Bagi yang belum membaca bagian satu sampai empat, silahkan baca di sini ya.
***
Mei hanya memesan frappuccino
dingin, sedangkan Agus memesan french
fries dan minuman favoritnya, milkshake cokelat.
Beberapa saat kemudian, pramusaji berseragam hitam dengan motif garis merah mengantarkan pesanan mereka dan meletakkannya di atas meja. Lalu, Mei pun segera meminum pesanannya yang baru saja tiba itu.
Agus terdiam. Melihat ekspresi Mei yang lucu saat meminum frappuccino sambil memejamkan mata. Agus tampak bingung ingin memujinya seperti apa. Ia mulai memikirkan kata-kata yang puitis.
“Haus banget ya, Mbak?” tanya Agus meledek.
Maksud ingin
memuji, tetapi malah kalimat itu yang terlontar.
“Um....” Mei membuka matanya dan mencoba berbicara sambil minum. “Ng... nggak, kok. Cuma ngerasa cuaca siang ini panas banget. Dari tadi kita ngobrol tanpa minum. Jadi, rasanya dehidrasi gitu,” lanjut Mei sambil tertawa kecil.
“Bukannya itu artinya sama aja? Tetep haus banget, kan?”
“Iya-iya, gue haus,” kata Mei sedikit sewot.
Mei cemberut. Agus pun tersenyum. Kemudian ia mulai mencolekkan kentang goreng panjang-panjang itu ke saos sambal dan berakhir di mulutnya.
“Oiya, lu kenapa gak mesen makanan?” tanya Agus. “Tadi katanya mau mesen yang banyak?”
“Gapapa. Lagi diet nih gue," jawab Mei sambil ikutan menyomot french fries.
Agus memerhatikan tubuh Mei yang menurut dirinya sudah termasuk wanita langsing. Namun, kenapa harus diet segala? Mungkin hampir semua laki-laki juga memikirkan hal aneh pada seorang wanita kurus yang seolah-olah merasa dirinya gemuk.
Tidak ingin
membahas hal yang sensitif bagi wanita, Agus mulai berpikir topik lain. Ya,
berbicara mengenai berat badan hanya akan membuat wanita tersebut tidak nyaman.
“Kenapa macet di
Jakarta setiap sore itu nggak ada habis-habisnya ya, Mei?”
“Yah..., dia bahas
macet lagi,” ujar Mei. “Nanti giliran gue respons, eh malah bilang ‘Lupain aja’
sama lu.”
“Duh, masih inget
aja,” kata Agus, wajahnya memerah. “Habisnya suka kesel sendiri, sih. Kapan
coba kemacetan ini berakhir?!,” lanjut Agus jujur yang dibalut emosi.
“Ya, nikmatin aja,
Gus.”
“Nikmatin gimana?! Gue
udah muak sama kemacetan. Gue mulai curiga, jangan-jangan sekitar tiga sampai
lima tahun lagi kita bakalan tua di jalan. Baru buka pintu rumah udah macet.
Perjalanan dari rumah ke kampus mungkin bisa dua hari,” ucap Agus
“Hahahahahaha.”
Agus berhasil
membuat Mei tertawa. Padahal Agus memang berkata jujur dari hati. Tidak
bermaksud membuat lelucon. Tapi karena hal itu, ia mulai berani mengutarakan
pendapatnya. Sehingga tidak ada lagi kecanggungan setiap kali berinteraksi
dengan orang lain, terutama lawan jenis. Agus juga berharap dirinya bisa
semakin mencair seperti es batu di milkshake cokelatnya setiap kali berdua
dengan Mei.
***
Langit oranye yang
kemerah-merahan itu tampak sangat menggambarkan bagaimana sebuah rasa hangat
tentang kedekatan mereka hari ini.
Dalam hati Agus
mulai timbul titik-titik kebahagiaan. Titik yang seakan menjalar ke setiap
aliran darahnya. Seakan kebahagiaan itu rasanya tidak perlu lagi untuk dijelaskan.
Karena hari itu, bahagia sungguh sangat sederhana.
Sudah hampir empat
jam Agus dan Mei berbincang-bincang di kafe. Mulai dari topik perkuliahan,
sampai membahas macet, hingga selera musik favorit mereka, dan beberapa obrolan
lainnya.
“Kayaknya udah makin sore ini, Gus. Gue pamit pulang, ya. Lagian jalanan juga udah nggak semacet tadi,” pamit Mei kepada Agus.
“Kok jadi mendadak buru-buru gitu? Ada apa? Perlu gue antar pulang?” balas Agus, tidak rela harus berpisah secepat ini. Agus berharap masih bisa berlama-lama dengan Mei.
“Nggak perlu, Gus.
Kebetulan ada janji sama seseorang. Dia udah nungguin,” jawab Mei.
“Oh,” tutur Agus
lemas. “Hmm... gue boleh minta pin BBM lu, Mei?” lanjut Agus.
“Pin?” tanya Mei
sedikit terkejut.
“Iya. Punya BBM,
kan?”
“Punya,” jawab Mei.
“Boleh aja, sih, tapi jangan sekarang, ya. Kita, kan, baru kenal. Hehe,”
lanjutnya.
Agus sudah
memberanikan dirinya, tapi sayang usahanya tidak berjalan mulus.
“Oke deh, Mei.”
Agus sedikit tertawa. Mungkin ia menertawakan dirinya sendiri yang gagal.
“Gue balik ya, Gus.
See you.”
“Sip. Hati-hati,
ya!”
***
Agus masih betah
duduk di Widy cafe. Agus tidak ingin cepat menyerah. Mumpung masih di cafe, ia
memanfaatkan wifi gratisan. Agus berusaha googling mencari akun media sosial
milik Mei.
Hingga akhirnya
ketemu akun Twitter Mei: @meiriskautami.
Gadis sipit berkacamata
dengan gaya rambut yang dikuncir kuda tersenyum memamerkan gigi putihnya. Lucu
sekali avatar-nya. Meskipun penampilan Mei hari ini lebih menarik, rambut
terurai dan tanpa memakai kacamata.
Agus pun berniat stalking. Sedihnya, akun itu malah
diproteksi. Karena ada gambar gembok yang terlihat.
“Kayak kotak amal
masjid aja segala digembok!” kata Agus meracau sendiri.
***