangkat. Begitu isi chatnya. Beberapa menit setelah itu, sebuah chat masuk kembali.

  ‘’ Pesawatnya delay. ‘’

Gue sempat ngerasa nggak enak. Kasihan harus nunggu lama di bandara.

Tidak ada yang bisa gue lakukan selain hanya goleran di ruang tamu dan di kamar. Berhubung hari itu hujan, gue yang sudah mulai ngantuk hampir saja ketiduran.
Jam mulai menunjukkan pukul setengah empat. Gue mengirim sms ke Darma. Pending.
Oke. Ini saatnya gue tidur.

Sambil berulangkali memejamkan mata dengan perasaan tak tenang karena sms gue masih pending, tepat di jam setengah lima, sebuah sms masuk.

  ‘’ Gue sudah naik taksi. ‘’

Okesip. Darma sudah landing.
Darma dan Ayahnya sudah sampai di bandara Pekanbaru dengan selamat. Syukurlah.

Ini pertama kalinya Darma menginjakkan kaki di pulau Sumatera. Di Pekanbaru. Karena itu, gue langsung saja mengiriminya pesannya.
  ‘’ Selamat datang di Pekanbaru. ‘’

  ‘’ Telat lu. Lebih dulu mbak pramugarinya yang ngucapin itu :p ‘’

Keyfain. Akurapopo.

Berhubung rumah gue di pelosok, dari Pekanbaru Darma dan Ayahnya harus naik mobil umum untuk sampai di Pangkalan Kerinci. Perjalanan yang membutuhkan waktu satu setengah jam paling lama.
Usai magrib, gue menerima sms kalau Darma dan Ayahnya sudah sampai di Pangkalan Kerinci.

  ‘’ Gue udah sampai. Lagi makan sate di deket toko obat Agi Farma. ‘’

Belum sempat gue membalas smsnya, Darma langsung menelfon gue.

  ‘’ Toko obat Agi Farma di mana? ‘’

INI KOK GUE BEGO YA.
MALAH NANYA BALIK KE DARMA.

Agar kebegoan gue tidak terlalu terlihat, gue bertanya kembali ke Darma.

  ‘’ Di seberangnya ada Vanhollano, bukan? ‘’

  ‘’ Hah? Apa? ‘’

  ‘’ Seberangnya. Ada Vanhollano? ‘’

  ‘’ Apa? ‘’

  ‘’ Di seberangnya. Seberang. ADA VANHOLLANO, BUKAN? ‘’

  ‘’ Vanhollano? ‘’

  ‘’ Iya. ‘’

  ‘’ Enggak ada. ‘’

Gue sempat panik. Keliatan begonya gue. Gue dari lahir udah di sini, tapi kenapa gue nggak tau kalau ada toko obat Agi Farma di tempat gue tinggal ini.
Lagi asyik mikir dan sempat ada niatan untuk mengelilingi semua toko obat di Pangkalan Kerinci, sebuah sms kembali masuk di hp gue.

  ‘’ Toko obat Anggi Farma. Hehehee tadi salah baca. ‘’

Gue ngangguk-ngangguk sambil tersenyum.

MAU AGI FARMA, MAU ANGGI FARMA, TETEP AE GUE NGGAK TAU TOKO OBAT ITU. AAAAAKKK


***


Singkat cerita, gue akhirnya menemukan Darma dan Ayahnya di samping abang-abang gerobak sate. Gue langsung mengajak Ayahnya untuk ke rumah.
Darma mah bodo amat. Hahahaaa

Enggak deng.
Gue juga mengajak Darma untuk ke rumah.

Sesampainya di rumah, Ibu langsung mengobrol banyak dengan Ayah Darma. Sedangkan Darma? Itu anak diem mulu. Bengong.
Sepertinya dia masih ngebayangin paha mulus dan body mba pramugari tadi di pesawat.

