Cinta tak pernah lelah menjatuhkan hatinya kepada setiap insan.
Seperti kita ketika itu.
Akhir tahunku yang begitu hancur sempat tersusun kembali saat aku mengenalmu. Gelap hitamku perlahan membias dan memantulkan cahaya putih pada kehidupanku. Pada hatiku.
Awalnya aku sempat menolak untuk berkenalan dengan lelaki lain. Apalagi dengan kamu. Seperti yang aku tau, kamu adalah orang yang sibuk. Kesana-kesini dengan berbagai kegiatan, bertemu dengan banyak orang, berinteraksi dengan banyak kepala, dan karena itu aku sempat mengaca pada diriku. Hingga aku merasa aku adalah satu diantara banyak mereka yang ingin mengenal dekat tentangmu. Mustahil.
Tetapi kenyataannya berbeda.
Aku masih ingat saat pertama kali kedua mata itu saling menatap, saat lontaran kalimat basa-basi yang pernah kita ucapkan saat di awal perkenalan. Saat tanya-jawab yang kita perbicangkan di depan rumahku. Dan kita langsung berlari masuk ke rumah saat hujan turun membasahi permukaan tanah.
Kata orang, hujan itu anugerah.
Seperti perkenalan kita dengan obrolan itu. Adalah anugerah.
Perbincangan itu berakhir dengan saling bertukaran nomer handphone. Akhir perbincangan yang sangat indah.
Aku hampir meloncat kegirangan tak terkendali saat melihat sebuah pesan mendarat di handphoneku. Dari kamu. Kamu yang mencoba bertanya tentang kegiatanku, sedang apa dan berbagai rentetan obrolan lainnya. Malam itu, pendekatan kita di mulai.
Selalu saja ada senyum mengambang yang terlukis di sudut bibirku. Ada harap-harap cemas saat aku mengetahui belum ada pesan masuk darimu untukku.
Ketahuilah, aku malu untuk memulai. Karena aku ingin kau yang mendahulu dan percayalah karena aku akan siap mengikuti alurmu.
Masih teringat jelas putaran masa itu. Saat aku dengan keadaan yang mendadak mengajakmu pergi bersama kakakku dan kekasihnya. Saat itu kita masih kaku. Enggan untuk menatap lebih lama. Malu. