Gue anak silat.
Ralat.
Gue bekas anak silat yang pernah ikut tapi nggak tamat dan nyusahin pelatih-pelatihnya doang. Hebat.
Gue dan kakak mengikuti pencak silat di tahun 2011. Pencak Silat Setia Hati Terate. Yang awal berdirinya di kota Madiun pada tahun 1922.
Awalnya semua berjalan lancar. Gue senang banget bisa tergabung dan dikelilingi dengan mas-mas ganteng perkasa serta pelatih yang kalo gue denger suaranya, rasanya pengen membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohmah.
Jadwal silat ditentukan pada hari Selasa dan Sabtu.
Ini apa banget gitu kan, yang punya pacar nggak bisa malam mingguan. Kenapa harus hari Sabtu coba?
Gue mau protes, tapi takut dihajar rame-rame. Trus meninggal. Kan nggak elit.
Sesudah isya sekitar jam 8, kami semua udah ngumpul di lapangan silat. Angkatan gue waktu itu ada 11 orang. 8 cowok, 3 cewek.
Yang ceweknya, gue, kakak dan adik kelas gue.
Sebagai cewek, gue ngerasa diperlakukan bak seorang ratu. Pergi dijemput segerombolan cowok, pulang jam 2 pagi juga dianterin cowok-cowok. Melindungi cewek-cewek banget. Uuh~
Setiap istirahat sekitar jam 10 malam, kami selalu disuruh bawa minum air pepaya. Sumpah. Itu air pepayanya kayak kisah cinta gue. Pahit.
Dalam pencak silat, tingkatan warna sabuknya berbanding terbalik dengan karate.
Dalam pencak silat tingkatan warna sabuk dari yang terendah sampai ke tinggi dimulai dari,
Polos (cuma seragam doang nggak pake sabuk)
Hitam
Jambon (merah jambu)
Hijau
Putih
Di sana gue baru merasakan arti dari kebersamaan dengan sesama. Mulai dari makan bareng di satu piring gede.
Butir-butir pasir dari telapak tangan sehabis push up kayaknya ikut menggurihkan nasi yang gue makan. Belum lagi keringat yang menetes. Tapi anehnya, itu nasi tetep abis. Lezatnya ngalah-ngalahin nasi padang.
Waktu naik ke sabuk hitam, gue cuma berkata dalam hati, '' Kayak gini doang nih ujiannya? Cih. ''
SONGONG.
Naik ke sabuk jambon (merah jambu), '' BUSET, SUSAH AMAT. MENDING GUE NIKAH AJA SAMA NAZAR ''
Gimana enggak. Gue diadu dengan kakak. Biasanya waktu latihan, setiap hari Sabtu ada tes adu gitu. Dan gue selalu dilawankan dengan Irma. Irma badannya kecil, mungil. Tapi kalo nendang, badan gue cuma ijo-ijo lebam, lecek doang . Tulang belulang semua sih.
Nah, waktu tes ke sabuk jambon, gue dihadapkan dengan kakak.
Ini nggak baik gaes. Melawan saudara sendiri. INI KONSPIRASI !
Tapi mau nggak mau, gue harus berhadapan dengan kakak. Gue mulai dengan pemanasan. Lari kecil mengitari lapangan. Ini kalo bisa lari sampe rumah, gue udah lari pulang nih. Sambil lari kecil, gue udah mengatur siasat.
Oke.
Salam pembuka. Salaman.
Dan
Maknyus. Gue kena tendang. Karena nggak terima dengan perlakuannya itu, gue langsung berteriak,
'' RASAKAN INI, JURUS RASENGAN. HIYAAAAT ''
Tapi nggak jadi. Gue cuma nyengir-nyengir nahan sakit. Perlawanan terus terjadi. Dengan semampunya gue berusaha menampik tendangan dan pukulan dari kakak.
Kalo diliat dari jauh, gue rasa ini bukan tes uji adu. Tapi lebih mirip ke emak-emak yang marahin anaknya karena semalaman nginap di warnet.
Lah iya, badan kakak gue gede. Sementara badan gue kecil kayak upil plankton.
Gue mencoba memukul ulu hatinya. Nggak bisa. Anunya kegedean.
Maksud gue, tangannya kegedean. Jadi gue nggak bisa tepat sasaran dan mengenai ulu hatinya.
Sampai pada akhirnya,
Kakak gue salah sasaran. Betewe tau kan di mana letak ulu hati. Pas di bawah tulang rusuk dada. Niatnya mau memukul ulu hati gue, tapi nggak kena. Malah yang kena tete gue.
Sakit men. Gila.
Bayangin, tangan kakak gue gede. Dikepal, tambah gede. Tenaga kakak gue gede karena makannya banyak, ditambah kayak ada rasa-rasa kesal yang tak tersampaikan ke gue.
Sasarannya ulu hati, malah kena tete gue.
Sumpah. Itu sakit bener. Gue mau elus, kayak elus kaki gue yang kena tendang tadi. Tapi, yakali gue elus-elus tete di tengah-tengah lapangan. Harkat martabat negara bisa hancur.
Oke. Akurapopo.
Gue tetep melanjutkan perlawanan sambil mikir, '' Kalo tete gue yang sebelah lagi juga kena, bisa bisa gue pulang dengan dada rata. Operasi kelamin. Jadi laki-laki macho. ''
Gue melakukan serangan pukulan dan tendangan ke kakak gue. Nggak mempan. Pengen bawa teroris aja rasanya.
Sampai pada akhirnya,
Gue terduduk dengan anggun di lapangan. Kayak putri salju.
Gue meringis.
Tulang kering gue. Huwaaa. Gue terisak-isak. Besoknya langsung masuk tipi, masuk acara jalinan kasih.
Gue meluruskan kaki gue, membuka celana. Eng anu, menaikan celana untuk melihat tulang kering gue yang nggak berdosa apa apa.
TARAAA
Tulang kering gue benjol. Gede. Segede telor ayam. Kayak hasil perpaduan tumor dan bisul.
Awalnya gue sempat mikir,
'' Ini kenapa tete gue malah pindah ke tulang kering ya? ''
Tapi setelah gue pencet dan terasa sakit. Gue baru sadar, ternyata tulang kering gue bengkak. Yawloh. Kakak gue tega banget. Durhaka.
Setelah mendapatkan sabuk jambon, beberapa bulan berikutnya diadakan tes kenaikan tingkat sabuk hijau. Dan setelah mendapatkan sabuk hijau, gue hanya bertahan selama 2 bulan sebelum pada akhirnya gue memilih untuk mengundurkan diri. Sedangkan kakak gue masih ikut sampai mendapatkan sabuk putih dan lulus.
Begitulah kisah gue sebagai mantan siswi pencak silat.
Kisah yang menginspirasi.
Ralat.
Gue bekas anak silat yang pernah ikut tapi nggak tamat dan nyusahin pelatih-pelatihnya doang. Hebat.
Gue dan kakak mengikuti pencak silat di tahun 2011. Pencak Silat Setia Hati Terate. Yang awal berdirinya di kota Madiun pada tahun 1922.
Awalnya semua berjalan lancar. Gue senang banget bisa tergabung dan dikelilingi dengan mas-mas ganteng perkasa serta pelatih yang kalo gue denger suaranya, rasanya pengen membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohmah.
Jadwal silat ditentukan pada hari Selasa dan Sabtu.
Ini apa banget gitu kan, yang punya pacar nggak bisa malam mingguan. Kenapa harus hari Sabtu coba?
Gue mau protes, tapi takut dihajar rame-rame. Trus meninggal. Kan nggak elit.
Sesudah isya sekitar jam 8, kami semua udah ngumpul di lapangan silat. Angkatan gue waktu itu ada 11 orang. 8 cowok, 3 cewek.
Yang ceweknya, gue, kakak dan adik kelas gue.
Sebagai cewek, gue ngerasa diperlakukan bak seorang ratu. Pergi dijemput segerombolan cowok, pulang jam 2 pagi juga dianterin cowok-cowok. Melindungi cewek-cewek banget. Uuh~
Setiap istirahat sekitar jam 10 malam, kami selalu disuruh bawa minum air pepaya. Sumpah. Itu air pepayanya kayak kisah cinta gue. Pahit.
Dalam pencak silat, tingkatan warna sabuknya berbanding terbalik dengan karate.
Dalam pencak silat tingkatan warna sabuk dari yang terendah sampai ke tinggi dimulai dari,
Polos (cuma seragam doang nggak pake sabuk)
Hitam
Jambon (merah jambu)
Hijau
Putih
Di sana gue baru merasakan arti dari kebersamaan dengan sesama. Mulai dari makan bareng di satu piring gede.
Butir-butir pasir dari telapak tangan sehabis push up kayaknya ikut menggurihkan nasi yang gue makan. Belum lagi keringat yang menetes. Tapi anehnya, itu nasi tetep abis. Lezatnya ngalah-ngalahin nasi padang.
Waktu naik ke sabuk hitam, gue cuma berkata dalam hati, '' Kayak gini doang nih ujiannya? Cih. ''
SONGONG.
Naik ke sabuk jambon (merah jambu), '' BUSET, SUSAH AMAT. MENDING GUE NIKAH AJA SAMA NAZAR ''
Gimana enggak. Gue diadu dengan kakak. Biasanya waktu latihan, setiap hari Sabtu ada tes adu gitu. Dan gue selalu dilawankan dengan Irma. Irma badannya kecil, mungil. Tapi kalo nendang, badan gue cuma ijo-ijo lebam, lecek doang . Tulang belulang semua sih.
Nah, waktu tes ke sabuk jambon, gue dihadapkan dengan kakak.
Ini nggak baik gaes. Melawan saudara sendiri. INI KONSPIRASI !
Tapi mau nggak mau, gue harus berhadapan dengan kakak. Gue mulai dengan pemanasan. Lari kecil mengitari lapangan. Ini kalo bisa lari sampe rumah, gue udah lari pulang nih. Sambil lari kecil, gue udah mengatur siasat.
Oke.
Salam pembuka. Salaman.
Dan
HOIK
Maknyus. Gue kena tendang. Karena nggak terima dengan perlakuannya itu, gue langsung berteriak,
'' RASAKAN INI, JURUS RASENGAN. HIYAAAAT ''
Tapi nggak jadi. Gue cuma nyengir-nyengir nahan sakit. Perlawanan terus terjadi. Dengan semampunya gue berusaha menampik tendangan dan pukulan dari kakak.
Kalo diliat dari jauh, gue rasa ini bukan tes uji adu. Tapi lebih mirip ke emak-emak yang marahin anaknya karena semalaman nginap di warnet.
Lah iya, badan kakak gue gede. Sementara badan gue kecil kayak upil plankton.
Gue mencoba memukul ulu hatinya. Nggak bisa. Anunya kegedean.
Maksud gue, tangannya kegedean. Jadi gue nggak bisa tepat sasaran dan mengenai ulu hatinya.
Sampai pada akhirnya,
HIYAAAT
Kakak gue salah sasaran. Betewe tau kan di mana letak ulu hati. Pas di bawah tulang rusuk dada. Niatnya mau memukul ulu hati gue, tapi nggak kena. Malah yang kena tete gue.
Sakit men. Gila.
Bayangin, tangan kakak gue gede. Dikepal, tambah gede. Tenaga kakak gue gede karena makannya banyak, ditambah kayak ada rasa-rasa kesal yang tak tersampaikan ke gue.
Sasarannya ulu hati, malah kena tete gue.
Sumpah. Itu sakit bener. Gue mau elus, kayak elus kaki gue yang kena tendang tadi. Tapi, yakali gue elus-elus tete di tengah-tengah lapangan. Harkat martabat negara bisa hancur.
Oke. Akurapopo.
Gue tetep melanjutkan perlawanan sambil mikir, '' Kalo tete gue yang sebelah lagi juga kena, bisa bisa gue pulang dengan dada rata. Operasi kelamin. Jadi laki-laki macho. ''
Gue melakukan serangan pukulan dan tendangan ke kakak gue. Nggak mempan. Pengen bawa teroris aja rasanya.
Sampai pada akhirnya,
CIYAAT
Gue terduduk dengan anggun di lapangan. Kayak putri salju.
Gue meringis.
Tulang kering gue. Huwaaa. Gue terisak-isak. Besoknya langsung masuk tipi, masuk acara jalinan kasih.
Gue meluruskan kaki gue, membuka celana. Eng anu, menaikan celana untuk melihat tulang kering gue yang nggak berdosa apa apa.
TARAAA
Tulang kering gue benjol. Gede. Segede telor ayam. Kayak hasil perpaduan tumor dan bisul.
Awalnya gue sempat mikir,
'' Ini kenapa tete gue malah pindah ke tulang kering ya? ''
Tapi setelah gue pencet dan terasa sakit. Gue baru sadar, ternyata tulang kering gue bengkak. Yawloh. Kakak gue tega banget. Durhaka.
Setelah mendapatkan sabuk jambon, beberapa bulan berikutnya diadakan tes kenaikan tingkat sabuk hijau. Dan setelah mendapatkan sabuk hijau, gue hanya bertahan selama 2 bulan sebelum pada akhirnya gue memilih untuk mengundurkan diri. Sedangkan kakak gue masih ikut sampai mendapatkan sabuk putih dan lulus.
Begitulah kisah gue sebagai mantan siswi pencak silat.
Kisah yang menginspirasi.