Sekitar pukul setengah sepuluh malam, gue dan Ibu langsung saja mengantarkan Darma dan Ayahnya ke rumah Om gue yang letaknya cukup dekat dengan rumah gue. Selama beberapa hari di Pangkalan Kerinci, Darma dan Ayahnya akan tidur di rumah Om gue.
Sesampainya di rumah Om, Darma langsung meletakkan tasnya yang berat-amat-gile. Nggak tau deh itu Darma bawa apaan di tasnya. Setelah beres-beres semuanya, gue dan Ibu pamit untuk balik ke rumah dan membiarkan mereka beristirahat malam itu.
Saat gue hendak memakai sandal, Darma menemui gue.

  '' Lu langsung cepet tidur ya. ''


LAH BARU NGOMONG INI ANAK.






 (Next)


Share
Tweet
Pin
Share
47 comments


Bagian sebelumnya. (Bagian Delapan)

Bagi yang ingin membaca cerita bersambung ini dari awal silahkan lihat di halaman Proyek WIDY







Agus lupa bagaimana cara berdamai dengan kehilangan. Saat ini, ia memang sudah ikhlas dengan kepergian ayahnya. Bahkan sudah dari SMA. Tapi, kini ia mengalami rasa kehilangan yang baru. Kehilangan seseorang yang ia sayangi. Ini memang pertama kalinya Agus merasakan jatuh cinta. Rasanya pasti berbeda jika disamakan dengan kehilangan ayahnya beberapa tahun yang lalu.

Di saat keadaan semakin kelam, Agus kemudian teringat pesan almarhum ayahnya beberapa hari sebelum meninggal,

“Ketika Ayah udah nggak ada, kamu nggak boleh terpuruk lama-lama. Segeralah bangkit. Kamu itu anak cowok. Harus kuat. Jangan benci ibumu. Juga kakakmu. Apa yang ibumu bilang itu sebenarnya baik. Tapi cara penyampaiannya mungkin salah. Dia cuma ingin memotivasi kamu supaya berprestasi dan mandiri. Ayah yakin kamu bisa mandiri, tapi memang butuh proses. Cara belajar kamu berbeda dengan Januar. Kamu itu tidak bisa terburu-buru, sedangkan ibumu wataknya kurang sabaran. Kamu harus bisa maklumi itu, ya.
Kamu juga nggak perlu iri sama kecerdasan kakakmu. Setiap orang diciptakan Tuhan berbeda-beda. Kamu nggak perlu jadi seperti kakakmu untuk mendapatkan kasih sayang dari ibu atau orang lain. Karena kamu juga spesial, Nak. Jadilah dirimu sendiri.
Ayah sayang kamu, Gus.”


Air mata Agus pun mengalir semakin deras. Ia ingat sekali pesan itu lengkap dengan jenis suara Ayah yang terdengar parau dan melemah. Tapi, berkat pesan itulah ia sedikit-sedikit mulai belajar. Agus jadi lebih mandiri sejak kepergian ayahnya. Ia mulai tidak acuh ketika ibunya mulai memuji-muji Januar. Agus juga tidak perlu membuktikan apa-apa kepada ibunya. Ia cukup bersyukur menjadi dirinya sendiri, meskipun kenyataannya ia memang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sang kakak. Agus masih percaya dengan kata-kata ayahnya, menjadi diri sendiri itu menyenangkan. Dan di situlah letak keunikannya.

Lagi pula, Agus hanya sebulan memandangi Mei dari kejauhan. Baru bertemu dua kali, dan tentunya belum mengenal Mei lebih lama daripada Januar. Sedangkan Januar sudah hampir setahun memiliki hati Mei. Agus kalah terlampau jauh. 


***


Setelah tidur, semua ingatan menyedihkan itu mulai tertutup dan kembali tersimpan otomatis di memorinya. Agus bangun tidur dengan lebih fresh. Hati Agus juga sudah tak sesakit malam itu. Setelah melewati masa-masa sulit, ia tampaknya mulai belajar mengikhlaskan Mei untuk Januar.

