Gue anak pramuka.
Iya dulu, waktu SD.
Dulu gue bisa menghafal tri satya dan dasa dharma pramuka dalam waktu satu malam. Dulu gue hafal semua sandi dan kode. Kamu aja yang dikode nggak pernah peka. Aqu lelah mzz..
Gimana enggak hafal, kemana-mana gue selalu bawa buku saku pramuka. Berhubung bukunya kecil, itu bisa membuat gue dengan mudah memasukkannya di kantung baju atau menyelipkannya di belahan. Belahan buku tulis maksudnya.
Iya dulu, waktu SD.
Dulu gue bisa menghafal tri satya dan dasa dharma pramuka dalam waktu satu malam. Dulu gue hafal semua sandi dan kode. Kamu aja yang dikode nggak pernah peka. Aqu lelah mzz..
Gimana enggak hafal, kemana-mana gue selalu bawa buku saku pramuka. Berhubung bukunya kecil, itu bisa membuat gue dengan mudah memasukkannya di kantung baju atau menyelipkannya di belahan. Belahan buku tulis maksudnya.
Gue mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah saat duduk
di kelas 4 SD, sementara saat itu kakak gue duduk di kelas 5 SD. Setiap hari
Kamis, gue rela panas-panasan berbaris di lapangan sekolah. Demi pramuka aja
aku rela panas-panasan, apalagi demi kamu.
Alhasil setiap selesai pramuka, keringat dengan ekstra daki bercucuran di sekujur tubuh gue. Belum lagi kalau ada aroma menyengat dari kaus kaki hitam pramuka milik temen gue. Sinar matahari yang menguap membuat aroma khas surga itu menusuk indera penciuman. Baunya sumpah, parah.
Sampai suatu hari, Pembina pramuka memberikan informasi bahwa lusa akan diadakan camping atau perkemahan oleh anak pramuka.
Semuanya pada senang. Bersorak girang kayak menang undian dari frutang.
Kemahnya di mana? Di hutan? Bukan.
Di tepi sungai? Bukan juga.
Di pedesaan? Bukan. Di pegunungan? BUKAN.
Alhasil setiap selesai pramuka, keringat dengan ekstra daki bercucuran di sekujur tubuh gue. Belum lagi kalau ada aroma menyengat dari kaus kaki hitam pramuka milik temen gue. Sinar matahari yang menguap membuat aroma khas surga itu menusuk indera penciuman. Baunya sumpah, parah.
Sampai suatu hari, Pembina pramuka memberikan informasi bahwa lusa akan diadakan camping atau perkemahan oleh anak pramuka.
Semuanya pada senang. Bersorak girang kayak menang undian dari frutang.
Kemahnya di mana? Di hutan? Bukan.
Di tepi sungai? Bukan juga.
Di pedesaan? Bukan. Di pegunungan? BUKAN.
Kemahnya di lapangan olahraga sekolah. Lapangan bertanah
kuning. Ntaps!
Sesampainya pulang ke rumah, gue dan kakak langsung
mengabari Ibu dan Ayah. Menceritakan semuanya agar mempersiapkan barang bawaan
yang akan di bawa.
Dari rumah, gue mempersiapkan untuk membawa baju tidur, sikat gigi, sandal jepit, baju ganti, singlet, kolor, air mineral, sirup, biskuit, kecap abese, roti, senter, selembar kain dan korek api.
Dari rumah, gue mempersiapkan untuk membawa baju tidur, sikat gigi, sandal jepit, baju ganti, singlet, kolor, air mineral, sirup, biskuit, kecap abese, roti, senter, selembar kain dan korek api.
Ini kemping udah kayak warga kena ungsi.
Gue sempat merengek sama Ibu demi mempertahankan sebotol sirup marjan.
‘’ Buat apa sih, Dek bawa sirup. ‘’ Ibu mengeluarkan sebotol sirup marjan merah dari tas gue yang udah padat kayak tas abang-abang sales obat kuat.
Betewe, waktu itu gue masih dipanggil dengan sebutan ‘adek’ di rumah.
‘’ Nggak papa, Bu. Kalau nanti adek haus, mau minum sirup gimana? ‘’
Lah, dikata lebaran bisa minum-minum sirup. Sekalian aja bawa toples kue nastar dan kue bawang.
Akhirnya Ibu mengalah dengan membiarkan sebotol sirup itu
masuk secara paksa ke dalam tas kembali.
Setelah diantar Ayah, gue sampai di lapangan sekolah dengan membawa banyak tas yang gue jinjing serta ransel punggung yang padatnya bukan main.
Gue, kakak dan seorang temannya langsung mendirikan tenda. Setelah mendirikan tenda yang akan dihuni oleh tiga orang di setiap tendanya, gue langsung mencari baju dan handuk untuk segera mandi.
Setelah diantar Ayah, gue sampai di lapangan sekolah dengan membawa banyak tas yang gue jinjing serta ransel punggung yang padatnya bukan main.
Gue, kakak dan seorang temannya langsung mendirikan tenda. Setelah mendirikan tenda yang akan dihuni oleh tiga orang di setiap tendanya, gue langsung mencari baju dan handuk untuk segera mandi.
Baru kali ini ada anak kemping yang mandi di toilet sekolah.
Iya. Elit sekaleh.
‘’ Ayo, buruan mandi ke atas. ‘’
Kami bertiga naik ke atas dan mandi di toilet sekolah dengan menenteng handuk yang digulung-gulung serapat mungkin karena ada aset berharga dalam handuk. Sempak dan singlet. Waktu itu gue belum make beha.
Gue ngerasa ini kayak kerja rodi lembur membersihkan sekolah.
Setelah mandi di toilet sekolah, gue langsung handukan dan mencari sempak dan singlet.
Gue pucat.
SEMPAK GUE HILANG.
‘’ Kalian ada lihat sempak aku, nggak? ‘’ tanya gue sambil mencari-cari sempak gue ditumpukan handuk teman lainnya.
Tetep aja gue nggak nemu sempak gue, yang gue temukan dilipatan handuk hanya sempak kakak gue. Awalnya gue berniat untuk memakai sempak kakak. Tapi nggak jadi, badan kakak gue gede. Bisa-bisa sempaknya kedodoran saat gue pakai.
Kan nggak lucu waktu upacara pembukaan kemping nanti, lagi serius mendengarkan instruksi Pembina, tiba-tiba ada benda yang meluncur indah ke bawah kaki gue. Dan ternyata itu sempak yang kedodoran.
Gue mengurungkan niat itu.
‘’ Sempak aku hilang. ‘’
Bener apa kata orang, kehilangan itu sakit. Kita bakalan merasakan sangat berartinya sesuatu, saat dia tak lagi ada.
Gue baru menyadari betapa penting dan berharganya sebuah sempak. Ini menyangkut masa depan negara, gengs.
‘’ Hilang? Kok bisa? ‘’ Kakak gue yang responnya sama sekali nggak penting tetap meneruskan memakai baju dengan tenang.
Gue melihat ke sekeliling. Anak-anak lainnya udah pada selesai mandi. Udah ganti pakaian, lah gue? Masih handukan tanpa sempak.
Gue-pengen-nangis.
‘’ Ambil sempak aku di tas dong. Turun, ‘’ ujar gue menyuruh kakak gue.
‘’ Iya, nanti ya. ‘’ Kakak gue tetap meneruskan berpakaian.
Minta ditoyor amat palanya. Panik gitu kek karena adiknya baru saja mengalami musibah kehilangan sempak. Lah ini kagak, malah santai.
‘’ Ayo, buruan mandi ke atas. ‘’
Kami bertiga naik ke atas dan mandi di toilet sekolah dengan menenteng handuk yang digulung-gulung serapat mungkin karena ada aset berharga dalam handuk. Sempak dan singlet. Waktu itu gue belum make beha.
Gue ngerasa ini kayak kerja rodi lembur membersihkan sekolah.
Setelah mandi di toilet sekolah, gue langsung handukan dan mencari sempak dan singlet.
Gue pucat.
SEMPAK GUE HILANG.
‘’ Kalian ada lihat sempak aku, nggak? ‘’ tanya gue sambil mencari-cari sempak gue ditumpukan handuk teman lainnya.
Tetep aja gue nggak nemu sempak gue, yang gue temukan dilipatan handuk hanya sempak kakak gue. Awalnya gue berniat untuk memakai sempak kakak. Tapi nggak jadi, badan kakak gue gede. Bisa-bisa sempaknya kedodoran saat gue pakai.
Kan nggak lucu waktu upacara pembukaan kemping nanti, lagi serius mendengarkan instruksi Pembina, tiba-tiba ada benda yang meluncur indah ke bawah kaki gue. Dan ternyata itu sempak yang kedodoran.
Gue mengurungkan niat itu.
‘’ Sempak aku hilang. ‘’
Bener apa kata orang, kehilangan itu sakit. Kita bakalan merasakan sangat berartinya sesuatu, saat dia tak lagi ada.
Gue baru menyadari betapa penting dan berharganya sebuah sempak. Ini menyangkut masa depan negara, gengs.
‘’ Hilang? Kok bisa? ‘’ Kakak gue yang responnya sama sekali nggak penting tetap meneruskan memakai baju dengan tenang.
Gue melihat ke sekeliling. Anak-anak lainnya udah pada selesai mandi. Udah ganti pakaian, lah gue? Masih handukan tanpa sempak.
Gue-pengen-nangis.
‘’ Ambil sempak aku di tas dong. Turun, ‘’ ujar gue menyuruh kakak gue.
‘’ Iya, nanti ya. ‘’ Kakak gue tetap meneruskan berpakaian.
Minta ditoyor amat palanya. Panik gitu kek karena adiknya baru saja mengalami musibah kehilangan sempak. Lah ini kagak, malah santai.
Sampai beberapa menit kemudian, kakak gue keluar toilet dan
turun untuk mengambil sempak gue di dalam tas. Saat berjalan turun, sehelai
kain putih-putih dengan ukiran bunga ungu muda tergeletak manis tak berdosa di
atas rerumputan.
Itu sempak guuueeee!
Itu sempak guuueeee!
Tak lama kemudian, kakak gue kembali masuk ke toilet dan memberikan sempak itu kepada gue. Dengan diiringi ornament orchestra, airmata gue jatuh berlinang menahan haru. Nggak nyangka akhirnya gue bisa menemukan sesuatu yang selama ini gue rindukan, harapkan dan impikan. Gue baru tau, betapa pentingnya sebuah sempak.
Memang harganya nggak seberapa, tapi manfaatnya juga nggak ada.
Gue menangis sesenggukan.
Gue buru-buru memakai sempak dan langsung keluar toilet.
***
Malam harinya, setelah berbagai kegiatan selesai dilaksanakan, gue, kakak dan temannya tidur di dalam tenda. Bertiga. Bertiga terasa bertujuh. Badan kakak gue, ditambah badan temannya yang lumayan gede. Apalah daya gue yang berbadan kurus ceking yang setiap hari hanya makan remah-remah gorengan sisa jualan abang-abang di warung depan.
Gue terhimpit diantara dua benua. Nggak bisa napas. Meninggal.
Trus diangkat jadi film horor, judulnya Arwah Gentayangan Anak Tak Berguna.
Jadi arwah aja nggak berguna, apalagi waktu masih hidup.
Gue yang ketika itu masih belum bisa tidur karena kesempitan, terbangun oleh panggilan kakak Pembina.
‘’ Itu Ayahnya datang. ‘’
Gue langsung keluar dari tenda, berharap Ayah menjemput gue dari penyiksaan tidur dengan himpitan lahir batin ini.
‘’ Ini Lan, ada roti dan sari kacang hijau. Kasih kakak juga ya. Tadi udah makan, kan? ‘’
‘’ Iya udah, Yah. ‘’
‘’ Yaudah, Ayah pulang lagi ya. ‘’
Gue melepas Ayah pergi dari lapangan sekolah dengan menenteng sebungkus makanan. Banyak bener makanan yang ada di dalam plastik. Lama-lama gue buka lapak jualan jajanan juga nih di depan tenda. Mayan bisa dijual ke anak di tenda-tenda tetangga sebelah.
Sesampainya di dalam tenda, gue yang nggak bisa tidur langsung memakan semua makanan itu. Sementara kakak gue dan temannya tertidur lelap dengan posisi menguasai tenda. Gue hanya duduk dan memakan makanan dengan posisi di dekat kaki mereka yang mengarah pintu tenda. Gini amat jadi orang kecil, tersiksa.
Setelah selesai memakan semua makanan, gue pun mulai merasa
kantuk akibat kekenyangan.
Belum sempat memejamkan mata, suara Pembina berteriak nyaring di luar. Menyuruh kami semua tidur berbaring di atas tanah kuning lapangan dengan mengitari api unggun.
Udah kayak ikan asin bakar.
Gue menatap langit yang berserakan bintang-bintang. Langit malam itu sangat bersih, indah. Gue ngerasa kayak di film-film korea. Dimana ada adegan memandangi bintang malam hari bersama sang kekasih.
Gue tersenyum dan menoleh ke arah kiri.
Kakak gue terlihat bersusah payah menahan kantuk, terlihat dari matanya yang bolak-balik merem-merem kecil. Kalo ngeliat kakak gue seperti itu, rasanya gue mau bisikin ke telinganya, trus ngomong pelan, ‘’ Udah siap? Ikutin ya, Ashhadu alla ilaha illallah… ‘’
Trus gue dilempar ke api unggun yang menyala-nyala. Trus meninggal.
Ini kalo diangkat jadi film horor lagi, mungkin judulnya, ‘’ Arwah Gentayangan Anak Tak Berguna (part 2)‘’
Belum sempat memejamkan mata, suara Pembina berteriak nyaring di luar. Menyuruh kami semua tidur berbaring di atas tanah kuning lapangan dengan mengitari api unggun.
Udah kayak ikan asin bakar.
Gue menatap langit yang berserakan bintang-bintang. Langit malam itu sangat bersih, indah. Gue ngerasa kayak di film-film korea. Dimana ada adegan memandangi bintang malam hari bersama sang kekasih.
Gue tersenyum dan menoleh ke arah kiri.
Kakak gue terlihat bersusah payah menahan kantuk, terlihat dari matanya yang bolak-balik merem-merem kecil. Kalo ngeliat kakak gue seperti itu, rasanya gue mau bisikin ke telinganya, trus ngomong pelan, ‘’ Udah siap? Ikutin ya, Ashhadu alla ilaha illallah… ‘’
Trus gue dilempar ke api unggun yang menyala-nyala. Trus meninggal.
Ini kalo diangkat jadi film horor lagi, mungkin judulnya, ‘’ Arwah Gentayangan Anak Tak Berguna (part 2)‘’
***
Menjelang pagi, hujan turun dengan derasnya. Semua tenda
kebasahan, banjir di mana-mana.
Pagi itu, akhirnya semua anak pramuka tidur di dalam ruangan kelas.
Pagi itu, akhirnya semua anak pramuka tidur di dalam ruangan kelas.
KEMPING MACAM APA INI. TIDUR DI KELAS??
Sekitar jam 10 pagi di hari Minggu, orangtua siswa menjemput anaknya masing-masing ke sekolah. Begitu juga dengan Ayah. Gue duduk di motor dengan posisi di tengah di antara Ayah dan kakak. Lagi-lagi gue dihimpit dua benua.
Sementara semua tas yang gue bawa tadi diletakkan dibagian depan Ayah. Dibalik punggung Ayah gue sadar akan suatu hal,
GUE LUPA MINUM SIRUP MARJAN DI KEMPING KEMARIN.
Sesampainya di rumah, kakak gue langsunge meminum teh hangat, sementara gue minum sirup marjan dingin.
Besoknya gue demam dan masuk angin.
Mantaps.
Quote of the day:
‘’ Sejujurnya, kehilangan sempak itu sangat menyakitkan. Apalagi kehilangan kamu dan kehilangan sempak kamu. ‘’
‘’ Sejujurnya, kehilangan sempak itu sangat menyakitkan. Apalagi kehilangan kamu dan kehilangan sempak kamu. ‘’