Bagi yang ingin membaca cerita bersambung ini dari awal silahkan lihat di halaman Proyek WIDY
Agus lupa bagaimana
cara berdamai dengan kehilangan. Saat ini, ia memang sudah ikhlas dengan
kepergian ayahnya. Bahkan sudah dari SMA. Tapi, kini ia mengalami rasa
kehilangan yang baru. Kehilangan seseorang yang ia sayangi. Ini memang pertama
kalinya Agus merasakan jatuh cinta. Rasanya pasti berbeda jika disamakan dengan
kehilangan ayahnya beberapa tahun yang lalu.
Di saat keadaan
semakin kelam, Agus kemudian teringat pesan almarhum ayahnya beberapa hari
sebelum meninggal,
“Ketika Ayah udah
nggak ada, kamu nggak boleh terpuruk lama-lama. Segeralah bangkit. Kamu itu
anak cowok. Harus kuat. Jangan benci ibumu. Juga kakakmu. Apa yang ibumu bilang
itu sebenarnya baik. Tapi cara penyampaiannya mungkin salah. Dia cuma ingin
memotivasi kamu supaya berprestasi dan mandiri. Ayah yakin kamu bisa mandiri,
tapi memang butuh proses. Cara belajar kamu berbeda dengan Januar. Kamu itu
tidak bisa terburu-buru, sedangkan ibumu wataknya kurang sabaran. Kamu harus
bisa maklumi itu, ya.
Kamu juga nggak
perlu iri sama kecerdasan kakakmu. Setiap orang diciptakan Tuhan berbeda-beda.
Kamu nggak perlu jadi seperti kakakmu untuk mendapatkan kasih sayang dari ibu
atau orang lain. Karena kamu juga spesial, Nak. Jadilah dirimu sendiri.
Ayah sayang kamu,
Gus.”
Air mata Agus pun
mengalir semakin deras. Ia ingat sekali pesan itu lengkap dengan jenis suara Ayah yang terdengar parau dan melemah. Tapi, berkat pesan itulah ia sedikit-sedikit mulai belajar. Agus jadi
lebih mandiri sejak kepergian ayahnya. Ia mulai tidak acuh ketika ibunya mulai
memuji-muji Januar. Agus juga tidak perlu membuktikan apa-apa kepada ibunya. Ia
cukup bersyukur menjadi dirinya sendiri, meskipun kenyataannya ia memang tak
ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sang kakak. Agus masih percaya dengan kata-kata ayahnya,
menjadi diri sendiri itu menyenangkan. Dan di situlah letak keunikannya.
Lagi pula, Agus
hanya sebulan memandangi Mei dari kejauhan. Baru bertemu dua kali, dan tentunya belum mengenal
Mei lebih lama daripada Januar. Sedangkan
Januar sudah hampir setahun memiliki hati Mei. Agus kalah
terlampau jauh.
***
Setelah tidur,
semua ingatan menyedihkan itu mulai tertutup dan kembali tersimpan otomatis di
memorinya. Agus bangun tidur dengan lebih fresh.
Hati Agus juga sudah tak sesakit malam itu. Setelah melewati masa-masa sulit,
ia tampaknya mulai belajar mengikhlaskan Mei untuk Januar.
Hari ini,
perkuliahan sedang libur dan ia tidak ada kesibukan. Maka, siang itu, Agus
berencana untuk pergi ke toko buku. Saat sedang bosan di rumah, di sanalah
tempat yang membuatnya merasa tenang. Larut dalam imajinasi akan tokoh-tokoh
yang disajikan oleh jajaran novel fiksi di rak buku yang sering ia sambangi.
Sesampainya di
Gramedia, Agus langsung menuju ke arah rak favoritnya. Matanya yang cokelat itu
membulat begitu melihat banyak novel yang dipajang di rak itu. Dadanya pun
bergemuruh. Agus mengambil salah satu novel untuk dibaca. Ia mulai membaca
halaman demi halaman sambil berjalan. Sampai akhirnya, ia tak sengaja menabrak seorang
perempuan di
dekatnya.
“Duh, maaf-maaf,”
ucap Agus spontan.
“Gapapa, Mas,”
jawab perempuan itu.
“Ng... Mei?” ucap
Agus heran melihat penampilan perempuan
yang mirip Mei. Perempuan ini memang
benar-benar mirip. Dari mulai matanya, warna kulitnya, dan juga jenis
kelaminnya (yaiyalah kampret). Hanya saja perempuan ini memiliki potongan rambut berbeda dan
suara yang lebih lembut.
“Mas siapa?” tanya perempuan itu.
Padahal Agus serasa
mimpi kalau dirinya dapat bertemu Mei di Gramedia. Namun, aneh sekali karena
Mei kali ini sangat berbeda. Apalagi mendengar responsnya yang seperti itu.
Apakah itu bukan Mei? Kalaupun bukan, apakah Mei punya kembaran? Apa mungkin di
dunia ini ada seseorang yang benar-benar mirip dengan Mei?
“Gue Agus. Kita
pernah ketemu di kafe deket kampus. Ngobrol banyak hal sambil nunggu macet
waktu itu,” terang Agus.
“Hmm.... Kok saya
nggak ingat apa-apa, ya?" jawab perempuan itu.
“Tapi kita, kan,
sempet ketemu lagi waktu itu di....”Agus ingin mengingatkan perempuan ini tentang
pertemuan selanjutnya saat makan malam bersama keluarganya. Namun, ia sendiri
ingin sekali menghapus momen itu dari ingatannya. Agus kemudian termenung.
Wajahnya mendadak murung.
"Di
mana?" tanya perempuan itu.
“Lu bener bukan
Mei? Lu mirip temen gue soalnya.”
“Bukan. Saya Septi, Mas.”
“Oh, maaf kalo
gitu. Gue salah orang,” jawab Agus pasrah, kemudian ia berjalan menjauhi perempuan yang tidak
mengenali dirinya ini. Mungkin ingatan tentang Mei di pikiran Agus masih benar-benar
melekat. Sehingga saat ia melihat
perempuan yang rada
mirip, ia pun berpikir kalau
perempuan itu adalah
’Mei’.
***
Agus sedang membaca
novel yang baru saja ia beli siang tadi, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Agus mendapat sebuah notif di layar ponselnya.
Sebuah permintaan pertemanan BBM dari seorang perempuan. Yang ternyata adalah
Mei. Padahal Agus sudah mulai mencoba untuk mengikhlaskannya, tapi dia malah
hadir kembali.
Ada
perlu apaan dia invite gue, ya? Bukannya waktu itu dia nggak mau ngasih pinnya?
Apa dia mulai kehilangan gue? Atau dia baru menyadari bahwa gue lebih ganteng
daripada Januar?
Tanpa berpikir macam-macam dan untuk menghindari agar ia tidak terlalu
kegeeran, Agus segera menerima permintaan pertemanan dari Mei. Setelah berteman di BBM, Agus ingin sekali mengontak Mei. Ia tidak
bisa menyembunyikan perasaan rindunya. Paling tidak, ia mungkin bisa bertanya basa-basi
“Kok tau pin gue? Ada apa, ya?”, namun, ia malah bimbang dengan keadaan ini.
'' BBM aja. ''
'' Jangan! ''
'' BBM. ''
'' Jangan! ''
'' BBM! ''
Suara-suara di dalam kepalanya mulai berdebat.
'' Jangan! ''
'' BBM. ''
'' Jangan! ''
'' BBM! ''
Suara-suara di dalam kepalanya mulai berdebat.
Oke, BBM
aja deh.
Saat sudah mulai menggerakan jemarinya untuk
mengetik sesuatu, tiba-tiba... INGET! DIA
ITU PACAR KAKAK LU WOY! IKHLASIN. HARUS IKHLASIN. INGET PESAN AYAH.
Jemari Agus perlahan kaku
danmenjauh dari layar ponsel. Ia kembali mengurungkan
niatnya.
*tengtongteng*
Dan di saat kebimbangan Agus, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi di HP-nya.
“Gus?” sebuah chat masuk dari...
Mei.
Dan di saat kebimbangan Agus, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi di HP-nya.
“Gus?” sebuah chat masuk dari...
Mei.
Ingin rasanya Agus
bersorak girang. Bagaimana mungkin Mei mengirim chat untuknya?
Karena setahu Agus, bagi perempuan, mengontak laki-laki terlebih dahulu adalah ketidakmungkinan yang tak akan terjadi di dunia.
Seperti pada umumnya, biasanya kebanyakan perempuan gengsi untuk mengontak laki-laki terlebih dulu.
Dan betapa bahagianya ia saat mengetahui Mei terlebih dahulu mengontaknya dengan mengirim sebuah chat bbm. Agus buru-buru melupakan ketidakmungkinan bodoh itu.
Karena setahu Agus, bagi perempuan, mengontak laki-laki terlebih dahulu adalah ketidakmungkinan yang tak akan terjadi di dunia.
Seperti pada umumnya, biasanya kebanyakan perempuan gengsi untuk mengontak laki-laki terlebih dulu.
Dan betapa bahagianya ia saat mengetahui Mei terlebih dahulu mengontaknya dengan mengirim sebuah chat bbm. Agus buru-buru melupakan ketidakmungkinan bodoh itu.
Senyuman terlukis di bibir Agus. Hidungnya
kembang-kempis. Matanya berbinar-binar. Cukup lama Agus terdiam hening dengan
menatap chat yang tertera di layar
HP-nya. Seolah terhipnotis dengan chat
barusan. Agus mulai menggerakkan jemarinya, menyusun kata-kata yang hendak ia
layangkan kepada Mei sebagai chat
balasan.
“Ya? What's up?”
Agus tau kalau Mei
adalah penggila musik hip-hop. Ia berlagak seperti rapper dengan sok asyiknya, berharap Mei tertawa dan mengejeknya.
Lalu, berharap kalau mereka bisa chatting
tanpa ingat waktu.
“Cuma mau nanya,
apa Januar sudah pulang kerja, Gus? Chat gue dari tadi sore belum di-read."
Bangkeh.
Hal ini lebih
mengejutkan dari seorang perempuan yang tidak gengsi mengontak duluan. Ya, mengontak hanya karena ada
maunya.