Hari ini, perkuliahan sedang libur dan ia tidak ada kesibukan. Maka, siang itu, Agus berencana untuk pergi ke toko buku. Saat sedang bosan di rumah, di sanalah tempat yang membuatnya merasa tenang. Larut dalam imajinasi akan tokoh-tokoh yang disajikan oleh jajaran novel fiksi di rak buku yang sering ia sambangi.

Sesampainya di Gramedia, Agus langsung menuju ke arah rak favoritnya. Matanya yang cokelat itu membulat begitu melihat banyak novel yang dipajang di rak itu. Dadanya pun bergemuruh. Agus mengambil salah satu novel untuk dibaca. Ia mulai membaca halaman demi halaman sambil berjalan. Sampai akhirnya, ia tak sengaja menabrak seorang perempuan di dekatnya.
“Duh, maaf-maaf,” ucap Agus spontan.

“Gapapa, Mas,” jawab perempuan itu.

“Ng... Mei?” ucap Agus heran melihat penampilan perempuan yang mirip Mei. Perempuan ini memang benar-benar mirip. Dari mulai matanya, warna kulitnya, dan juga jenis kelaminnya (yaiyalah kampret). Hanya saja perempuan ini memiliki potongan rambut berbeda dan suara yang lebih lembut.

“Mas siapa?” tanya perempuan itu.

Padahal Agus serasa mimpi kalau dirinya dapat bertemu Mei di Gramedia. Namun, aneh sekali karena Mei kali ini sangat berbeda. Apalagi mendengar responsnya yang seperti itu. Apakah itu bukan Mei? Kalaupun bukan, apakah Mei punya kembaran? Apa mungkin di dunia ini ada seseorang yang benar-benar mirip dengan Mei?

“Gue Agus. Kita pernah ketemu di kafe deket kampus. Ngobrol banyak hal sambil nunggu macet waktu itu,” terang Agus.

“Hmm.... Kok saya nggak ingat apa-apa, ya?" jawab perempuan itu.

“Tapi kita, kan, sempet ketemu lagi waktu itu di....”Agus ingin mengingatkan perempuan ini tentang pertemuan selanjutnya saat makan malam bersama keluarganya. Namun, ia sendiri ingin sekali menghapus momen itu dari ingatannya. Agus kemudian termenung. Wajahnya mendadak murung.

"Di mana?" tanya perempuan itu.

“Lu bener bukan Mei? Lu mirip temen gue soalnya.”

“Bukan. Saya Septi, Mas.”

“Oh, maaf kalo gitu. Gue salah orang,” jawab Agus pasrah, kemudian ia berjalan menjauhi perempuan yang tidak mengenali dirinya ini. Mungkin ingatan tentang Mei di pikiran Agus masih benar-benar melekat. Sehingga saat ia melihat perempuan yang rada mirip, ia pun berpikir kalau perempuan itu adalah ’Mei’.


***


Agus sedang membaca novel yang baru saja ia beli siang tadi, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Agus mendapat sebuah notif di layar ponselnya. Sebuah permintaan pertemanan BBM dari seorang perempuan. Yang ternyata adalah Mei. Padahal Agus sudah mulai mencoba untuk mengikhlaskannya, tapi dia malah hadir kembali.

Ada perlu apaan dia invite gue, ya? Bukannya waktu itu dia nggak mau ngasih pinnya? Apa dia mulai kehilangan gue? Atau dia baru menyadari bahwa gue lebih ganteng daripada Januar?

Tanpa berpikir macam-macam dan untuk menghindari agar ia tidak terlalu kegeeran, Agus segera menerima permintaan pertemanan dari Mei. Setelah berteman di BBM, Agus ingin sekali mengontak Mei. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan rindunya. Paling tidak, ia mungkin bisa bertanya basa-basi “Kok tau pin gue? Ada apa, ya?”, namun, ia malah bimbang dengan keadaan ini.

'' BBM aja. ''
'' Jangan! ''
'' BBM. ''
'' Jangan! ''
'' BBM! ''



Suara-suara di dalam kepalanya mulai berdebat.

Oke, BBM aja deh.
Saat sudah mulai menggerakan jemarinya untuk mengetik sesuatu, tiba-tiba... INGET! DIA ITU PACAR KAKAK LU WOY! IKHLASIN. HARUS IKHLASIN. INGET PESAN AYAH.

Jemari Agus perlahan kaku danmenjauh dari layar ponsel. Ia kembali mengurungkan niatnya.

*tengtongteng*

Dan di saat kebimbangan Agus, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi di HP-nya.

“Gus?” sebuah chat masuk dari...

Mei.
Ingin rasanya Agus bersorak girang. Bagaimana mungkin Mei mengirim chat untuknya?
Karena setahu Agus, bagi perempuan, mengontak laki-laki terlebih dahulu adalah ketidakmungkinan yang tak akan terjadi di dunia.
Seperti pada umumnya, biasanya kebanyakan perempuan gengsi untuk mengontak laki-laki terlebih dulu.

Dan betapa bahagianya ia saat mengetahui  Mei terlebih dahulu mengontaknya dengan mengirim sebuah chat bbm. Agus buru-buru melupakan ketidakmungkinan bodoh itu.

Senyuman terlukis di bibir Agus. Hidungnya kembang-kempis. Matanya berbinar-binar. Cukup lama Agus terdiam hening dengan menatap chat yang tertera di layar HP-nya. Seolah terhipnotis dengan chat barusan. Agus mulai menggerakkan jemarinya, menyusun kata-kata yang hendak ia layangkan kepada Mei sebagai chat balasan.

“Ya? What's up?”


Agus tau kalau Mei adalah penggila musik hip-hop. Ia berlagak seperti rapper dengan sok asyiknya, berharap Mei tertawa dan mengejeknya. Lalu, berharap kalau mereka bisa chatting tanpa ingat waktu.

“Cuma mau nanya, apa Januar sudah pulang kerja, Gus? Chat gue dari tadi sore belum di-read."



Bangkeh. 

Hal ini lebih mengejutkan dari seorang perempuan yang tidak gengsi mengontak duluan. Ya, mengontak hanya karena ada maunya.


Bagian Sepuluh



Share
Tweet
Pin
Share
46 comments


                                






Gue anak pecinta rumah. 
Bagi gue, rumah adalah segalanya. Tempat berkumpulnya keluarga, tempat dimana canda dan gelak tawa tertumpah di dalamnya, tempat melepas penat dengan saling bercerita di malam hari.

Sabtu kemarin, saat menunggu jarum jam beralih ke angka satu, waktunya pulang kerja, gue yang lagi duduk manis di depan komputer terlibat dalam percakapan dengan teman-teman kerja.
Fyi, gue satu-satunya karyawan perempuan di kantor ini. Ngerasa paling cakep banget kalo gabung bareng mereka. Padahal mah muka gue beda tipis sama kanebo kering. Kusut. Tegang. Dekil.
Selain ngerasa paling cakep saat gabung dengan mereka, gue juga ngerasa paling dimanja. Hohooo

Siang itu, salah seorang teman menganggu gue yang sedang khusyuk blogwalking.
  ‘’ Lan, ntar malam kemana? Malam minggu kan. ‘’
  ‘’ Nggak kemana-mana bang. Di rumah doang. ‘’
  ‘’ Siang pulang kerja ini kemana? ‘’
  ‘’ Ya sama, di rumah doang. Nggak kemana-mana. ‘’
  ‘’ Nonton Comic 8, yuk. ‘’
 
Gue memasang muka nyengir.
  ‘’ Rame-rame kok. Mereka juga ikut. ‘’ Temen gue menunjuk ke arah dua orang teman lainnya.
  ‘’ Nggak mau ah. Males. ‘’
  ‘’ Atau kita nonton kungfu panda. ‘’ Salah seorang temen gue yg lain angkat bicara.
  ‘’ Enggak deh. Mending tidur di rumah. ‘’


Meskipun gue seumur hidup nggak pernah nonton bioskop, gue sama sekali nggak mengiyakan ajakan mereka. Daripada nonton bioskop, mending makan nasi padang kuah rendang. Nonton bioskop mentok-mentok makan popcorn. Nggak kenyang. Kecuali kalo makan popcornnya pake nasi. Baru dah gue mau.

Gue kembali meneruskan kegiatan blogwalking gue di depan meja.
  ‘’ Nomor hp Ayah berapa, Lan? ‘’

Lah ini kenapa segala nanya nanya Ayah gue.
  ‘’ Buat apaan bang? ‘’ ujar gue bingung.
  ‘’ Buat minta izin bawa Wulan keluar. ‘’

Gue hanya menghela nafas kemudian kembali melanjutkan blogwalking.

  ‘’ Ayah sukanya buah apa, Lan? ‘’

Asli. Ini orang kepo parah. Segala nanya-nanya Ayah gue sukanya buah apa. Ya buah dada lah.

  ‘’ Hhehee enggak tau, Bang. ‘’ Gue menjawab dengan sekedarnya. 


**


Percakapan di hari Sabtu itu mengingatkan gue dengan sifat gue yang bisa dibilang cupu. Diumur yang sedang otewe ke duapuluh tahun, gue masih jarang untuk keluar dan ngumpul dengan teman-teman.
Ngumpul yang gue maksud di sini adalah ngumpul yang kerjaanya ‘haha hihi’ doang. Nggak guna menurut gue. Kalo mau ‘haha hihi’ doang ngapain harus keluar rumah. Nonton mister bin di laptop aja, gue udah ‘haha hihi’ nggak jelas di kamar.
Beda dengan ngumpul yang memang untuk mengerjakan sesuatu hal.
Contohnya, gue masih menerima ajakan teman untuk mengerjakan tugas kuliah, tugas sekolah, atau membahas suatu hal di luar.  Itu juga kadang gue masih memberi tawaran kepada mereka untuk mengerjakan dan ngumpulnya di rumah gue.

Gue secemen itu untuk keluar rumah.

Nggak jarang, setiap kali libur atau tanggal merah, gue selalu memanfaatkan moment itu untuk beristirahat, bantu-bantu Ibu di rumah dan nonton film di laptop.
Gue masih ingat dengan chat dari Darma ketika tanggal 9 Maret kemarin.
  ‘’ Lu hari libur gini, nggak jalan-jalan keluar? ‘’

Mungkin ada sebagian teman-teman gue yang menganggap kalau gue anaknya sombong. Padahal mah enggak. Gue memang nggak doyan aja ngerumpi di luar. Jalan sana-sini sama temen-temen. Sampai-sampai ada temen gue yang nekat datang ke rumah gue saat malam hari hanya untuk curhat ke gue, setelah beberapa kali gue menolak tawarannya untuk bertemu di luar rumah.


Sifat gue yang cupu ini selalu saja menjadi bahan pertanyaan yang selalu Ibu lontarkan ke gue. Ibu sering berkata, ‘’ Mbok ya sekali-sekali keluar rumah gitu, Lan. Main sama teman-temanmu. Ini enggak, mendekem terus di dalam kamar. ‘’


Sebegitu cintanya gue dengan kamar. Hhhh
Sama kamar aja aku cinta, apalagi sama kamu. Apalagi sama kamu di dalam kamar.



***


Beberapa Minggu yang lalu, di siang hari yang terik, gue memutuskan untuk membeli indomie ke warung belakang. Gue langsung saja mengambil payung dengan corak orange dan biru lalu dengan sigap mengembangkan payungnya.
Gue berjalan ke warung belakang rumah. Deket doang sih sebenernya. Gue gaya-gaya aja pake payung. Biar sok anti panas matahari. Eheh.
Dengan langkah yang pasti dan anggun, gue berjalan dengan payung yang memayungi badan gue.
Sesampainya di warung, gue dikejutkan dengan suara ibu ibu yang juga turut belanja yang tiba-tiba menepuk pundak gue.
  ‘’ Eh ini si Wulan ya? ‘’
  ‘’ Hehee iya, Bu. Ibu belanja? ‘’ tanya gue basa-basi.
  ‘’ Iya nih. Wulan udah besar aja ya sekarang. Dulu masih kecil, kurus. Sekarang udah sebesar ini. ‘’


INI APANYA YANG BESAR COBAA?!!?


Gue hanya cengengesan seraya berkata, ‘’ Hehee dari dulu gini-gini aja kok, Bu. ‘’

Di perjalanan pulang dari warung, gue nggak habis pikir. Ini gue yang jarang keluar rumah atau pertumbuhan gue yang cepet membesar atau si Ibunya yang selama ini nggak memerhatikan gue. Iya sih, nggak mungkin juga Ibu ibu itu merhatiin gue. Gue kan anaknya kurang perhatian. Kurang kasih sayang juga.
Sayangin aqu dongs qaqaaa~

Sambil membuat mie, gue masih saja heran. Masalahnya, itu rumah ibu ibu tadi deket banget dengan rumah gue. Yakali dia nggak ngeliat punya gue yang udah sebesar ini. Ahelah.
Maksudnya, badan punya gue yang udah sebesar ini.

Beberapa hari berikutnya, gue bertemu dengan seorang ibu tetangga di suatu toko buku. Gue yang hampir-setiap-minggu membeli pena untuk persiapan kuliah, dikejutkan dengan panggilan seorang ibu ibu.
Iya, gue setiap hari Sabtu pasti membeli pena. Soalnya selesai kuliah, pena gue selalu hilang entah kemana.

Dari kejauhan, gue mendengar suara panggilan ibu ibu itu. Memang ya, gue idola ibu ibu banget.
Sambil memanggil nama gue, ibu ibu yang mengenakan baju putih lengan pendek itu menghampiri gue. 
  ‘’ Eh Wulan. Sama siapa ke sini? ‘’

SKSD banget sih.
Sebagai anak perempuan yang cukup mengerti dengan tata krama, gue menatapnya dengan sinis sambil berkata, ‘’ Menurut lu aje? ‘’

Enggak deng.
Gue membalasnya dengan senyum sebelum akhirnya gue menjawab pertanyaanya.
  ‘’ Wulan kok jarang keliatan sih. Nggak pernah keliatan sama Ibu. ‘’

Gue hampir aja mau jawab, ‘’ Iya sama dengan jodoh saya, nggak keliatan. ‘’ Trus gue dan Ibunya berpelukan hangat. Menangis bersamaan. Soswit.

  ‘’ Wulan nggak kemana-mana kok, Bu. Di rumah aja. Memang jarang keluar. Hehee. ‘’

Jujur, siklus kegiatan gue dari hari ke hari sangat pasif. Itu itu mulu.
Bangun tidur-mandi-berangkat kerja-pulang kerja-mandi-tidur.
Gitu terus.

Rasanya gue udah cukup lelah di malam hari setelah seharian bekerja. Karena itu, gue jadi jarang untuk keluar rumah.
Selain itu, bagi gue, rumah adalah segalanya. Rumah dan keluarga adalah satu paket kebahagiaan yang tak dapat terpisahkan.
Gue selalu merindukan hangatnya suasana rumah, ramainya gelak tawa yang pecah hanya karena humor receh dari Ayah, ributnya suara sorak-sorakan kayak di pasar malam dari gue yang selalu membully kakak dan adik gue.


Sungguh, gue seorang saudara yang keji.


Sejauh manapun gue pergi,  seberapa lamapun gue jauh dari rumah, gue selalu merindukan rumah dan keluarga.


Bahkan, gue selalu suka keluar dan liburan bersama keluarga. Seperti jalan jalan sore dengan keluarga, makan sate, bakso dan lainnya bareng satu keluarga, foto-foto alay di taman bersama keluarga dan hal hal yang sepertinya nggak penting juga gue lakuin bersama keluarga.
Meskipun keluarga gue kalo keluar udah kayak rombongan jemaah haji yang mau berangkat umroh. Rame heheee. Tapi gue selalu bahagia dengan suasana yang tercipta di sana.

Mungkin karena hal itu, gue jadi kurang suka dengan kegiatan ngumpul bersama teman yang nggak penting karena cuma ketawa ketiwi ketika bertemu.

Sampai-sampai sewaktu SMK, gue pernah dikucilkan dari pergaulan anak hits yang doyan foto. Sudah bisa ditebak, alasannya karena gue selalu menolak ajakan mereka untuk berfoto foto ria dengan camera milik salah seorang teman gue.
Iya, gue bukan anak hits. Gue enggak kayak mereka yang foto pesbuknya sering diganti dengan foto baru yang keren. Foto duduk bersila di semak-semak belukar, trus difoto dari atas. Kalo dilihat sekilas kayak orang-orangan sawah yang kekenyangan habis nyemilin mecin.
Mereka juga sering mengupload foto terbaru mereka. Foto dengan pose duduk di tengah jalan sekaligus dengan rambut yang sengaja diacak-acak serta ekspresi yang galau, seakan foto tersebut menggambarkan orang yang tengah frustasi. Meskipun kalo dilihat, lebih mirip ke kuntilanak kena diare yang kelindes mobil di tengah jalan.
Serem.

Tapi foto-foto seperti itu cukup hits dan nge-trend di kalangan anak anak sekolah gue. Gue hanya bisa diam sambil pura pura main hp saat mereka dengan bangganya memamerkan hasil foto kemarin sore. Dan seperti itu disetiap harinya.
Mereka selalu keluar di saat sore dan malam hari hanya untuk mencari lokasi-lokasi foto yang menurut mereka bagus. Sedangkan gue, selalu menolak ajakan mereka.
Aku mah apa.

Mungkin gue sudah ditakdirkan untuk tidak menjadi salah seorang dari bagian komunitas anak hits di sekolahan. Gue anaknya pemalu sih kalo difoto. Apalagi fotonya berduaan sama kamu. Coba aja foto, pasti aku tutup-tutupin muka karena malu sambil nyender dibahu kamu.

EHEHEEE


**


Gue ngerasa, rumah adalah tempat paling nyaman bagi gue dalam kondisi apapun.
Lagi seneng dapat sms gebetan, gue langsung joget joget dangdut depan laptop di kamar. Trus direkam. Jadi aib pribadi. 
Lagi galau habis putus dari pacar, gue bisa nangis sesenggukan di kamar mandi sambil keramas. Disitu kadang gue ngerasa jadi agnes monica yang sedang syuting video klip.
Lagi kesel, nggak mood, gue bisa nangis keras sambil berusaha nutupin mulut dengan bantal.
Lagi sakit, gue bisa tiduran seharian di depan tv dengan indahnya. Nonton acara dari subuh waktu si ustadz Maulana ceramah sampai acara berita islami masa kini. Bayangin aja, pas sakit gue selalu nonton tayangan-tayangan dakwah tentang islam.
Ya meskipun pas siang harinya gue nonton tayangan kisah cinta-cintaan anak muda. Heheeew

Gue juga ngerasa bahagia saat di hari Minggu tiba. Dimana gue selalu bertugas sebagai penyedia teh anget untuk keluarga. Kata mereka, teh anget buatan gue enak. Ini karena jiwa keibuan gue atau jiwa pembokat gue yang keluar sehingga bisa bikin teh anget yang enak.
Selain bertugas sebagai penyedia teh anget di rumah, saat hari Minggu, gue juga ditugaskan sebagai operator musik. Iya, gue selalu disuruh untuk menyetel lagu. Meskipun terkadang terjadi perdebatan antara Ayah yang ingin lagu campursarinya diputer dengan Ibu yang ingin lagu Nika Ardillanya diputer. Tanpa menunggu perdebatan selesai, gue biasanya langsung mengambil jalan tengah. Yaitu dengan memutar lagu Ungu. YEAAAH!

Berikan akuuuu ciuman pertamamu..
Agar kuyakin, kau memanglah milikku….
Ooohh ooh… 


Gue selalu senang mendengar cerita-cerita Ibu dan Ayah. Tentang Ayah yang menjadi superhero terhebat di keluarga gue. Ayah yang memilih untuk memandikan anak-anaknya ketika bayi sampai tali pusernya lepas. Meskipun ada bantuan seorang perawat, Ayah memutuskan untuk melakukan itu sendiri. Memandikan bayi yang masih merah dengan kedua tangannya.
Mengurus Ibu setelah masa melahirkan dengan sendiri tanpa bantuan siapapun. Memasangkan pembalut, membuatkan jamu bersalin dan kebutuhan Ibu melahirkan lainnya.

Gue selalu ketawa geli dan salut dengan hubungan pacaran Ayah Ibu yang backstreet selama 5 tahun. Mereka saling percaya dan yakin untuk bisa bersama. Ya walaupun untuk bertemu, Ayah harus menunggu Ibu libur kuliah. Itu juga bertemunya sebentar dengan cara kucing-kucingan.
Sampai akhirnya mereka mendapat restu dan menikah.
Gue salut dengan mereka. Hebat.

Gais, walau bagaimanapun kondisi keluarga kita, mereka tetaplah orang terdekat di dalam hidup kita. Orang terdekat di hidup kita bukan teman, sahabat ataupun pacar. Tetapi keluarga.
Hanya keluarga yang paling mengerti kita, keluarga yang selalu ada untuk kita disaat kita senang maupun terpuruk sekalipun. Terlebih kedua orangtua, yang selalu setia merawat kita, si bayi kecilnya saat dulu.

Rumah dan keluarga.
Nggak ada yang mengalahkan kebahagiaan gue dengan satu paket itu.


Dengan rumah dan keluarga aja, aku bahagia. Apalagi serumah dan berkeluarga dengan kamu.





Share
Tweet
Pin
Share
53 comments
Newer Posts
Older Posts

Rahayu Wulandari

Rahayu Wulandari
Atlet renang terhebat saat menuju ovum dan berhasil mengalahkan milyaran peserta lainnya. Perempuan yang doyan nulis curhat.

Teman-teman

Yang Paling Sering Dibaca

  • ADAM
  • Ciri-ciri cowok yang beneran serius
  • Pelecehan
  • 5 Tipe Cowok Cuek

Arsip Blog

  • ▼  2020 (5)
    • ▼  September (1)
      • Perjalanan Baru
    • ►  June (1)
    • ►  April (3)
  • ►  2019 (5)
    • ►  October (1)
    • ►  July (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2017 (14)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  July (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (5)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (5)
    • ►  March (5)
    • ►  February (8)
    • ►  January (7)
  • ►  2015 (138)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (8)
    • ►  September (12)
    • ►  August (12)
    • ►  July (6)
    • ►  June (9)
    • ►  May (10)
    • ►  April (15)
    • ►  March (21)
    • ►  February (11)
    • ►  January (24)
  • ►  2014 (18)
    • ►  December (10)
    • ►  November (6)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates