• HOME
  • ABOUT ME
  • CONTACT
  • WIRDY'S PROJECT

Rahayu Wulandari Ibrahimelya

Daripada tawuran, mending kita curhat-curhatan




GILAAAA UDAH BERAPA ABAD GUE NGGA NULIS DI SINI

Huhuu sedi

Gue mau ngasih tau penyebab gue jarang nulis di sini. Yang pertama karena sibuk ngurus skripsi dan yang kedua karena hasrat menulis ngga tau kenapa tiba-tiba ngilang huhuu
Yang pastinya alasan pertama hanya alasan pura-pura alias YA BILANG AJA LU LAGI MALES NGEBLOG HHH


And now, em back~



Oiya beberapa hari lalu gue dapat kabar duka dari seorang mantan gue. Kalo ada yang berkenan baca kisah awal gue ketemu dia bisa dibaca di sini dan endingnya ada di tulisan ini
Di tahun 2016 akhir, dia menikah. Seminggu setelahnya dia sempat nelpon gue. Di obrolan itu dia minta maaf berulangkali ke gue. Gue bingung donk yhaaa

Dia bilang maaf, karena tahun ini harusnya gue yang nikah sama dia, tapi dia malah nikah sama orang lain. Gue mau ketawa waktu itu. Yawlaa itu kejadiannya waktu taun 2014 keleus. Gue malah udah nggak mempermasalahkan hal itu lagi hhh

Dan kalo ditanya siapa lelaki yang pernah bikin gue galau terparah ya dialah orangnya hoho

Waktu istrinya lahiran dia sempat ngechat gue. Gue juga responnya kayak biasa. Selamat ya blablablaa gitu doang. Tapi demi apapun, gue udah memaafkan segala kesalahan dia. Hubungan gue sama dia baik baik aja.

Waktu puasa kemarin, gue dapat kabar kalo dia masuk rs. Diopname udah dari awal tahun. Gue mau jenguk, tapi lokasinya jauh bgt. Gue sempat liat fotonya yang terbaring di kasur. Badannya udah kurus, pipinya udah kurus bgt astagaaa

Seminggu lalu dia masuk ICU. Keadaannya kritis. Badannya makin kurus. Dan beberapa hari yang lalu gue dapat kabar kalo dia sudah pergi untuk selama-lamanya. Gue sedih karena dari gue tau kabar dia sakit, gue nggak menyempatkan diri untuk jenguk huhuuu

Yodalaya semoga beliau tenang di sisi-Nya. Aamiin.

Ngomong-ngomong soal urusan cinta, gue selalu gagal alias SEDI AMAT IDUP LU LAN HAHAHAA


.

.

.


Okay


Dua tahun lalu gue kenal seseorang lewat dunia maya. Awalnya dia nyasar ke blog gue. Trus dia ngechat gue lewat line. Kami ngobrol intens. Dia asdos di ITB. Iye jauh bgt yak. Dia orangnya kalem dan baik. Sampai suatu hari dia memutuskan untuk melewati malam tahun baru di Pekanbaru. Yoda yekan, kami ketemuan, ngobrol, gue kenalin ke rumah. Dia di Pekanbaru selama 2 hari.

Bulan bulan berikutnya, kami memutuskan untuk berpisah karena something.

Perkenalan lewat blog dalam mendapatkan jodoh pun gagal


.

Oke, ngga papa

.


Awal tahun ini, gue iseng donlot tinder HAHAHAA AYO TERTAWA GAESSS

Dulu tuh yang ada dalam otak gue saat mendengar kata tinder adalah,

YAELAH ITU APLIKASI UNTUK ORANG YANG NGGA LAKU DI DUNIA NYATA, MAKANYA NYARI JODOH LEWAT DUNIA MAYA HAHAHAHA NAJIS

Sampe akhirnya gue sukses mendonlot aplikasi itu di hengpon gue
Sumpah, gue ngga tau cara mainnya gimana. Swipe kanan ama kiri tuh beda ternyata. Kalo kita nge-swipe foto user tinder ke kanan berarti kita suka ama orangnya. Kalo swipe ke kiri, berarti kita ngga tertarik ama orangnya. Oh ngono toh, ujar gue dalem hati.

Baru mabelas menit gue instal tinder, eeh gue match ama seseorang. Kenalan, tukeran whatsapp. Siangnya telponan, malemnya ketemuan. Sungguh gercep emang!

Trus kami deket. Sering main, jalan, makan. Keluarga juga udah kenal. Ya gimana ngga kenal, kan gue tiep punya 'temen' cowok, akan selalu gue kenalin ke ortu. Yodah yekan.

Setelah masuk ke bulan kelima, kami berpisah karena something

Iyee, baru seminggu lalu gue putus hahahaa mangtap emang!

Tapi yang perlu kalian tau, otentu saja gue tida menangis. Ngga tau kenapa, beberapa tahun belakangan ini, tiep putus, gue ngga pernah nangis. Sedihnya juga cuma sehari doang hahaaa. Gue udah mati rasa apa gimane sih anjrut

Gue tadinya mulai mikir untuk instal bigo di hengpon. Kali aja bisa dapat jodoh di sana. Tapi gue minder, soalnya tete gue kecil. Ukuran tete gue kira-kira segini



                                              



Syarat utama maen bigo kan harus gede. Niatnya. Segala sesuatu itu kan harus diawali dengan niat.

Yodalaya, begitulah kisah cinta gue selama dua tahun belakangan ini.

.

.

.

Setelah kisah cinta gue lewat blog dan tinder gagal, kali ini gue ingin berkata,



Mo donlot tantan aja ah!




Share
Tweet
Pin
Share
4 comments



'' Hahahaaaa aku ketawa mulu kalo inget itu, '' ledak suaraku memecah obrolan hangat yang sudah sedari tadi kita lakukan.

Aku mengangguk-ngangguk pasti sambil menahan senyum saat pikiranku kembali melayang pada masa-masa ketika kita duduk di bangku sekolah dulu. Membayangkan kita yang selalu berjalan kaki bersama saat hendak berangkat sekolah, dengan kamu yang selalu mengomel saat langkah kakiku berjalan dengan cepat. Dengan alasan, ' Biar aku bisa lebih lama ngobrol sama kamu, ' dan itu sukses membuatku menurunkan kecepatan langkah kakiku.
Aku hampir menahan tawa saat mengingat tingkah konyolmu yang selalu menghiburku di sela-sela pelajaran matematika yang membuatku bosan setengah mati.

Siapa sangka ' goodbye and goodluck ' yang pernah kutulis dua tahun yang lalu pada lembaran binder harian milikku saat terakhir kali kita bertemu, ternyata tidak membuat kita benar-benar berpisah tanpa bertemu muka seperti goodbye yang sesungguhnya.


Kita bertemu lagi. Saat ini.


Kita kembali bercerita tentang banyak hal yang masing-masing kita lewati selama kurang lebih dua tahun tak berjumpa. Juga tanpa komunikasi melalui media apapun. Segala tentang pekerjaan, keseharian, perkuliahan, teman-teman baru, teman kerja dan banyak hal lainnya kini mengalir menjadi obrolan di antara kita.

Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan kepadamu. Apakah kamu masih tetap tidak menyukai minum dengan menggunakan sedotan? Apakah kamu masih meletakkan sate, sebagai makanan istimewa dengan nomor urut paling pertama? Lalu bagaimana dengan kebiasaanmu yang selalu membeli baju dengan jumlah selusin yang kerap sekali kamu lakukan? 'Supaya puas pakai baju yang sama setiap harinya, ' begitu alasanmu.

'' Kok bengong sih? ''

Aku terkejut dan mendapatkan ekspresi bingung penuh tanya yang tergambar pada raut wajahmu.
Wajahmu masih sama dengan wajah yang aku kenal pertama kali pada 5 tahun lalu.  Gaya bicaramu juga tetap sama, kali ini lebih berwibawa.

Sejujurnya, di sela-sela obrolan ini, aku benar-benar berharap agar waktu dapat berhenti sejenak. Barangkali hanya sekian detik. Aku masih bingung dengan apa yang membuatku ingin menahanmu di sini. Tetap dengan posisi duduk saling bertatapan seperti ini.

Aku terdiam. Sesekali senyum dan anggukan bergerak cepat seiring dengan lantunan cerita-cerita konyolmu. Aku hampir saja mati tertawa mendengarnya. Aku bahagia. Sungguh.

Bagiku, cuma kamu yang aku perbolehkan untuk membangunkanku dengan deringan handphone di tengah malamku.
Cuma kamu yang aku izinkan untuk menyeruput teh hangat tanpa izin dariku.
Cuma kamu yang aku perbolehkan untuk memaksaku mengenakan mantel, seperti yang selalu Ayah pesankan kepadaku.

Karena, cuma kamu yang bisa melakukan semuanya dengan cara semenyenangkan itu.





Share
Tweet
Pin
Share
39 comments
Jumat kemarin, gue yang lagi goler-goleran indah mesra bersama kasur dengan meng-scroll layar hp, menemukan sebuah dp (display picture) bbm yang sangat menggugah hati. Gue melihat sebuah screenshoot percakapan dua orang manusia. Yang isinya seperti ini,

A: Iya Nda, Ayah selalu jaga kesehatan kok. Bunda juga ya, jangan sakit.
B: Iya Yah. Pasti.

Awalnya gue senyum-senyum doang bacanya sambil mikir, '' Wah orangtuanya so sweet ya, perhatian gitu. ''
Sampai pada akhirnya gue meneruskan membaca percakapan yg ada di dp itu.

A: Love you Putri.
B: Love you too Agung.


Fak!

Setau gue pemilik bbm ini Putri, adik dari temen gue. Dan Putri ini masih berstatus sebagai pelajar SMP kelas dua.
Yawloh mau nangis. Kenapa manggil pacarnya pake ayah-bunda segala coba?

Gue kemudian meletakkan hp dan memandangi langit-langit kamar. Pikiran gue melayang dan kembali ke masa-masa saat SMP dulu.
Jujur, gue pernah ada di posisi seperti Putri. Sebagai anak SMP. Punya pacar. Dengan panggilan ayah-bunda.
Allahukbar!

Gue.

Hina.

Tapi jangan salah gaes, menentukan nama panggilan kesayangan antar satu sama lain ini sangat sulit. Tentunya harus ada persetujuan kedua belah dada, eh maksud gue kedua belah pihak. Oke, serius.

Misalnya ada pasangan yang baru jadian nih 5 menit yang lalu. Lalu terjadi percakapan:
Cowo: Emm kita kan baru jadian nih. Menurut kamu, bagusnya kita pake panggilan sayang apa ya?
Cewe: Gimana kalo ayah-bunda aja?
Cowo: Duh jangan dong, mama-papa aja.
Cewe: Aku maunya ayah-bunda!
Cowo: Nggak usah itu.
Cewe: KAMU KOK NGGAK NGERTIIN KEMAUAN AKU SIH?
Cowo: AKU MAU PANGGILAN KITA MAMA-PAPA!
Cewe: KOK LO GITU? YAUDAH KITA PUTUS!
Cowo: OKE!


Gila. Cuma karena berdebat untuk menentukan panggilan kesayangan aja sampai putus.

***

Berikut gue jelaskan panggilan alay apa saja yang pernah gue pakai bersama si pacar ketika itu.

1. Ayah-Bunda
Iya, gue pernah menggunakan panggilan ini. Alay. Najis. Iyuh. Tapi tetep aja waktu itu gue seneng dipanggil dengan sebutan itu. Panggilan kesayangan. Hahaa tapi menjijikan.
Di mata gue, sosok seorang perempuan yang pantas dipanggil dengan panggilan 'Bunda' itu adalah perempuan yang sholehah, rajin sholat, pinter ngulek sambel bawang, kalo dikagetin orang, lantas berucap,  '' MasyaAllah. ''
Gitu.
Berbanding terbalik dengan gue yang saat itu masih duduk dibangku SMP. Sholehah kagak, sholat masih bolong-bolong, ngulek sambel bawang nggak bisa, masak nasi kebenyekan mulu, trus juga kalo dikagetin orang, gue langsung ngucap, '' WOY TAI AYAM LU! ''

Walaupun  gue memang nggak pantas dipanggil dengan sebutan 'Bunda' ketika SMP, tapi kenapa gue pas pacaran manggil Ayah-Bunda ke pasangan. Masih pacaran juga, ahelah.
Bahkan waktu itu.  dengan pedenya gue dan si pacar saling memanggil nama ayah-bunda di depan umum. Di depan teman-teman. Di rumah gue.
Ya Allah, hamba-Mu khilaf :(
Sampai sekarang, gue geli mengingat masa-masa itu.



2. Mimi-Pipi
Itu panggilan kesayangan yang terimut yang pernah gue gunakan. Imut banget gila. Gue menggunakan panggilan ini saat gue duduk di kelas 2 SMK. Parah. Kealayan dari masa SMP gue masih aja terus menempel hingga sampai gue duduk di kelas 2 SMK ketika itu.
Mimi-Pipi. Kayak panggilan Krisdayanti dan Anang ya. Tapi meskipun gue dipanggil mimi saat pacaran, gue nggak selingkuh sama Raul Lemos sih. Gue orangnya setia. Tapi sebenernya leh uga om Raul. Apartemennya banyak, rumahnya banyak.

Eh apa tadi??

Gue masih ingat kejadian waktu kelas 2 SMK. Gue yang sok-sok belajar make up mencoba menggunakan eyeshadow. Tau eyeshadow kan?
Eyeshadow artinya bayangan mata. Sering dipakai pada kelopak mata. Warna warni. Bikin mata keliatan lebih ngejreng.
Beda dengan mantanshadow yang artinya bayangan mantan. Kayak belum move on gitu.
Oke, jangan bahas mantan lebih dalam.

Nah, pagi itu sebelum berangkat sekolah gue mencoba memakai eyeshadow. Berhubung waktu itu gue menggunakan seragam sekolah SMK biasa, putih biru, maka gue memilih menggunakan eyeshadow warna biru.  Asoy.
Gue berangkat menuju sekolah dengan berjalan kaki. Iya sekolah gue deket dari rumah. Kentut doang, udah. Sampai.
Waktu masuk ke gerbang sekolah, gue udah pede mampus nih. Ngerasa paling oke sejagad raya. Sesampainya gue di depan kelas, seperti biasa pacar gue waktu itu sudah nunggu di depan pintu kelas. Temen-temen gue pada ngiri, sampai ada yang bilang, '' Ih pacar lu romantis ya. ''
Romantis apaan. Nunggu depan pintu. Kayak satpam mall. Bhahahaa.
Harapan gue waktu masuk kelas, nantinya gue bakal melihat teman-teman tercengang, terpesona sambil berkata,
  '' Ya Allah, Taylor Swift. ''
  '' Bidadari surga. Subhanallah. ''

Tapi kenyataannya berbeda. Baru gue sampai di depan pintu kelas, pacar gue langsung memandang wajah gue dengan tatapan  kok-tampang-lu-kayak-keset-kaki  kepada gue.
  '' Mi? ''
Gue menoleh. Waktu itu gue seneng banget dipanggil Mimi.
  '' Iya? ''
  '' Itu mata kamu kenapa? Biru-biru. Kayak nyi  roro kidul. ''

Oke.
Akurapopo.
Terimakasih eyeshadow.


Cry.

Sejak saat itu, setiap kali melihat eyeshadow, gue selalu ingat dengan kejadian itu. Kejadian gue yang ketika itu bangga dipanggil Mimi dan dikatain nyi roro kidul oleh pacar.



3. Mamah-Papah
Eits, jangan salah pengucapan waktu manggilnya. Panggilan ini harus dilafalkan dengan suara mendesah. Mamah dan Papah.
Akan ada nafas-nafas terzalimi yang keluar dari mulut saat menyebutkan.
Gue menggunakan panggilan mamah-papah dengan pacar saat gue duduk di kelas 3 SMP. Dalam pandangan gue, sebutan mamah ini menggambarkan sosok seorang perempuan sosialita yang hobinya haha-hihi, nongkrong cantik dan belanja kangkung pake hermes.

Gue seneng dong dipanggil dengan sebutan Mamah. Baik dalam sms maupun panggilan langsung.
Padahal gue sama sekali nggak mencerminkan sosok perempuan yang pantas dipanggil 'Mamah' tersebut. Yang kalo ketawa, '' BHAHAAHA, NGAKAK. HAHAA. ''
Siswa satu kelas dari lantai atas sampai lantai bawah ngeliatin. Jangankan nongkrong cantik, nunggu angkot sampai kelamaan pulang aja udah dicariin. Padahal nunggu angkot juga. Gue yang disalahin.
Boro-boro belanja kangkung pake hermes, ada plastik kresek juga udah syukur daripada kangkungnya cuma diiket karet gelang yang warna merah.

Tapi, jujur. Waktu itu gue bangga parah dipanggil dengan panggilan mamah oleh pacar. Begitu juga gue, manggil si pacar dengan sebutan papah. Kayak di tipi-tipi.
Bedanya kalo papah yang muncul di layar tv, papahnya pake jas dan dasi panjang. Papah kantoran. Gagah.
Kalo papah yang jadi pacar gue, pake dasi juga sih. Sama. Tapi dasinya yang ada tulisan ''tut wuri handayani''.


4. Bawel-Jelek
Ini panggilan yang membuat banyak dosa bagi gue. Gimana enggak, manggil orang sekaligus ngatain. Bawel dan jelek. Dulu waktu facebook lagi hits, gue bangga setiap dapat tulisan '' Sayang Bawel'' kiriman di dinding fb. Panggilan romantis.

Gue takut aja nanti pas di alam kubur, malaikat nanya, '' Coba kamu jelaskan dan uraikan sisi romantis dari panggilan bawel-jelek yang pernah kamu lakukan dalam hidupmu? ''

Gue langsung pura-pura pingsan. Udah meninggal, pura-pura pingsan lagi.


Dan dengan hati yang berbunga-bunga gue dengan pedenya membalas dan mengirimkan tulisan '' Sayang kamu juga jelek '' di dinding pacar.

So sweet. Facebook serasa milik berdua. Gue rasa Om Mark Zuckerberg kalo ngeliat pasti iri dengan keromantisan kami berdua. Trus dengan sukarela menghibahkan facebook kepada kami.
Untung gue nggak sampai ganti nama facebook jadi Whulan chayank Ayah cLaloe polepHeL.

Nggak! Nggak!
Gue nggak sampai sesesat itu.


 ***

Setiap kali gue mengingat masa-masa alay dengan panggilan pacaran saat SMP, rasanya gue mau sholat taubat.

Astaga, gue hina!

Share
Tweet
Pin
Share
42 comments
Ada yang ingat kapan pertama kali jatuh cinta?
Kata orang cinta pertama itu enggak bisa dilupakan. Bener nggak sih?
Meskipun pada kenyataannya cinta pertama kita belum tentu menganggap kita sebagai cinta pertamanya. Karena dia pasti punya cinta pertamanya sendiri.



                                       




Jujur. Gue sendiri merasakan cinta pertama di usia 8 tahun. Gila ya. Gue nggak habis fikir. Anak kelas 3 esde bisa-bisanya mengalami jatuh cinta.
Gue jatuh cinta dengan ketua kelas di kelas gue sendiri. Namanya Fariz. Beneran deh, ini nama asli. Bukan nama samaran.
Fariz bersuku Aceh. Badannya gagah, tampan rupawan. Kepribadiannya juga wibawa banget. Ngomong seadanya. Tipe suami-able gitu. Duuh.
Gue sering kali melirik-lirik dia di setiap kali ada kesempatan. Ada bahagia yang tak terungkap di dalam hati.

Sampai pada suatu hari yang di mana gue mengingat jelas hari bersejarah ketika  gue jatuh cinta untuk yang pertama kalinya.
Pagi itu pelajaran matematika sedang berlangsung. Sialnya, gue lupa membawa penggaris. Padahal beberapa hari sebelumnya, ibu guru udah mengingatkan siswanya untuk membawa penggaris. Soalnya pelajaran kali itu udah masuk ke bab bangun ruang.
Selesai ibu guru menerangkan di papan tulis, seperti biasa anak-anak lainnya sibuk mencatat kembali pelajaran dari papan tulis. Dan gue mendadak bengong saat menyadari bahwa gue tidak membawa penggaris.
Daripada enggak nyatat, akhirnya gue memberanikan diri bertanya ke teman-teman yang posisi duduknya dekat dengan gue.

  '' Temen-temen, ada yang bawa penggaris nggak? ''
Satu kelas hening. Nggak ada yang respon. Gue dikacangin. Parah.
Gue kembali  membuka mulut.

  '' Ada yang bawa penggaris nggak? Pinjem dong. ''

Belum sempat gue menyelesaikan omongan gue, sebuah penggaris hadir tepat di depan gue.
  '' Nih, ''

Seorang lelaki mengulurkan penggarisnya ke arah gue. Gue terkejut. Fariz tersenyum seraya menganggukkan kepalanya ke gue.
Gue diem.
Waktu seakan berjalan lambat. Ada jeda yang membuat jantung gue berdegup cukup kencang. Nafas pun ikut tertahan.

 Ada gejolak yang tak biasanya gue rasakan saat berada dalam situasi saat ini. Ada rasa yang beda. Lain.


Keringat dingin mulai mengalir di sekujur tubuh.

  '' Ini, pakai aja. '' Fariz menyadarkan gue.
  '' Ehh iya, iya. Pinjam dulu ya. ''

Sejak saat itu, gue menyukai Fariz.
Fariz yang berhasil membuat gue jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Kedengarannya memang aneh, bagaimana mungkin anak berumur 8 tahun bisa mengalami jatuh cinta dengan lawan jenisnya? Bagaimana mungkin cinta bisa datang tiba-tiba di usia yang semuda itu. Masih terbilang kanak-kanak.

Tidak hanya itu. Gue juga sering sekali memperhatikan buku absen yang ada di atas meja guru. Memperhatikan deretan nama absen sesuai abjad. Yang dimana nama gue dan nama Fariz hanya terpisah oleh satu nama siswi lain.

Muhammad Fariz
Ningsih
Rahayu Wulandari


Ada senyum yang perlahan mekar di ujung bibir saat jari tangan gue menyentuh deretan nama gue dan nama Fariz.
Ah, andai saja Ningsih tidak ada di kelas ini. Pasti nama gue dan Fariz udah deketan.
Gila. Segitu jatuh cintanya gue dengan lelaki itu.

Semakin hari, gue semakin menyukai sosok Fariz. Sikapnya dalam memimpin kelas, mengatur kelompok, mengatur barisan. Hanya satu kata yang terlintas di benak gue. Gagah.
Naik ke kelas 4 SD, gue tidak lagi sekelas dengan Fariz. Meskipun begitu, setiap jam istirahat gue selalu menyempatkan diri untuk melihatnya dari kejauhan. Melihat punggungnya yang sedang berjalan di paving block halaman sekolah. Melihatnya masuk ke kantor guru, bicara dengan guru, tertawa dengan teman-temannya. Tatapan matanya teduh.

Hingga sampai naik ke kelas 6 SD, gue-masih-menyukai-Fariz.
Gue menyukai saat di mana gue bisa memperhatikan raut wajahnya secara jelas. Ketika nomor ujian akhir murid udah keluar dan terpampang di papan info sekolah, rasanya gue ingin melompat girang saat mengetahui posisi duduk gue tepat di belakang posisi duduk Fariz. Gue juga bingung, kenapa bukan Ningsih yang berada di belakang posisi duduk Fariz. Dan akhirnya gue tau, ternyata posisi duduk sengaja dibentuk zig-zag sesuai nama di buku absen. Syukurlah. Setidaknya dengan posisi zig-zag itu, gue bisa berada dekat dengan lelaki ini. Lelaki yang gue kagumi 3 tahun lamanya.


Ada satu momen yang sampai saat ini masih teringat jelas di benak gue di saat hari ujian akhir berlangsung.
Seperti biasa, setiap kali selesai mengerjakan soal ujian, gue dan Fariz selalu berbicara tentang apa saja. Saat itu obrolan yang paling gue ingat mengenai musibah tsunami di Aceh. Berhubung Fariz adalah orang Aceh, gue selalu bertanya tentang kejadian itu, tentang saudaranya di sana.
Gue selalu senang ketika bisa berbicara dekat dengan sosok Fariz.

Setidaknya dengan obrolan inilah, gue bisa berada dekat sebagai lawan bicaranya. 


Gue juga masih ingat, saking ingin mengobrol dekat dengannya gue pernah membuka pembicaraan dengan kalimat,
  '' Riz, kamu tau nggak. Itu A'a Gym nikah lagi loh. ''
  '' Eh, masak iya? ''
  '' Iya, bla bla bla  ''

Bayangin. Anak kelas 6 SD udah ngomongin tentang A'a Gym yang melakukan poligami. Waktu itu acara gosip di tv memang lagi seru-serunya ngebahas tentang A'a Gym yang berpoligami.
Habisnya, gue nggak tau lagi mau bahas apa dalam obrolan. Gue hanya ingin terus berada dekat dengannya. Meskipun hanya dengan melalui obrolan.



Hingga di hari ujian kedua, gue mendadak kesel dengan Fariz. Fariz tidak sengaja mencopot kartu ujian gue yang tertempel di atas sudut permukaan meja. Di tiap-tiap meja memang tertempel kartu ujian masing-masing siswa. Dengan tujuan agar siswa bisa menyesuaikan posisi duduk dan kartu ujian yang asli sebagai pegangan.
  '' Sorry, aku nggak sengaja. ''
  '' Kamu sih, lihat tuh kan kartu ujianku jadi lepas. Ujungnya juga robek. '' Gue manyun. Sok imut. Jiji.
  '' Iya, aku minta maaf. Blablablaaa.. ''

Hari itu, tidak ada lagi obrolan seusai ujian yang biasa kami lakukan sambil menunggu jam ujian berakhir. Tidak ada lagi membahas tsunami maupun A'a Gym yang menikah lagi.
Setiap kali Fariz menoleh ke belakang untuk mengajak gue mengobrol, gue selalu membuang muka. Diem. Ngambek.
HAHAAHAA KOK GUE GELI YA NGETIK DI BAGIAN INI. NGEBAYANGIN GUE SOK-SOK NGAMBEK.

  '' Lan, maaf. Kan aku nggak sengaja. '' Fariz memutar posisi duduknya. Gue tetep diem sambil melempar pandangan ke arah lain.

Keesokan harinya, gue yang sedang diam duduk manis di kursi terkejut dengan kedatangan Fariz yang terlihat tergesa-gesa. Gue mau nanya sih, tapi gue sadar. Kan gue masih dalam kondisi 'ngambek'.
Fariz meletakkan tas punggungnya kemudian mengeluarkan kotak pensil hitamnya. Kemudian Fariz berbalik arah menghadap gue yang berada di belakangnya.
Dari kotak pensil hitam itu, Fariz mengeluarkan sebuah lem kertas. Dengan tanpa bicara apapun, Fariz langsung saja mengoleskan lem kertas itu ke kartu ujian gue dan menempelkannya kembali di atas meja. Gue sama sekali nggak melihat jelas tangan Fariz yang berusaha menempelkan kembali kartu ujian gue.
Dari posisi seperti ini, gue hanya-ingin melihat raut wajahnya yang tampak serius dan berhati-hati menempelkan kertas tersebut.
  '' Udah kan? '' Fariz tersenyum sambil menutup kembali lemnya.
Gue tersenyum dan mengangguk. Masih nggak menyangka Fariz sebegitu pedulinya dengan gue. Berbeda dengan anak-anak lainnya.

Gue sebenernya mau ngomong,
'' Lemnya masih di pake nggak? ''
Dan membayangkan Fariz yang akan menjawab,
'' Enggak. Memangnya buat apa? ''
Trus gue dengan imutnya membalas,
'' Buat ngelem hati aku dan hati kamu. Biar lengkeeeet terus. ''

Trus gue dilempar lem.

Sayangnya, percakapan itu nggak terjadi. -__-

Setelah kartu ujian gue kembali melekat di atas meja, gue mulai membuka mulut saat Fariz mengajak gue mengobrol.
Ada perasaan yang sulit untuk diungkapkan saat gue mengingat kejadian seperti itu.
Sebegitu tanggung jawabnya dia di usia anak sekolah dasar ketika itu. Gue salut. Dan sikap-sikap seperti itu yang menjadi alasan mengapa gue bisa menjatuhkan cinta kepada sosok seorang Fariz.
Hampir setiap hari gue selalu berdoa dengan kalimat,
''Ya Allah semoga aku lulus SD. Semoga diterima di SMP 1. Semoga hasil ujiannya bagus dan kertas ujiannya nggak ada masalah. Semoga Fariz bisa jadi suamiku. Amin. ''

Nama Fariz, selalu ada dalam setiap rentetan doa gue.


Sejak lulus dari sekolah dasar, gue dan Fariz masuk di SMP yang berbeda. Begitu juga saat di SMA.
Gue sudah jarang bertemu Fariz.
Pernah suatu kali gue bertemu dengannya. Ingin sekali rasanya menyapa teman lama, tapi gue begitu takut untuk memulai.
Setiap kali berjumpa, gue dan Fariz selalu bertatapan beberapa detik sebelum pada akhirnya kami sama-sama sibuk dan kembali pada kegiatan masing-masing. Satu hal yang gue ingat, tatapan matanya masih sama seperti yang dulu. Teduh. Menyejukkan hati.
Tahun lalu, gue juga sempat bertemu dia saat di bulan puasa. Gue yang ketika itu sedang berburu takjil  di pinggir jalan selalu menyempatkan diri melihat jalanan yang macet. Nggak tau kenapa, gue suka macet. Saat berada dalam mobil, gue juga sering memperhatikan korban macet dari balik kaca mobil.
Gue suka memperhatikan orang-orang yang terjebak dalam situasi macet meskipun gue sama sekali tidak berada di dalam kerumunan itu.
Gue bisa melihat raut wajah, gerutuan, omelan dari sikap masing-masing pengguna kendaraan. Gue juga bisa melihat sikap sabar dari beberapa pengendara motor dalam menghadapi situasi macet kala itu.
Dan pada detik itu, tanpa sengaja tatapan mata gue berhenti pada seorang pengendara motor. Fariz.
Lelaki itu...
Entah bagaimana bisa seketika gue menatap Fariz, lelaki itu seperti sadar dan juga menatap gue di tengah-tengah macet yang dialaminya.
Ada beberapa detik saat mata gue dan Fariz saling bertemu. Tak ada obrolan seperti yang kami lakukan saat 6 tahun silam. Tak ada sapaan, senyuman juga tegur sapa.

Mata yang seolah berbicara.


Percaya atau tidak, sampai saat ini gue masih sering menjadi stalker Fariz. Gue hanya ingin tau bagaimana tentang dia, bagaimana sekolahnya, kuliahnya juga tentang pacarnya.
Gue juga sering membaca komen-komenan instagramnya bersama teman-temannya. Tentang ia yang saat itu mendaki gunung, liburan ke pantai, jadi seorang maba, berlebaran dengan keluarganya dan banyak lainnya.

Karena gue hanya ingin tau tentang bagaimana keadaan dia setiap waktu.



Hai cinta pertama.
Sepertinya kamu tidak tau dan tidak akan pernah tau bahwa kepada kamulah aku menjatuhkan cinta untuk yang pertama kalinya di hidupku. Pemujamu dalam diam.
Kepada sosokmulah aku dapat merasakan bagaimana rasanya menyukai seseorang. Dengan hati yang bercampur aduk, dengan hati yang tidak menentu setiap kali aku melihatmu.
Hai cinta pertama.
Aku sangat berterimakasih kepadamu. Dengan adanya kamu, aku menjadi tau bagaimana rasanya guncangan degup jantung dengan skala besar. Aku menjadi tau bagaimana sejuknya hati saat berbicara denganmu. Dengan memperhatikan tekstur wajahmu, lekukan lesung pipimu, setiap inci helai rambutmu.
Hai cinta pertama.
Sukses selalu dalam mewujudkan impianmu :))



Share
Tweet
Pin
Share
63 comments
Cinta tak pernah lelah menjatuhkan hatinya kepada setiap insan.

Seperti kita ketika itu.
Akhir tahunku yang begitu hancur sempat tersusun kembali saat aku mengenalmu. Gelap hitamku perlahan membias dan memantulkan cahaya putih pada kehidupanku. Pada hatiku.
Awalnya aku sempat menolak untuk berkenalan dengan lelaki lain. Apalagi dengan kamu. Seperti yang aku tau, kamu adalah orang yang sibuk. Kesana-kesini dengan berbagai kegiatan, bertemu dengan banyak orang, berinteraksi dengan banyak kepala, dan karena itu aku sempat mengaca pada diriku. Hingga aku merasa aku adalah satu diantara banyak mereka yang ingin mengenal dekat tentangmu. Mustahil.
Tetapi kenyataannya berbeda.
Aku masih ingat saat pertama kali kedua mata itu saling menatap, saat lontaran kalimat basa-basi yang pernah kita ucapkan saat di awal perkenalan. Saat tanya-jawab yang kita perbicangkan di depan rumahku. Dan kita langsung berlari masuk ke rumah saat hujan turun membasahi permukaan tanah.
Kata orang, hujan itu anugerah.
Seperti perkenalan kita dengan obrolan itu. Adalah anugerah.
Perbincangan itu berakhir dengan saling bertukaran nomer handphone. Akhir perbincangan yang sangat indah.

Aku hampir meloncat kegirangan tak terkendali saat melihat sebuah pesan mendarat di handphoneku. Dari kamu. Kamu yang mencoba bertanya tentang kegiatanku, sedang apa dan berbagai rentetan obrolan lainnya. Malam itu, pendekatan kita di mulai.
Selalu saja ada senyum mengambang yang terlukis di sudut bibirku. Ada harap-harap cemas saat aku mengetahui belum ada pesan masuk darimu untukku.

Ketahuilah, aku malu untuk memulai. Karena aku ingin kau yang mendahulu dan percayalah karena aku akan siap mengikuti alurmu.

Masih teringat jelas putaran masa itu. Saat aku dengan keadaan yang mendadak mengajakmu pergi bersama kakakku dan kekasihnya. Saat itu kita masih kaku. Enggan untuk menatap lebih lama. Malu. Lebih tepatnya aku takut kalau kamu bisa menebak sorot mataku yang mengedarkan pandangan bahwa aku telah jatuh cinta.
Perjalanan itu menempuh waktu dua jam. Itu berarti aku akan berada selama dua jam di belakangmu. Berhadapan dengan punggungmu. Punggung yang menjadi saksi bahwa ada senyum bahagia yang tertanam ketika aku bisa berada sedekat ini denganmu. Tak jarang sekali helmku terbentur dengan helmmu saat jalanan yang tidak rata kita lewati. Terdengar seperti benturan yang lucu sekali.
Saat itu, aku bisa melihatmu dengan penuh kelelahan menungguku yang berputar tidak jelas di Gramedia. Bersabar menantiku yang heboh kegirangan diantara banyak tumpukan buku. Aku tenggelam berjam-jam lamanya dikerumunan buku-buku itu. Setiap sudut ruangan bahkan lantai juga sudah ku jelajahi demi mencari sebuah buku. Tak peduli penat yang mulai merambati tulang kakiku.
Hampir dua jam aku berkeliling di dalamnya, dan saat aku menemuimu aku terkejut. Kamu masih tetap berdiri dan membaca buku di depan rak yang sama seperti saat dua jam yang lalu. Saat kita pertama kali sampai di sini.
Kamu juga sabar saat menungguku mencari sepatu. Mengitari mall yang penuh banyak orang. Hingga akhirnya kita kelelahan dan kamu mengajakku untuk beristirahat dengan segelas cappuccino. Aku bisa bernafas lega bersamaan dengan tegukan cappuccino dingin itu. Juga saat posisi kita yang memungkinkan aku untuk berhadapan dengan wajahmu, bukan lagi dengan punggungmu.
Ah, momen itu terasa jelas terngiang di benakku.
Magrib itu, hujan turun rintik-rintik. Lagi-lagi hujan yang menyaksikan kebersamaan kita.
  '' Apa kakak terlalu kencang bawa motornya? Kalau iya bilang saja ya. ''
Kalimat itu yang sempat terlontar dan memecah suara rintikan hujan. Aku hanya mengangguk dan menikmati setiap tetesnya.
Malam itu, kita semua tertawa saat melihat wajah kelelahan satu sama lain.

Pendekatan itu akhirnya mencapai sebuah status. Perjalanan baru yang akan kita tempuh berdua. Saling merajut kisah setelah sebuah cokelat dengan tulisan indah kamu sodorkan di hadapanku.
Aku bahagia bisa menjadi salah seorang perempuan yang kamu cintai. Yang selalu hadir menemaniku kapan saja.
Selalu ada yang membuat pagiku bahagia saat pesan masuk mendarat di handphoneku. Ucapan selamat pagi yang indah. Sangat istimewa.
Bagaimana mungkin aku tidak mempersiapkan tempat untuk kenyamanan yang sehebat ini?
Sungguh, ini hal mustahil yang terjadi hingga bisa kurasakan di saat ini.

Meski aku kerap sekali bertahan dengan emosiku, berpacu menyuarakan amarahku, bertingkah seperti anak-anak, bahkan kita sempat saling berdiam diri. Menunggu salah satu akan mengulurkan tangan lebih dahulu. Aku dan egoku sangat kuat. Hingga pada akhirnya, lagi lagi kamu yang mengalah untuk setiap hal kecil perselisihan kita.

Aku tak pernah meminta waktu banyakmu untukku, karena aku tau kita semua memiliki kehidupan masing-masing. Kita mempunyai sahabat, teman, saudara, guru juga keluarga. Aku tau akan hal itu.

Hanya saja aku ingin kita bisa menempatkan dan menyisihkan dua jam dalam kurun waktu seminggu. Bukan sehari, tapi seminggu.
Kita jauh? Tidak. Hanya sepuluh menit untuk bisa bertemu.

Sampai pada akhirnya kita beneran jauh. Jarak yang menjadi penghalang rindu yang menggebu. Rasa hendak bersua kerap sekali hadir memecah benakku. Tapi bagaimana caranya?

Aku selalu percaya bahwa komunikasi adalah kunci utama sebuah hubungan. Dan karena itu aku ingin kita selalu menerapkan itu untuk saling mempertahankan hubungan ini. Bicaralah. Meski itu dalam keadaan apapun.
Tiga bulan lamanya sang jarak menjadi perantara bagi kita. Ini sama sekali tidak mengurangi kadar perasaanku padamu. Sama sekali tidak. Bahkan semakin meningkat saat telingaku menangkap suara di seberang telefon. Suara yang mampu meredam rindu yang bergejolak hebat.
Selalu ada rasa kantuk yang menyerang saat aku berusaha untuk menemanimu mengerjakan tugas. Berulang kali kamu bertanya, berulangkali juga aku membohongimu bahwa aku-masih-belum-mengantuk.
Jarak dan sinyal. Dua paket yang tak terpisahkan itu seakan mencoba menghancurkan tembok kokoh yang telah kita bangun bersama.
Aku membenci sinyal. Aku membenci jarak. Namun percayalah, aku adalah seorang pejuang LDR yang tangguh.

Ada tatapan mata yang mendalam yang merasuk dan mencoba menghentikan denyut nadiku. Tatapan kedua mata yang selalu ku nantikan setiap malam.
Mulai hari itu, sinyal dan jarak telah letih menghampiri kita. LDR itu telah usai.
Kita adalah kebersamaan yang dekat.

Walaupun hanya seminggu saja kebersamaan itu hadir untuk kita, lagi-lagi aku harus memasang label sebagai Distancer saat menemanimu di terminal. Melepasmu untuk pulang menemui keluarga di sana. Meskipun ada genangan air yang siap untuk jatuh di ujung mata.

Namun, aku percaya. Jarak jauh itu yang membuat kita semakin terasa dekat.

Hari itu, tepat sebulan semenjak aku menyaksikanmu pergi di terminal, kamu kembali lagi di sini. Mencairkan segala kebekuan yang tertinggal semenjak aku berusaha menepiskan rasa cemas dan rindu itu.
Di bawah sorotan lampu jalanan. Di bawah rintikan hujan yang dengan derasnya mengguyur jalanan kota. Aku dan kamu tengah berteduh di depan emperan toko. Hampir saja kebasahan.
Lagi-lagi hujan menjadi saksi tentang kebersamaan kita. Dan aku berharap agar suatu saat nanti sang hujan dapat mengulas kembali momen indah ketika itu.
Aku pernah melukiskan angan, mengukir impian. Berharap langkah kaki kita mampu beriringan bersama hingga derap kaki kita dapat memecahkan keheningan angkasa. Dengan tawa yang menggelegar, senyuman konyol yang melekat, juga tangan yang saling mengenggam.


Tidak sampai seratus hari setelah hujan dan kita yang berteduh itu, ada hal yang seakan sedang mencoba merayapi  titik kesabaranku. Menguji sampai sebatas apa aku bertahan.
Berkali-kali aku lelah dengan berpura-pura tenang dengan keadaan seperti ini. Hei, itulah hebatnya seorang perempuan. Mampu menutupi keadaan yang seburuk apapun dengan topeng penuh eksrepi bahagia. Seolah sedang baik-baik saja.
Seperti yang sudah pernah ku bilang dahulu, aku sama sekali tak pernah merekrut semua waktumu jika hanya untuk dihabiskan bersamaku. Hanya saja, kita harus saling bisa membagi waktu.
Kenyataannya tak lagi sama. Berbeda 360 derajat.

Tidak ada lagi tawa dan cerita konyol yang memenuhi telingaku. Tidak ada lagi Sabtu-Minggu bersama. Tidak ada lagi curhatan protes, sebal dan lucu yang dulu kerap sekali kita perbincangkan.
Masih kukecap jelas raut wajah terbahak-bahak kita saat menyaksikan aku yang terjatuh ketika mengenakan heels. Aku malu bukan main, sementara kamu tertawa dan kemudian menenangkan rasa maluku.

Percayalah, saat ini aku sudah mulai terbiasa dengan cara seperti ini. Kita yang saling acuh tak acuh.
Aku yang dulu selalu menghela nafas saat tidak ada sms darimu di pagi hari, kini mulai terbiasa. Bukan, bukan aku membalas dendam dengan perlakuanmu itu padaku. Tidak seperti itu.
Hanya saja aku lebih memilih untuk tidak membuat rumit keadaan ini. Itu saja.

Hei, bukankah jarak dan sinyal kini telah menjauh dari kita? Kita sudah terbebas dari dua hal itu bukan?

Namun kenapa aku masih merasa kita adalah jarak yang jauh.
Sangat jauh.
Dan entah untuk yang keberapa kalinya.

Aku akan mengikuti alurmu.


Ah udah ah. Ntar yang baca pada baper.

Share
Tweet
Pin
Share
41 comments
Masih sambungan dari postingan sebelumnya.
Hari itu gue bener-bener lost contact alias nggak ada komunikasi dengan pacar. Dari malam sampai malam lagi. Seharian.
Gue sampe mikir, apa jangan-jangan gue sekarang udah positif jomblo? Gue jomblo? Nggak punya pacar dong? Aaaaaa..
Mengingat sms terakhir kali yang gue layangkan ke pacar yang isinya gue ingin menyudahi hubungan karena sikap ketidakpeduliannya. Gimana enggak peduli, gue ulangtahun masak dia nggak ngingat. Pake acara marah segala.
Oke, gue yang mengambil keputusan maka gue harus berani menerima resikonya. Apapun itu.

Malam harinya gue tenggelam di dalam selimut. Adem ayem.
Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam.
Sambil membaca buku Tere Liye kiriman hadiah dari si anu juga dibarengi chat dengannya.
Kalau nggak salah, obrolan yang kita bahas terakhir kalo nggak salah membahas tentang buku-buku Tere Liye. Gue dikatain kudet karena nggak banyak tau tentang judul buku dari penulis itu. Lah, memang iya sih. Hehee
Chat terhenti saat ibu masuk ke kamar.
  '' Lan, itu di luar ada Lisa. ''
Gue langsung memeriksa chat. Aneh, biasanya Lisa pasti nge chat duluan sebelum pergi ke rumah gue. Chat dari Lisa kosong.
  '' Tumben Lisa datang jam segini, '' ujar gue sambil ngikat rambut dan berjalan keluar kamar. Malam itu gue yang sedang mengenakan celana pendek, baju kaos, dengan krim masker muka yang masih menempel di wajah dan rambut yang acak-acakan karena tiduran tadi dengan pedenya membuka pintu keluar rumah.
Nggak papa deh pake celana pendek, lagian kan yang datang ke rumah juga Lisa. Temen cewek.

Gue langsung saja membuka pintu.
Gue bengong. Nggak ada orang di luar. Jam setengah sembilan di lingkungan rumah gue bener-bener sepi.
Gue sempat memicingkan mata beberapa kali. Memastikan bahwa agak jauh dari rumah gue, ada sebuah motor terparkir. Gue kenal motor itu.
Motor si pacar.
Gue langsung menutup pintu dan kembali ngacir masuk kamar.

Ngapain lagi dia ke sini? Udah gue putusin juga. Huh.

Gue kembali naik ke atas tempat tidur trus selimutan. Melihat itu, ibu langsung masuk ke dalam kamar.
  '' Loh Lan, itu Lisa di luar dari tadi. Kenapa masuk? Kasian dia udah nungguin daritadi. ''
Gue diem mendengar ucapan ibu. Lisa? Nggak ada Lisa.
Apa yang ibu lihat di luar tadi bukan beneran Lisa? Penampakan Lisa?
Tapi kenapa ada motor si pacar di luar? Apa jangan-jangan Lisa jadian sama pacar gue?
Hah? Kok bisaa??

Gue makin kacau. Pikiran dan pertanyaan bodoh masuk ke kepala gue.
  '' Ganti baju sana. Pake baju yang panjang. Udah malam, dingin. ''
Gue langsung buru-buru ganti baju dan nggak lupa juga mencuci krim masker wajah yang masih melekat. Di dalam kamar mandi gue hampir saja kembali mewek. Gimana kalau itu beneran si pacar yang datang?
Buat apa dia datang? Kemarin juga udah lupa dengan tanggal ulangtahun gue, nggak ada ngucapin juga. Huuhu~

Selesai membasuh muka, gue langsung berjalan pelan ke ruang tamu. Membuka pintu dan TARAAAA
Gue kaget.
Si pacar udah berdiri sambil senyum dengan memegang sebuah kue dengan lilin menyala di atasnya.
Antara masih kesel, kaget dan pengen ketawa. Gue langsung mundur sambil menyandarkan badan pada daun pintu.
  '' AAAA JAHAT ! '' gue teriak kenceng.
  '' Kenapa jahat? Ini. Selamat ulangtahun ya? ''
Gue tetep cemberut. Masih kesel. Gue memperhatikan lekat-lekat lilin yang ada pada kuenya.

ASTAGAH, INI KENAPA LILINNYA ANGKA 20 ? UMUR GUE KAN MASIH 19. HUWAAA

Sumpah gaes, gue nggak habis fikir. Ini maksudnya ulangtahun gue hari ini dengan tahun depan di rapel atau gimana nih?
Muka gue tua apa gimana?

  '' Hehee, lupa lupa. Maaf ya. Kirain umurnya 20 tahun. ''

Gue hanya cengengesan sambil buru-buru menelan ludah. Laper. Lama amat kuenya di potong. Pisau mana pisau?

Dan malam itu, gue baru tau bahwa semua kejadian ini adalah skenario dari kakak, ibu dan si pacar. Dengan penuh semangat ibu menceritakan gimana keadaan gue kemarin.
Ngambek seharian, di kamar mulu, kesel sendiri. hahaa
Raisa malu deh.



Diumur yang semakin tua ini gue enggak banyak berharap apa-apa. Terimakasih untuk teman-teman yang udah mendoakan yang terbaik buat gue.
Dan gue bener-bener seneng saat ada satu doa yang baru kali ini gue denger.
  '' Semoga dream notenya cepat terwujud. Amin ''
Doa yang langka banget ini :)) Ada yang mengingatkan gue dengan dream note.

Dengan doa itu, gue jadi lebih semangat untuk melakukan kegiatan demi terwujudnya semua list yang menjadi dream note gue selama ini.
Tengkiyu beh.





Maafkan kuenya yang boros umur setahun. Percayalah, gue masih belasan kok.
Maafkan mata sembab gue ya. Kemarin habis nangis semalaman. Gimana sipit mata gue, udah kayak orang china belum?
Maafkan  foto bawah paling kanan ya.

 Doain gue panjang umur, biar besok-besok bisa ulangtahun lagi. Yuhuu
Tengkiyu. Bye :)


-__-



Gaya udah sok feminim-able. Enggak sadar kalo satu kaki masih naik ke sofa.
Maaf ya. Gue kadang memang gitu. Suka lupa dengan jenis kelamin sendiri.



blur. Foto gak jelas. Difotoin adik. Lupa ini gue kenapa bisa ekspresi kayak gini.
Monyong segala. -_-


Share
Tweet
Pin
Share
37 comments
Older Posts

Rahayu Wulandari

Rahayu Wulandari
Atlet renang terhebat saat menuju ovum dan berhasil mengalahkan milyaran peserta lainnya. Perempuan yang doyan nulis curhat.

Teman-teman

Yang Paling Sering Dibaca

  • ADAM
  • Ciri-ciri cowok yang beneran serius
  • Pelecehan
  • 5 Tipe Cowok Cuek

Arsip Blog

  • ▼  2020 (5)
    • ▼  September (1)
      • Perjalanan Baru
    • ►  June (1)
    • ►  April (3)
  • ►  2019 (5)
    • ►  October (1)
    • ►  July (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2017 (14)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  July (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (5)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (5)
    • ►  March (5)
    • ►  February (8)
    • ►  January (7)
  • ►  2015 (138)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (8)
    • ►  September (12)
    • ►  August (12)
    • ►  July (6)
    • ►  June (9)
    • ►  May (10)
    • ►  April (15)
    • ►  March (21)
    • ►  February (11)
    • ►  January (24)
  • ►  2014 (18)
    • ►  December (10)
    • ►  November (6)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates