Ini cerita bersambung project WIDY yang sudah pernah gue bahas sebelumnya di di sini. Atau bisa lebih jelasnya bisa di baca di postingan Yoga yang ini.
Selamat membaca :)
***
Setelah mata perkuliahan usai, Agus seperti biasanya langsung mampir ke cafe di dekat kampus.
Widy Cafe yang letaknya cukup dekat dengan kampus menjadi pilihan Agus untuk bersantai sepulang kuliah. Bukan hanya bersantai, melainkan lelaki yang berparas cukup tampan bernama Agus, akhir-akhir ini sedang mempunyai maksud lain.
Selamat membaca :)
***
Setelah mata perkuliahan usai, Agus seperti biasanya langsung mampir ke cafe di dekat kampus.
Widy Cafe yang letaknya cukup dekat dengan kampus menjadi pilihan Agus untuk bersantai sepulang kuliah. Bukan hanya bersantai, melainkan lelaki yang berparas cukup tampan bernama Agus, akhir-akhir ini sedang mempunyai maksud lain.
Ya, Agus sedang
keranjingan memerhatikan seorang perempuan cantik yang juga sering ke Widy Cafe
tersebut.
Anehnya, ia tak
pernah lelah untuk melakukannya—hanya memandangi seorang gadis dari kejauhan—hampir
setiap hari. Kira-kira sudah hampir sebulan Agus melakukan aktivitas ini.
Sayangnya, ia belum kenal sama sekali dengan gadis berwajah oriental itu.
Lebih tepatnya Agus
terlalu cemen untuk mengajaknya berkenalan.
Namun, mulai hari
ini Agus berniat memberanikan diri mendekati perempuan itu. Karena hari ini
wanita itu sedang cantik-cantiknya. Dan Agus merasa waktunya tepat.
Gadis itu
mengenakan kaos hitam bertuliskan “I Love Indonesia” yang membuat kulit
putihnya semakin terpancar, rambut panjangnya yang bergelombang itu dibiarkan
terurai, dengan bawahan celana jins biru, dan sepatu flat senada dengan warna
kaosnya.
Cantiknya luar biasa. Mirip-mirip artis FTV. Pikir Agus.
Agus sudah tak tahan lagi untuk menghampirinya. Ia bangkit dari tempat duduknya menuju ke tempat perempuan itu. Tapi, baru berjalan beberapa meter saja Agus merasakan kakinya berat. Seperti memakai sepatu yang beratnya 100 kg. Dengan perlahan-lahan ia meneruskan langkahnya.
Dan akhirnya... ia
pun sampai.
Namun, perasaan
grogi Agus semakin menjadi-jadi. Jantungnya seakan-akan mau meledak.
Seolah-olah mau loncat dari dadanya dan muncrat ke mana-mana.
Agus menghela napas.
Kemudian menghembuskannya perlahan-lahan, dan berkata, "Lu sering ke sini, ya?" tanya Agus ke gadis cantik itu. Perempuan itu tampak kebingungan dan memandangi Agus dengan tatapan tidak biasa. Dia merasa aneh akan kalimat yang dilontarkan Agus.
Kemudian menghembuskannya perlahan-lahan, dan berkata, "Lu sering ke sini, ya?" tanya Agus ke gadis cantik itu. Perempuan itu tampak kebingungan dan memandangi Agus dengan tatapan tidak biasa. Dia merasa aneh akan kalimat yang dilontarkan Agus.
"Iya. Kok lu
tau, sih?" tanya si gadis cantik.
Kalimat “Kok tau,
sih?” ini biasanya akan direspons oleh pria-pria dengan gombal. Bagusnya, Agus
tidak menjawab dengan gombal, “Iya, soalnya bapak aku kerja di sini.”
"Gue juga
sering ke sini soalnya. Terus gue merasa sering ngelihat lu gitu. Oiya, gue
Agus. Btw, nama lu siapa?" Agus menyodorkan tangan berniat mengajak
kenalan.
Tak perlu menunggu
waktu lama, gadis berwajah oriental itu langsung menyambut uluran tangan Agus.
"Mei,"
jawabnya, ditutup dengan senyum yang menghiasi wajah pualamnya. Agus hanya bisa
terpaku. Tangannya membeku. Bibirnya kelu.
Ada getar di dada
Agus. Hidungnya mulai kembang kempis. Sesekali ia memegang dadanya yang terasa
bergetar dengan tangan kirinya. Yang ternyata itu HP-nya sendiri. Notifikasi
grup kelas yang kurang penting.
Memang... grogi itu
terkadang bikin bodoh.
Rileks, Gus. Rileks. Batin Agus menenangkan dirinya.
"Lu sendirian
aja nih? Gue boleh duduk di sini?"
Mei berpikir
sejenak, kemudian tersenyum dan bilang, "Boleh-boleh aja. Silahkan."
Tanpa berpikir panjang, Agus langsung kembali ke mejanya untuk mengambil tas dan memindahkan segelas minuman pesanannya ke meja wanita yang baru saja ia ajak berkenalan.
Setelah duduk
berdua, suasana malah hening. Mei sibuk membaca sebuah novel yang memang dari
tadi (sebelum Agus mengajaknya berkenalan) ia baca. Agus sendiri juga bingung harus
memulai obrolan dari mana.
Untuk meredakan
rasa gugupnya, Agus mulai mengaduk-aduk milkshake cokelat di hadapannya.
Sesekali ia melirik Mei, tentunya secara diam-diam.
Dia terlalu cantik, bikin gue makin grogi. Batin Agus.
Untuk orang berkepribadian
introvert seperti Agus, rasanya sangat sulit memulai obrolan dengan orang lain.
Apalagi dengan seorang wanita. Terlebih-lebih lagi, dia Mei. Wanita yang dia
kagumi sejak beberapa minggu yang lalu.
Lalu Agus mengalihkan pandangannya ke jalanan di luar cafe. Ia kemudian berkata, "Kapan ya, Jakarta bebas macet?"
Lagi-lagi Mei
memandangi Agus dengan tidak biasa.
Mei merasa Agus ini orang yang sangat aneh.
"Entahlah. Memangnya kenapa, Gus? Lu itu seperti pemerhati jalanan Jakarta, ya? Kayak orang kurang kerjaan," balas Mei dengan senyumnya.
Mei merasa Agus ini orang yang sangat aneh.
"Entahlah. Memangnya kenapa, Gus? Lu itu seperti pemerhati jalanan Jakarta, ya? Kayak orang kurang kerjaan," balas Mei dengan senyumnya.
Skakmat.
Agus bingung harus
merespons apa.
***