• HOME
  • ABOUT ME
  • CONTACT
  • WIRDY'S PROJECT

Rahayu Wulandari Ibrahimelya

Daripada tawuran, mending kita curhat-curhatan


                                       


Akhir-akhir ini gue ngerasa kurang produktif untuk menulis. Gatau kenapa. Gue ngerasa ada yang kurang. Gue ngerasa kalo gue kurang bergairah, kurang makan, kurang uang jajan, kurang perhatian, kurang kasih sayang dan berbagai kekurangan lainnya.
Postingan yang gue tulis kemarin juga gue tulis dengan males-malesan. Huhuuu. Kenapa gue jadi males-malesan gini sih. Seperti biasa, gue kalo lagi males-malesan jadi sering ngelamun dan flashback, mengingat kejadian masa lalu. 

Gue anaknya pelupa parah. 

Andai kalian tau wahai sobat yang berbahagia, saat mandi sore, gue sering lupa kalau tadi pagi gue pake baju apa. Gue sering lupa kalo gue udah makan sejam yang lalu. Gue sering lupa naruh barang di mana.
Tapi, selupa-lupanya gue, gue masih ingat dengan kejadian beberapa tahun lalu atau kejadian yang udah lama berlalu.

Gue suka mengenang. Mengenang masa lalu saat gue punya pacar. Tapi semengenangnya gue, gue nggak pernah sampe stalk akun medsosnya mantan. Nggak akan pernah! Helooww iyuuuh banget.
Mentok-mentok gue cuma sms dia doang. Minta balikan.
Enggak deng.

Gue suka mengenang.
Apalagi mengenang saat saat bahagia dulu. Sampai akhirnya gue jadi mikir, ‘’ Ternyata gue dulu pernah bahagia ya. ‘’ Sebelum pada akhirnya gue langsung ngomong dalam hati, ‘’ Tapi percuma sih kalo ujung-ujungnya bakal dikecewakan. ‘’


YHAAA~


Dari kegiatan yang maha penting itu, gue jadi belajar banyak hal. Dengan mengenang masa lalu, gue jadi tau akan apa yang harus gue cari dan apa yang harus gue tinggalkan.
Seperti postingan kemarin yang terlahir dari kegiatan mengenang masa lalu gue, gue mendapat salah satu pelajaran.


Yaitu, jangan pernah mencari pasangan yang pelit.


Bayar parkir motor dua rebu doang pelit. Gimana besok mau bayar popok anak, susu anak, beras, cabe rawit, bawang, minyak goreng, bayar listrik, belum lagi kalo anaknya udah sekolah. Uang sekolah anak mahal broh.

Saat gue mengenang masa lalu dengan beberapa mantan, gue juga menyadari akan satu hal. Ternyata gue pernah bahagia dengan mantan gue yang sama sekali nggak pernah romantis.
Gue masih ingat dengan jawaban beberapa teman gue tentang kriteria cowok idaman mereka. Yang di mana salah satunya mereka akan menaruh kata ‘harus romantis’ di deretan kriteria cowok idaman yang mereka sebutkan.

Kenapa harus romantis? Ada apa dengan romantis? Apa romantis itu tolak ukur kebahagiaan?

Emang romantis itu kayak gimana sih? Apa harus ngasih bunga tiap ketemu atau dinner bareng pake lilin lilin gitu?


Gue dari dulu, nggak pernah meletakkan ‘harus romantis’ dalam kriteria cowok idaman.

Kriteria cowok idaman gue cuma dua.
1. Kalo pipis berdiri 
2. Nggak takut sama kecoa.

Udah, itu aja.

Gue mah anak simple. Nggak mesti dikasih bunga-bungaan. Gue ditraktir makan nasi goreng brebes aja udah seneng. Dibikinin mie rebus pake telor ceplok sama pacar aja, gue udah bahagia. Bahagia bangetlah. Bahagia dunia akhirat.

Waktu gue pacaran dengan pacar gue ketika itu, gue nggak seperti temen-temen lain yang setiap hari selalu dapat sms yang isinya, ‘’ Selamat pagi sayangku. ‘’
Setiap pagi, gue hanya dapat sms dengan isi satu pertanyaan, ‘’ Koe sekolah hari ini? ‘’

Iya waktu itu gue masih duduk di bangku SMK. Tadinya mau duduk di pangkuan Aliando, tapi nggak mungkin sih.

Waktu gue SMK, gue nggak kayak anak sekolahan jaman sekarang. Gue nggak pernah bikin video salam osis, salam pramuka atau salam-salaman lainnya. Satu-satunya video yang pernah gue rekam adalah video saat gue sedang joget dengan gerakan erotis. Kalian cari aja di yutub, pasti nggak ada.

Betewe, gue jadi bingung. Kenapa mereka yang sebagai anak sekolahan dengan baik hati mengunggah video mereka sendiri. Kan yang cowo cowo jadi keenakan.
Apa jangan-jangan anak osis dan anak pramuka pernah punya masalah?
Jadi ini semacam kontroversi antar anak organisasi osis dengan anak pramuka.

Harapan gue, yaaa semoga masalah yang ada diantara mereka cepat terselesaikan.
Harapan gue satu lagi, yaaa semoga rasa yang ada diantara kita cepat diutarakan.

Oke.

Ini ngapa jadi bahas salam salaman sih. ASTAGFIRULLAH.

***

Berbicara tentang keromantisan, saat gue masih berhubungan dengan dia, gue nggak pernah dipanggil dengan panggilan mesra serta manja.
Jangankan dipanggil dengan panggilan mesra, dipanggil nama aja gue udah seneng. Karena gue sendiri nggak begitu excited dengan cowok yang romantis. Bahkan kalo jalan, gue dan dia nggak pernah berpegangan tangan. Soalnya gue lebih milih berpegangan kepada teguh dan keyakinan. Asooy.

Ketika itu gue sangat nyaman dengan hubungan yang seperti itu. Gue sama sekali nggak iri dengan teman gue yang selalu pamer foto pacarnya yang lagi megang kertas dengan tulisan nama mereka berdua.
Gitu doang elaah. Gue mah nanti pamernya, waktu nama gue dan dia berdua tertulis di buku nikah. Uhuk. 


Ngomongin keromantisan, ternyata Ibu gue ‘sepertinya’ sedang berusaha untuk menjadi orang yang romantis. Gue baru menyadari hal itu sejak dua hari yang lalu, saat gue baru pulang kerja dengan tampang lesu tak berdaya, gue duduk melahap pecel yang terlihat nganggur di atas meja.
Ibu berjalan mendekati pintu kamar mandi dengan memegang setangkai bunga yang-entah-darimana ia dapatkan.

Sebagai anak yang cerdas serta aktif bertanya, ya tentu saja gue nyengir dan melahap pecel yang ada di hadapan gue.

Ibu menyembunyikan setangkai bunga mawar putih plastik di punggungnya. Begitu pintu kamar mandi terbuka, Ayah keluar dengan tampang bengong sambil melihat Ibu yang senyum-senyum nggak jelas.
Dengan mengambil nada do tinggi, Ibu berteriak TARAAAAAA
Yang kemudian dilanjutkan dengan memberi setangkai bunga mawar putih di hadapan Ayah.

Kalian tau respon apa yang Ayah ucapkan?
Hanya dua kata.


Ayah menghela nafas sambil berkata, YA ALLAH..


Tanpa dikomando, suara tawa Ayah dan Ibu pecah secara bersamaan. Gue juga ikut menahan tawa setelah mencoba menelan pecel suapan terakhir.

Di tengah-tengah suara tawa, dengan entengnya Ibu berkata, ‘’ Kan biar romantis kayak di FTV itu loh. ‘’


Gaes.

Ternyata, selain pecinta tayangan Katakan Putus, Ibu gue juga pecinta serial FTV.



***

Kembali ke tentang romantis, kalo boleh gue bertanya, perempuan mana sih yang nggak mau diperlakukan dengan romantis?

Gue juga mau keleus.

Tapi gue nggak menaruh keromantisan sebagai hal yang harus diprioritaskan. Bagi gue, keromantisan hanya nilai tambah yang akan kita terima dari diri pasangan.


Ini gue ngapa sok wibawa, adil dan bijaksana gini sih, elaaahh.
Udah dulu ya. Aku dipanggil mama nich beli garem.
Dadaaah
Share
Tweet
Pin
Share
90 comments




Gue termasuk anak yang boros. Gue nggak bisa lihat nasi padang lama-lama begitu saja di etalase. Kasihan. Nasi padangnya minta dimakan banget.
Gue boros untuk hal yang berbau makanan. Untuk baju, tas dan sepatu mah boro-boro. Yang penting makan, makan dan makan.

Besok-besok kalo gue jadi caleg, gue mau bikin slogan 3M. Makan, makan dan makan. Okesip.
Tenang aja. Kalo gue jadi DPR, gue nggak bakal tidur di sidang paripurna kok. Gue hanya bakalan tidur di pundak dan dada bidang kamu. Eheheew

Gue memang boros untuk hal-hal makanan, tapi bukan berarti gue pecinta makan makanan berat. Cukup rindu aku ke kamu aja yang berat, makanan nggak usah.
Gue boros untuk makanan yang berupa cemilan. Gue bisa-bisanya bangun tengah malam hanya untuk duduk di pinggir tempat tidur, membuka cemilan dan mengunyahnya dengan penuh khidmat.

Gue selalu salut dengan orang yang menerapakan prinsip hemat di hidupnya. Menyisihkan uang bulanan untuk disimpan, membuat tabungan harian kecil, dan berbagai macam cara berhemat dan menabung lainnya.

Memang bener ya, Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan dan saling melengkapi.

Kalimat itu yang ada di pikiran gue di tahun 2012 silam. Ketika itu gue memiiki pacar yang super hemat. Sementara gue anaknya boros.
Saling melengkapi, right?

 Saat itu gue masih duduk di semester awal kelas satu SMK. Gue mengenal dekat seorang lelaki yang usianya lebih tua 3 tahun daripada gue. Ketika itu dia sudah bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan.
Namanya Deni.
Serius. Ini bukan nama samaran.

Sampai pada suatu hari, Deni mengajak gue untuk menghadiri undangan pernikahan temannya. Mengingat lokasi undangan yang cukup jauh karena menempuh perjalanan satu jam lebih, Deni meminta izin kepada Ayah dan Ibu untuk membawa gue satu harian.
Ayah dan Ibu mengizinkan.

Sekitar jam 10 pagi, gue dan Deni berangkat dengan riang gembira. Sesaat sebelum pergi, gue yang mendadak kehausan  berkata kepada Deni, ‘’ Aku haus. Berhenti cari minum dulu dong. ‘’
Deni memberhentikan motornya dan mendekat ke sebuah warung kecil. Gue cukup tercengang saat Deni menghampiri gue dengan menyodorkan minuman frutang.

Oke nggak papa. Gue pun langsung meminum habis minuman itu. Perjalanan kembali dilanjutkan.

Sesampainya di tempat undangan, seperti orang pada umumnya, gue dan Deni langsung menuju pada bagian makanan yang terhidang. Tadinya gue pengen gantiin mempelai wanitanya di atas pelaminan, tapi nggak jadi. Mending gue gantiin pas malam pertamanya aja.  Enak.
Makanannya. Makanannya di sana enak-enak.

Setelah selesai makan, menyalami kedua mempelai, gue dan Deni memutuskan untuk mencari mesjid terdekat. Di sana kami solat dan berdoa dengan penuh khusyuk. Terutama gue, gue berdoa supaya nanti nggak dikasih minuman frutang lagi. Seret euy.
Jam menunjukkan pukul tiga sore. Deni mengajak gue ke salah satu mall yang ada di daerah tersebut. Motor yang Deni kendarai berhenti di pinggir jalan dan di luar area mall.

  ‘’ Kok kita parkir di sini? ‘’ tanya gue heran. Melihatnya melepaskan helm dan mematikan motor, gue juga turut turun dari motor.

  ‘’ Iya, kita parkir di sini aja ya. Kalau masuk nanti kena biaya parkir. ‘’

Sore itu, dengan cuaca yang cukup panas dan membuat badan gerah, gue dan Deni berjalan kaki menuju pintu masuk mall. Jarak yang terbilang cukup jauh dari posisi parkir motor yang di tepi jalan.



Sepertinya Deni sedang menerapkan GISDH. Gerakan Indonesia Sehat dan Dompet Hemat.



Sesampainya di dalam mall, gue dan Deni berjalan mengitari segala penjuru mall. Dari lantai dasar sampai lantai paling atas. Dari kiri ke kanan. Dari masuk sampai keluar lagi dari toko buku. Dari cleaning service ganti shift satu sampai ganti ke shift lima.
Gue dan Deni tetap berjalan dengan langkah yang pasti. Langkahnya doang yang pasti, tujuannya nggak pasti. YHA.
Selama berjalan mengitari mall, gue selalu tertinggal di belakang dari Deni. Deni jalannya cepet banget. Lebih cepet dari usia hubungan lu sama dia yang tiba-tiba kandas. Cepet deh pokoknya. Sementara gue selalu celingukan di belakang. Diantara kerumunan orang-orang yang berlalu lalang.
Pribahasa yang tepat untuk gue yang kebingungan ketika itu adalah, bagai anak ayam kehilangan om-omnya.

Saat itu gue masih pacaran dengan malu-malu. Pegangan tangan aja malu. Jadi maklum aja kalo gue sering ketinggalan jalan di belakang Deni.

Kegiatan mengitari mall yang dimulai dari pukul tiga itu akhirnya selesai saat jarum jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Gila. 4,5 jam gue dan Deni jalan keliling mall  tanpa tujuan yang jelas.


4,5 JAM GAESSS??

Saat itu gue ngerasa jadi peserta jalan sehat di tujuhbelasan.
Jangankan membeli sebiji barang, makan juga enggak. Jangankan makan, ditawarin juga kagak.
Gue mendadak lemes dengan perut yang meminta diisi saat berjalan keluar dari mall.

Setelah sampai di motor, gue dan Deni langsung memutuskan untuk pulang ke rumah. Takut pulang kemalaman. Eh tapi memang udah malem sih.
Tidak sampai limabelas menit perjalanan, hujan turun dengan derasnya. Deni langsung kelabakan dan mencari tempat untuk berteduh. Malam itu, gue dan Deni berteduh di depan salah satu ruko yang tutup. Tepat di sebelah kami berteduh, seorang bapak tua terlihat juga ikut berteduh ditemani dengan gerobak bakso putihnya.

Wah mantap nih. Hujan-hujan, dingin, makan bakso, bareng pacar lagi, gumam gue ketika itu.

  ‘’ Kamu mau bakso? ‘’ Deni menoleh ke arah gue. Spontan gue langsung menggeleng sambil berkata tidak mau. Belum sempat gue mengembalikan posisi kepala dari arah gelengan, Deni sudah dulu sampai di depan gerobak bakso.

  ‘’ Mas, baksonya satu ya. ‘’

Lah si kampret. Mesen bakso sendiri doang. Ini gerakan hemat apalagi sih elah.

Buat cowo-cowo di luar sana, percayalah. Jawaban pertama yang terlontar dari mulut cewe bukanlah jawaban yang sebenarnya. Dengan kata lain, jawaban yang sebenarnya adalah kebalikan dari jawaban pertama.
Jadi jawaban gue yang sebenernya saat ditawarin Deni untuk memakan bakso adalah, YA GUE MAU BANGETLAH GILAAK. UJAN UJAN GINI MAKAN BAKSO. ENAK BANGET. SIAPA YANG NOLAK


Ngerti dong. Tadi kan gue malu-malu gitu pas ditawarin. Coba aja ada tawaran kedua, pasti gue bakal ngangguk.


Malam itu, di bawah ruko dengan suasana yang dingin serta hujan yang deras, sambil menenteng helm dan jaket, gue berdiri lemes menatap Deni yang tampak begitu menikmati baksonya.
Miris.

Setelah perut Deni kenyang dan gue masih dengan keadaan lapar, kita kembali menunggu hujan reda. Gue melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Jam setengah sembilan. Sepertinya kali ini gue harus pulang larut malam.
Setelah hujan reda, gue dan Deni kembali melanjutkan perjalanan. Selama di perjalanan, badan gue bener-bener lemes. Muka gue yang tadinya kusut jadi acak adut tak menentu. Gue yang tadinya masih bertenaga kuat dan ceria sekarang jadi lemah tak bergairah.

Semua gara-gara bakso.
Beberapa jam kemudian, gue dan Deni tiba di rumah gue. Gue mempersilahkan lelaki itu masuk dan menyuguhinya dengan teh hangat.

  ‘’ Eh Deni, diminum tehnya ya. Mumpung masih hangat,’’ ujar Ibu sambil ikut duduk dan gabung di sebelah gue.

  ‘’ Lan, ajak dulu nih Mas Deni makan. ‘’

Malam itu gue makan bersama Deni. Sesekali gue menoleh ke Deni, gue heran. Gue yang kelaparan belom makan dari tadi, gue yang kedinginan, kenapa dia yang makannya lahap?? -_-

Sebulan setelah itu gue memilih untuk mengakhiri hubungan gue dengan Deni. Menurut gue, hidupnya terlalu hemat. Bahkan untuk parkir dua ribu rupiah juga terlalu hemat.


Sebenernya hemat itu yang seperti apa? 





Share
Tweet
Pin
Share
36 comments


                                              




Sebagai cewe macho sejagad raya, gue harus terlihat selalu tegar di hadapan teman-teman.
Disakiti cowo, gue tegar. Dibohongin cowo, gue tegar. Dikecewain cowo, gue tegar.
Gila. Keren banget ya gue.

Namun semua kemachoan gue hampir saja runtuh di beberapa minggu lalu.
Tepat pada tanggal 20 Maret di hari Minggu, gue dan beberapa teman serta dosen berangkat menuju kampus pusat.
Fyi, gue berkuliah di kampus cabang. Dari kampus cabang ke kampus pusat bisa dikatakan cukup jauh. Bisa memakan waktu satu setengah jam.

Pagi itu, di mata kuliah yang terakhir di semester dua, gue dan beberapa teman sudah berkumpul di area parkir kampus cabang. Area parkirnya tidak terlalu luas. Nggak bakalan cukup untuk dipake main gobak sodor. Apalagi main futsal. Nggak cukup.
Seperti yang diinfokan dari beberapa hari yang lalu di grup, pagi ini, di mata kuliah Pancasila, semua mahasiwa diharuskan untuk berangkat ke kampus pusat. Kelas akan diadakan di sana.
Karena salah seorang ibu dosen di kampus cabang gue ini berbaik hati, ramah serta bisa menggunakan lampu sein motor dengan benar, ia dengan senang hati menyediakan dua mobil pribadinya untuk digunakan mahasiswa.

Posisi duduk gue ketika itu berada di bangku tengah dan di tengah. Di kursi belakang diisi oleh tiga cowok kece, di kursi tengah diisi oleh tiga cewe. Dengan gue yang berada di tengah, Nurul di sebelah kanan gue dan kakak senior di sebelah kiri gue.
Sementara Dosen di bangku depan dengan adiknya yang menyetir mobil.

Saat 15 menit perjalanan, gue melihat ke sebelah kanan dan kiri. Mereka diam. Hening.
Dengan setengah berbisik gue bertanya ke kakak senior.

  ‘’ Kakak, suka mabok ya kalo naik mobil? ‘’

  ‘’ Iya, Dek. ‘’

Gue manggut-manggut sebelum akhirnya gue menanyakan hal yang sama ke Nurul.

  ‘’ Nurul suka mabok ya? ‘’

  ‘’ Iya, Kak. ‘’

Yawlaaa. Tolong.

Ini kenapa posisi duduk gue bisa di tengah-tengah mereka yang suka mabok gini sih. Harusnya kalo sama-sama suka itu kan disatukan, didekatkan. Bukan dipisahkan.


Setengah jam berlalu sampai pada akhirnya gue mendengar suara-suara aneh dari Nurul. Gue menoleh. Nurul terlihat menutup mulutnya dan mukanya memerah.
Sebagai perempuan yang teramat sangat ngerti dengan kode, gue langsung meminta plastik ke dosen.

  ‘’ Bu, ada plastik nggak? Ini Nurul mau muntah. ‘’

Ibu dosen terlihat panik dan merogoh laci tasnya.

  ‘’ Kakak ada plastik nggak? ‘’

  Kakak senior menggeleng. Mukanya ikut memerah. Sepertinya dugaan gue bener. Mereka akan muntah bersamaan dengan intonasi dan irama yang sama. Gue ngerasa kalau di antara mereka ada ikatan batin yang kuat.

  ‘’ Nggak ada plastik nih, ‘’ ujar Ibu dosen setelah membuka dasbornya.


HUWAAAAA

Gue nggak tau harus gimana lagi. Lama-lama gue jual plastik juga nih di dalam mobil. Mayan kalo dijual seratus rupiah. Seenggaknya lebih murah dari plastik indomartt. Bakal laku keras pasti.
Kira-kira begini:

Nurul muntah 5 kali = Rp. 500
Kakak senior muntah 5 kali = Rp. 500
Total Rp. 1.000
Rp. 1.000 = dapat antimo dua biji.

1 biji untuk gue minum di perjalanan pergi dan 1 biji lagi untuk gue minum diperjalanan pulang.
Keren ya perhitungan gue.


Untung saja ketika itu, Nurul dan kakak senior bersama-sama mengurungkan niat untuk muntah massal. Syukurlah.

Limabelas menit sebelum sampai di kampus pusat, gue mendadak pusing. Badan gue lemes. Dan begonya gue baru sadar kalo gue belum makan dari pagi. Bahkan dari kemarin malam. Di saat seperti ini gue merasa kemachoan gue sedang dipertaruhkan.

Gue nggak boleh muntah.

Sesampainya di kampus pusat, gue langsung sarapan di tempat yang tidak jauh dari lokasi kampus.
Tepat pada jam setengah sembilan, gue dan anak-anak lain mulai memasuki kelas. Seorang lelaki tua, dengan baju abu-abu yang super rapi kayak mau ikut prospek MLM, kacamata bulet serta rambut klimis yang licin kebangetan. Itu gajah kalo jalan di rambutnya pasti langsung kepeleset. Licin cooyy.
Selama menyampaikan materi, dosen pancasila ini bener-bener bikin gue boring. Posisi duduk gue yang di depan meja dosen, sama sekali nggak bisa membuat gue fokus mengikuti materi yang ia sampaikan.

Sampai pada akhirnya, KREEK KREEK
Di hadapan gue, dosen pancasila itu menggaruk kepalanya dengan dua kali garukan.  Karena hal itu, rambut dosen yang awalnya rapi dan licin mendadak langsung berantakan.

Gue langsung menahan tawa yang hampir meledak.
Rasanya saat itu juga gue pengen teriak, YA ALLAH ANDHIKA KANGEN BAND.

Sekitar jam setengah empat sore, perkuliahan di hari itu selesai. Perkuliahan di semester dua selesai. Saat keluar dari kampus, salah seorang teman perempuan gue menawarkan beberapa orang untuk ikut dengan mobilnya.

  ‘’ Yuk siapa yang buru-buru naik sama aku aja, ‘’ ujarnya setengah berteriak.

Mengingat besok adalah hari Senin dan gue harus masuk kerja lagi, rasanya gue pengen buru-buru istirahat. Pengen cepet pulang. Tanpa menunggu waktu lama, gue dan beberapa teman langsung masuk ke dalam mobilnya.
Tiga orang cowo, gue dan Nurul kini tengah berada di dalam mobil. Nggak afdhol rasanya kalo cewek yang menyetir mobil sementara ada tiga biji cowo di dalamnya. Salah seorang temen cowo gue, menawarkan diri untuk menyetir.

Perjalanan dimulai.
Lagi-lagi gue duduk di posisi tengah dan di tengah. Dengan Nurul di sebelah kiri dan Sheina di sebelah kanan.
Bener-bener deh. Gue tersiksa dengan posisi duduk di tengah gini. Nggak enak.

Bang Daniel, temen gue yang menyetir tiba-tiba saja membuka suara.

  ‘’ Ini remnya kok jauh banget ya. ‘’ 

Maksudnya rem yang jauh ini, rem yang kurang cakram.

  ‘’ Iya bang. Remnya jauh. Nggak bisa ngerem mendadak, ‘’ ujar Sheina


DEGG!


Gue kaget. Takut. Ini mah bukan buru-buru untuk sampai di rumah. Tapi buru-buru untuk melepas nyawa. Gue belum siap ketemu mas Fir'aun di neraka.
Lagian, ini kenapa juga remnya sampe bermasalah gini. Kalo ada apa-apa, secara nggak langsung kita pasti ngerem mendadak dong. Lah kalo remnya jauh gini, gimandose? Gue panik.

Lagi sedang panik-paniknya, tiba-tiba  AAAAAAAKKK
Salah seorang cowo yang duduk di belakang gue berteriak. Awalnya gue sempat berfikir, ah kali aja kejepit resleting. Baju kemejanya. Gue menegakkan badan untuk melihat ke depan mobil. Hampir. Bener-bener hampir aja mobil yang gue naikin ini menabrak seorang pengendara motor.

Gue baru menyadari suatu hal. Ternyata naik mobil dan ngeliat buku rekening di akhir bulan itu sama. Sama-sama nyeremin.

Perjalanan kembali diteruskan dengan khusyuk dan banyak cemasnya.
Langit kian meredup. Lampu jalanan mulai dinyalakan. Gue perlahan menoleh ke belakang, memastikan dua orang cowo yang duduk di belakang gue masih hidup dan bukan salah satu dari kaum LGBT. Yakali aja. Habis mereka berdua-berduaan sih di belakang. Udah gelap juga.
Ajak-ajak gue gitu kek.


Entah dengan faedah apa, Bang Daniel tiba-tiba menaikkan kecepatan laju mobilnya. Suasana dalam mobil semakin panik. Kami semua berteriak histeris. Tapi tetap dalam hati. Kalo tetap dalam jiwa itu lagunya Isyana.
Suasana di dalam semakin mencekam. Gue yang sedari tadi berusaha untuk memejamkan mata, mulai merasa tidak tenang. Jantung gue berdegup kencang. Oh apakah ini cinta?

Mobil semakin kencang. Melesat di antara kerumunan mobil truk bermuatan lainnya. Gue mendadak pucat.
Rasanya saat itu juga gue pengen mendekatkan wajah gue ke telinga Bang Daniel seraya berbisik pelan, ‘Gue belum mau mati. Plis. ‘

Gimana kalo gue kecelakaan trus mati. Gue belum nikah. Belum ngerasain bobo dan manja manja halal dengan pasangan. Belum ngerasain jadi ibu-ibu yang menyalahgunakan fungsi lampu sein motor. Belum namatin sinetron anak jalanan. Belum namatin uttaran. Belum hafal mars perindo apalagi.

Huwaaaaa. Gue pengen nangis.

Gue tetep diam sambil sesekali membaca ayat-ayat pendek. Jantung gue terus menerus berdegup kencang. Kepanikan gue malah meningkat saat Bang Daniel memutuskan untuk menyalip mobil depan. Masalahnya ini, mobil yang di depan bukan sembarang mobil. Mobil tangki SPBU. Mobil gede. 
Dan di saat yang bersamaan, sebuah mobil datang dari arah lawan.

TIN TIIIIN

AAAAAAAAAKKKK

Suasana mobil yang tadinya hening penuh kecemasan mendadak berubah ramai penuh histeris. Terlebih gue. Gue berteriak sehisteris mungkin. Satu teriakan histeris gue sama dengan nada suara Komo yang lagi batuk kering.

Mobil melaju kian kencang. Rasanya roh gue udah menggantung di langit-langit atap mobil.

Dan

Alhamdulillah ya Allah.
 Mobil yang dikemudi Bang Daniel selamat. Itu artinya GUE BISA MENIKAH. YEAH.

Ternyata Bang Daniel jago nyalip euy. Gue salut.

Beberapa menit kemudian, gue mendengar suara aneh dari sebelah kiri gue. Nurul. Iya, Nurul terlihat sedang menutup mulutnya yang hendak muntah. Sebagai perempuan sejati yang pantang pergi sebelum disakiti, gue langsung saja menyodorkan sebuah plastik ke Nurul. Nurul menggeleng.
Heran gue. Ini anak mau muntah. Tapi pas gue sodorin plastik, dia malah nolak.

Buat cowo-cowo yang cintanya sering ditolak, ai nou wat yu fil. Ditolak itu sakit gengs.

Gue memperhatikan Nurul yang sepertinya sudah tidak tahan ingin muntah. Dengan cepat gue langsung menyuruh Bang Daniel untuk menepikan mobilnya. Nurul turun. Kami meninggalkan Nurul.
Enggak deng.

Kami semua menunggu Nurul untuk menuntaskan tugasnya. Satu pelajaran yang bisa gue contoh dari seorang Nurul. Kita harus mencintai lingkungan.
Gue jadi tau alasan kenapa Nurul menolak plastik pemberian gue. Karena Nurul lebih mencintai lingkungan. Ia tidak mau menggunakan plastik sebagai wadah untuk muntahnya.

Keren juga si Nurul.


Baru beberapa menit Nurul duduk dan mobil kembali berjalan normal, mendadak perut gue terasa nggak enak. Kerongkongan gue hambar. Kayak hubungan kamu dan dia. Udah hambar. Tapi tetep aja masih diteruskan. Huh.
Tidak hanya itu, kepala gue juga terasa pusing. Kesimpulannya, gue pengen muntah.


OH NO!


Gue mencoba menelan ludah. Ludah Bang Daniel. Kagak. Ludah gue sendiri. Gue menarik nafas panjang. Mencoba untuk menenangkan tenggorokan yang sepertinya sudah meminta untuk dikeluarkan.
Gue menegakkan posisi duduk gue. Berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang suasana jalan di malam hari. Tapi paan. Kanan kiri gue gelap banget. Sepi. Hanya satu-satu lampu dari cahaya kendaraan yang menerangi jalan raya.

Gue menyandarkan badan ke kursi. Saat itu juga, kepala gue terasa berat. Gue mual.

Gue juga nggak tau kenapa tiba-tiba gue mual dan pengen muntah. Padahal sebelumnya nggak ada yang naruh foto mantan di hadapan gue.

Demi menjaga kemachoan diri sendiri, gue bertekad kalo gue-enggak-boleh-muntah.
Mau ditaruh di mana harkat martabat negara? Hellaaww~
Bisa-bisa dalam sekejap, pencitraan barbie selama ini bakal hancur.

Sepuluh menit lagi mobil akan sampai di area parkir kampus. Dalam sepuluh menit itu, gue bernazar kalo gue berhasil dan nggak muntah sampai di parkiran kampus dan turun dari mobil, gue bakal jadi cosplay Nami. Tapi nggak mungkin. Nami dadanya indah penuh pesona. Kalo gue indah paan.

Sesampainya di parkiran kampus, gue langsung gelar sajadah. Sujud syukur. Akhirnya gue nggak muntah selama di perjalanan pulang dan pergi. Yeaaahh.
Setelah mengambil motor di parkiran kampus, gue hanya senyum-senyum saat di perjalanan pulang menuju ke rumah di atas motor.
Gue nggak bisa bayangin saat gue pulang ke rumah, ucap salam, ketok pintu, orang-orang di rumah langsung berteriak histeris lalu mengatakan, ‘’ NAMI? ‘’

Ah indahnya berkhayal.

Sesampainya di rumah, gue langsung menemui Ayah sambil berkata, ‘’ Yah, pijitin dong. Kayaknya masuk angin nih. Pusing. ‘’




BETEWE, NAMI MANA SIH YANG MASUK ANGIN DAN MINTA DIPIJITIN? ELAAH.


Pokoknya hari itu, gue bener-bener macho. Okesip.



Share
Tweet
Pin
Share
29 comments


Hai hooo

Buat yang komen di postingan kemarin dan nanya ‘udah jadian apa belum’, percaya deh gaes. Gue dan Darma nggak pacaran. Hehehee
Kita pure temen deket. Deket bangetlah pokoknya. Darma anaknya nyambung diajak ngobrol. Apalagi kalo ngobrolin dada dan paha. Nyambung banget.
Buat yang doain langgeng, gue cukup mengamininya. Langgeng pertemanannya. Hehheeew

Untuk kedepannya, jodoh siapa yang tau :))

Next kelanjutan cerita 85 jam di Pekanbaru.


                                             

 Sabtu, 26 Maret 2016

Di pagi hari ini, gue sarapan nggak sendiri. Gue sarapan ditemani oleh  Darma. Yaa meskipun Darma sesekali bilang, ‘’ Nasi gorengnya asin. ‘’
Padahal yang bikin nasgornya Ibu. Ini maksudnya Ibu gue pengen kawin lagi gitu? Yawlaaa
Menurut gue, sebenernya nggak terlalu asin sih. Mungkin lidah Darma belum terbiasa aja dengan masakan Ibu yang orang Padang atau masakan khas Melayu di sini.
Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul setengah delapan. Gue pamit berangkat kerja dan Darma melepas gue berangkat kerja dengan berdiri di depan pintu.

INI NGAPA KEBALIK.
KOK LAKI-LAKI YANG NGELEPAS PEREMPUAN PERGI KERJA.


Seperti biasa, di hari Sabtu, jam kerja gue hanya setengah hari. Setelah sampai rumah, gue langsung mandi, zuhuran dan makan. Baru saja gue menyudahi makan siang, tiba-tiba Darma mengirim sms ke gue.

  ‘’ Gue ke rumah ya. ‘’

Tidak sampai lima menit, Darma sudah hadir di depan pintu rumah gue.

Siang itu, gue dan Darma saling bertukar cerita. Aneh rasanya. Yang biasanya handphone gue bising, super rame, kali itu mendadak hening. Siang itu benda kecil yang biasanya gue genggam selalu, tergeletak begitu saja di atas meja dan sama sekali tak mengeluarkan suara notif apapun.

Hari itu, pegel di jari gue akibat keseringan chat, kini berpindah ke mulut.
Terlalu banyak cerita yang ingin kita utarakan. Terlalu banyak gelak tawa yang keluar dari masing-masing mulut kita.

Sampai pada akhirnya, Darma mengusulkan sebuah game. Menulis satu kata dengan jari di punggung. Punggung siapa? Punggung pak lurah.
Dengan peraturan, kalo yang kalah harus dicemongin dengan bedak.
Sebelumnya gue takut kalo itu hanya modus Darma untuk menjepret tali beha gue.
Ditambah lagi, permainannya dimulai dari gue. Tuhkan, kenapa harus dari gue coba. Keliatan banget kan modusnya Darma.
Sampai akhirnya Darma berkata, ‘’ Gue nulis hurufnya di sini aja deh. Ntar kena beha lu. ‘’

Alhamdulillah.  #DarmaNaqBaik
Darma memilih untuk menulis kata dengan jarinya di bagian punggung bawah gue.

Sampai skors  akhir menunjukkan angka 3-5.
Dan itu terlihat dari tiga cemong bedak di muka gue, dan banyak cemong bedak di muka Darma. Hohohhoo


Kamera gue butek. :( maapkeun
                                    


Darma keliatan kayak anak-anak balita yang habis mandi sore-sore, trus mukanya dicemongin bedak sama emaknya. Tinggal disuapin nasi pake telor dadar aja nih. Udah. Percis.


Dari permainan itu, gue bisa mengambil kesimpulan bahwa,
 ‘’ Punggung gue ternyata lebih peka daripada punggung Darma. ‘’

Okesip.

Malam harinya, Darma datang lagi ke rumah gue. Ini kalo Jakarta bisa pindah ke belakang rumah gue. Darma bisa tiap jam datang ke rumah. Ehhehew.
Malam itu kita kembali saling bercerita. Mengobrol banyak tentang apa saja.
Sampai akhirnya Darma berkata, ‘’ Ini kalo jam segini, biasanya kita telfonan yak. ‘’

Gue diem.

Terharu.

Iya, biasanya setiap malam minggu, Darma menelfon gue.
Kasihan aja lihat jomblo kayak Darma kesepian di malam minggu. Mau nggak mau, gue ngangkat telfonnya. Itung-itung sekalian ngilangin kesepian gue sebagai jomblo.


Malam itu, kita bercerita banyak hingga jam menunjukkan pukul sepuluh malam.



Minggu, 27 Maret 2016


Di Minggu pagi ini, Ayah Darma berpamitan untuk balik ke Jakarta. Dikarenakan besok Senin, Ayah Darma harus kembali bekerja. Setelah selesai bersalaman, Om gue mengantar Ayah Darma untuk menunggu mobil umum yang akan membawanya menuju bandara.Dan di hari ini pula, kakak gue mengajak gue untuk ikut CFD bareng. Gue, Darma dan Nova, adik gue. Kita berempat berangkat dengan dua motor.Jujur, gue nggak pernah ikut CFD. Gue juga nggak tau apa itu CFD. Yang gue tau hanya CFC. Enak. Bikin perut kenyang.Selesai sarapan, kita berempat langsung cus menuju lokasi.

Berhubung Darma baru bisa naik motor, jadi gue dan Ibu masih agak ragu untuk membiarkannya membonceng gue di jalan raya. Alhasil, hari itu gue yang membonceng Darma.
Kang ojek banget gue ya.
Ini kalo ada FTVnya, pasti bakal dikasih judul, ‘Cantik cantik kok ngojek?’

Pagi itu jalanan masih sepi. Cuaca yang mendung menahan agar cahaya matahari pagi itu tidak terlihat.

  ‘’ Jangan kencang dong bawa motornya, ‘’ protes sebuah sahutan suara dari belakang yang membuat gue reflek menurunkan kecepatan motor.

  ‘’ Kenapa? ‘’

  ‘’ Dingin tau. ‘’


Yawlaaa gue mau nangis.

  '' Dingin ya? '' tanya gue.

  '' Iya. ''

  '' LEMAH LU. '' 

Selama di perjalanan, gue bolak-balik memperbaiki posisi baju belakang dan jilbab gue yang terbang-terbang akibat hembusan angin pagi.

  ‘’ Lu kenapa? ‘’ tanya Darma sok perhatian.

  ‘’ Ini baju gue kebuka mulu. ‘’

Entah habis dapat hidayah apa, Darma langsung memperbaiki baju dan memegangi ujung baju gue agar tidak terbuka lagi kena angin.

Leh uga modus Darma.


***


Sesampainya di lokasi CFD, Darma tiba-tiba membuka suara dengan, ‘’ Ini toiletnya di mana ya? ‘’


LAH DIKATA INI MALL ADA TOILET SEGALA.

Untungnya, di dekat lokasi CFD, ada taman kota yang baru dibangun. Dan gue baru ingat kalo di taman itu ada toilet umum. Gue dan Nova akhirnya mengantarkan Darma ke toilet umum.
Beberapa menit setelah Darma menuntaskan tugas sucinya, gue langsung menyuruh Nova untuk memotret foto kami berdua.

Iya. Memang itu tujuan gue membawa Nova. Jadi kang foto.
Gue kakak yang cerdas. 


                                              


Sekali-sekali foto bareng kang foto.



Beberapa menit setelah itu, senam sudah akan dimulai. Gue dan Darma langsung buru-buru mengambil barisan di paling belakang. Sementara Nova? Nova hanya duduk manis sambil mengotak-atik handphone gue.

Di sela-sela gerakan senam yang dipimpin oleh dua orang perempuan instruktur senam, terjadi sebuah obrolan. 

Darma   : Itu kira-kira instruktur senamnya pake beha nggak ya?
Gue       : Hmm kayaknya pake deh


OBROLAN MACAM APA INI!


Seperti anak alay pada umumnya, di sela-sela gerakan senam, Darma mengeluarkan handphonenya dan CEKREK. 


                                          


Muka songong kami yang seolah berkata kami-anak-sehat-loh-rajin-olahraga tersimpan di handphone Darma.
Padahal mah sehat paan. Ini gue baru pertama kali ikut CFD.

Selesai CFD, Gue, Nova dan Darma memutuskan untuk membeli minum. Saat di perjalanan hendak membeli minum, sayup-sayup gue mendengar suara Darma, ‘’ Behanya cantik. ‘’

Ini Darma minta diseret ke bandara dan dipulangkan ke Jakarta banget. Bikin gue kaget aja.

Gue langsung refleks melihat bahu gue. Iya. Ainouw. Jilbab gue terangkat kena angin. Tali beha pink gue terpampang penuh pesona. Gue langsung buru-buru menutupnya dengan memperbaiki posisi jilbab gue.

Setelah selesai membeli minum, gue mengajak Darma untuk duduk-duduk lucu di hutan kota. Darma yang duduk, gue yang lucu.
Di sana, gue menantang Darma untuk lomba jalan cepat dengan melepas sepatu di atas batu-batu koral yang ditancep di jalan setapak. Kayal batu koral yang untuk refleksi gitu. Apa ya namanya. Pokoknya itu deh.
Baru jalan dua langkah, gue langsung merasa sakit. Sementara Darma anteng-anteng aja jalan di depan gue.
Ternyata saat melangkah di batu koral, gue nggak sengaja lihat mantan jalan sama gebetan barunya. Duh sakit.

Enggak deng.

Tapi beneran deh, jalan di jalan setapak yang penuh dengan batu koral itu susah. Nggak kebayang ntar kalo jalan di jembatan shiratal mustaqim. Allahuakbar!

Akhirnya tantangan gue diterima oleh Darma.
Lagi dan lagi, Nova dengan sangat amat baik menjalankan tugasnya. Nova merekam kegiatan absurd gue dan Darma.
Pokoknya di tantangan itu, DARMA CURANG!
Dia ngambil jalur jalan gue. Curang. Minta dirajam banget.


Ini kalo gue mau bikin Paguyuban Merajam Darma, kira-kira ada yang mau ikut nggak ya?


Pokoknya siapa yang ikut = 1 foto ka'bah dengan tulisan '' like yang mau bawa orangtuanya ke sini. Amin ''



(Next)
Share
Tweet
Pin
Share
28 comments



Di pertengahan bulan Agustus tahun lalu, gue berkenalan dengan seorang lelaki melalu dunia maya. Lelaki itu seorang blogger. Hmm mungkin diantara teman-teman sudah ada yang tau dengan lelaki tersebut. Ia juga sempat meramaikan kotak komentar di blog ini dengan berbalas komentar yang super aneh. Yang anehnya gue dengan senang hati membalas komentar anehnya. Berarti gue yang lebih aneh. Okesip.

Chat yang awalnya hanya bermula di hangout gmail perlahan beralih pada chat line.
Gue mulai mengenal siapa dia dan bagaimana kesehariannya. Tak jarang di setiap harinya kami selalu berbagi cerita yang kami alami masing-masing. Cerita apapun itu. Mulai dari cerita ngeselin, cerita bahagia, cerita random, cerita kebegoan masing-masing, cerita nggak penting, cerita nggak penting yang sebenernya nggak penting untuk diceritain, cerita nggak penting dan nggak ada faedahnya sama sekali dan berbagai cerita absurd lainnya.

Semenjak kenal dengan lelaki itu, gue perlahan mulai membuka diri. 

Jujur, gue seorang introvert. Meskipun di dalam lingkup keluarga sendiri. Gue nggak bakal membuka mulut dan cerita apapun tanpa ada yang bertanya. Gue nggak bakal berani membuka sebuah obrolan tanpa ada yang mendahului. Gue nggak bisa mengangkat topik pembicaraan untuk dijadikan bahan obrolan. Gue nggak bisa.
Apapun yang gue alami, gue selalu memendam itu sendirian. Gue nggak berani bercerita ke Ayah Ibu di rumah. Baik itu hal yang menyenangkan maupun tidak.

Karena itu, gue lebih memilih untuk menulis apa yang gue rasakan, unek-unek amarah  pada sebuah binder cokelat milik gue.

Gue nggak pernah punya teman cerita.
Maksudnya, gue nggak pernah punya teman yang bisa menerima segala cerita gue dengan respon yang menurut gue nyaman.

Dan dengan lelaki itu, gue mulai menyibakkan diri dari sosok Wulan yang introvert. Gue dengan mudahnya bercerita apapun dengan lelaki itu. Ada perasaan lega setiap kali gue selesai bercerita dan mendapatkan respon darinya. Lega kayak habis boker di jamban.

Itu artinya dia jamban. Eh enggak gitu.

Tapi memang iya sih. Jamban.


Gue nggak pernah menemukan teman ngobrol yang bisa senyaman ini. Apakah ini yang dinamakan teman-ngobrol-nyaman-zone?
HALAH.


Dengan beberapa lelaki yang pernah hadir mengisi hati gue sebelum pada akhirnya mereka tidak hanya mengisi tetapi juga menyakiti. Tsadeeesst.
Gue nggak pernah bisa seterbuka itu dengan para mantan gue yang pernah khilaf jadi pacar gue ketika itu. Hanya sebatas, kamu pacar aku dan aku pacar kamu. Hanya itu. Gue nggak pernah bercerita banyak tentang keseharian gue dengan mereka.
Iya. Gue seaneh itu.

Lelaki itu tidak hanya membuat gue menjadi orang yang terbuka, ia juga bisa membuat gue ngakak bodoh nggak jelas di tengah malam. Cekikikan sendiri dengan mata yang menatap layar handphone. Senyam-senyum sendiri sambil bergumul di dalam selimut.

Lelaki itu juga membuat gue yang ketika itu sempat kelabakan dengan jadwal ujian semester dan jadwal kerja yang melelahkan, menjadi kembali semangat. Ia selalu mengingatkan gue untuk membawa modul ataupun catatan kuliah untuk dibaca-baca di jam istirahat kantor. Tidak hanya itu, ia juga mengajak gue untuk menyelesaikan kisi-kisi soal matematika ekonomi bersama. Dan kemudian ia mengirim foto cara dan hasil penyelesaian soal tersebut. Gue juga mengirim hasil penyelesaian untuk menyocokkan jawaban.

Kalau nggak salah, di bulan November tahun lalu ia sempat bercanda akan rencananya untuk datang ke rumah gue. Ke Pekanbaru. Riau. Di pulau Sumatera.
Mengingat gue dan dia berada di pulau yang berbeda, gue hanya memberi respon biasa dengan ucapannya yang menurut gue itu adalah sebuah candaan.

Tepat di tanggal 24 Februari, menjelang siang hari. Ia mengirimkan foto bukti pembayaran atas pembelian tiket ke gue.

Asli.

Gue.

Terharu.


Gue nangis di ruangan kantor.
Gue nggak tau harus bagaimana mengungkapkan kebahagian yang gue rasakan ketika itu.
Intinya. Gue terharu atas sebuah keputusan penuh perjuangan yang telah ia ambil.



                              



Jumat, 25 Maret 2016

Hari ini hari libur. Hari yang selalu gue nantikan kehadirannya. Jarang-jarang bisa dapet libur gini. Hari ini, lelaki yang pernah gue ceritakan di sini akan tiba dan mendarat di bandara SSK II. Sebelumnya gue sudah mengatakan kalo gue nggak bisa menjemputnya di bandara.

Darma akan datang ke Pekanbaru bersama dengan Ayahnya.

Mungkin bakal ada yang bertanya mengapa Darma datang bersama dengan Ayahnya. Melepas anak sendiri tanpa khawatir untuk pergi jauh sampai menyebrangi pulau itu menurut gue suatu tindakan yang bodoh.
Untungnya, Ayah Darma tidak melepas anaknya begitu saja.
Takut terjadi apa-apa.


Takut Darma diculik kali ya.
Padahal kagak bakalan ada yang mau nyulik dia. Hih.

Jam dua, pesawatnya akan berangkat. Begitu isi chatnya. Beberapa menit setelah itu, sebuah chat masuk kembali.

  ‘’ Pesawatnya delay. ‘’

Gue sempat ngerasa nggak enak. Kasihan harus nunggu lama di bandara.

Tidak ada yang bisa gue lakukan selain hanya goleran di ruang tamu dan di kamar. Berhubung hari itu hujan, gue yang sudah mulai ngantuk hampir saja ketiduran.
Jam mulai menunjukkan pukul setengah empat. Gue mengirim sms ke Darma. Pending.
Oke. Ini saatnya gue tidur.

Sambil berulangkali memejamkan mata dengan perasaan tak tenang karena sms gue masih pending, tepat di jam setengah lima, sebuah sms masuk.

  ‘’ Gue sudah naik taksi. ‘’

Okesip. Darma sudah landing.
Darma dan Ayahnya sudah sampai di bandara Pekanbaru dengan selamat. Syukurlah.

Ini pertama kalinya Darma menginjakkan kaki di pulau Sumatera. Di Pekanbaru. Karena itu, gue langsung saja mengiriminya pesannya.
  ‘’ Selamat datang di Pekanbaru. ‘’

  ‘’ Telat lu. Lebih dulu mbak pramugarinya yang ngucapin itu :p ‘’

Keyfain. Akurapopo.

Berhubung rumah gue di pelosok, dari Pekanbaru Darma dan Ayahnya harus naik mobil umum untuk sampai di Pangkalan Kerinci. Perjalanan yang membutuhkan waktu satu setengah jam paling lama.
Usai magrib, gue menerima sms kalau Darma dan Ayahnya sudah sampai di Pangkalan Kerinci.

  ‘’ Gue udah sampai. Lagi makan sate di deket toko obat Agi Farma. ‘’

Belum sempat gue membalas smsnya, Darma langsung menelfon gue.

  ‘’ Toko obat Agi Farma di mana? ‘’

INI KOK GUE BEGO YA.
MALAH NANYA BALIK KE DARMA.

Agar kebegoan gue tidak terlalu terlihat, gue bertanya kembali ke Darma.

  ‘’ Di seberangnya ada Vanhollano, bukan? ‘’

  ‘’ Hah? Apa? ‘’

  ‘’ Seberangnya. Ada Vanhollano? ‘’

  ‘’ Apa? ‘’

  ‘’ Di seberangnya. Seberang. ADA VANHOLLANO, BUKAN? ‘’

  ‘’ Vanhollano? ‘’

  ‘’ Iya. ‘’

  ‘’ Enggak ada. ‘’

Gue sempat panik. Keliatan begonya gue. Gue dari lahir udah di sini, tapi kenapa gue nggak tau kalau ada toko obat Agi Farma di tempat gue tinggal ini.
Lagi asyik mikir dan sempat ada niatan untuk mengelilingi semua toko obat di Pangkalan Kerinci, sebuah sms kembali masuk di hp gue.

  ‘’ Toko obat Anggi Farma. Hehehee tadi salah baca. ‘’

Gue ngangguk-ngangguk sambil tersenyum.

MAU AGI FARMA, MAU ANGGI FARMA, TETEP AE GUE NGGAK TAU TOKO OBAT ITU. AAAAAKKK


***


Singkat cerita, gue akhirnya menemukan Darma dan Ayahnya di samping abang-abang gerobak sate. Gue langsung mengajak Ayahnya untuk ke rumah.
Darma mah bodo amat. Hahahaaa

Enggak deng.
Gue juga mengajak Darma untuk ke rumah.

Sesampainya di rumah, Ibu langsung mengobrol banyak dengan Ayah Darma. Sedangkan Darma? Itu anak diem mulu. Bengong.
Sepertinya dia masih ngebayangin paha mulus dan body mba pramugari tadi di pesawat.

Sekitar pukul setengah sepuluh malam, gue dan Ibu langsung saja mengantarkan Darma dan Ayahnya ke rumah Om gue yang letaknya cukup dekat dengan rumah gue. Selama beberapa hari di Pangkalan Kerinci, Darma dan Ayahnya akan tidur di rumah Om gue.
Sesampainya di rumah Om, Darma langsung meletakkan tasnya yang berat-amat-gile. Nggak tau deh itu Darma bawa apaan di tasnya. Setelah beres-beres semuanya, gue dan Ibu pamit untuk balik ke rumah dan membiarkan mereka beristirahat malam itu.
Saat gue hendak memakai sandal, Darma menemui gue.

  '' Lu langsung cepet tidur ya. ''


LAH BARU NGOMONG INI ANAK.






 (Next)


Share
Tweet
Pin
Share
47 comments
Newer Posts
Older Posts

Rahayu Wulandari

Rahayu Wulandari
Atlet renang terhebat saat menuju ovum dan berhasil mengalahkan milyaran peserta lainnya. Perempuan yang doyan nulis curhat.

Teman-teman

Yang Paling Sering Dibaca

  • ADAM
  • Ciri-ciri cowok yang beneran serius
  • Pelecehan
  • 5 Tipe Cowok Cuek

Arsip Blog

  • ▼  2020 (5)
    • ▼  September (1)
      • Perjalanan Baru
    • ►  June (1)
    • ►  April (3)
  • ►  2019 (5)
    • ►  October (1)
    • ►  July (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2017 (14)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  July (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (5)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (5)
    • ►  March (5)
    • ►  February (8)
    • ►  January (7)
  • ►  2015 (138)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (8)
    • ►  September (12)
    • ►  August (12)
    • ►  July (6)
    • ►  June (9)
    • ►  May (10)
    • ►  April (15)
    • ►  March (21)
    • ►  February (11)
    • ►  January (24)
  • ►  2014 (18)
    • ►  December (10)
    • ►  November (6)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates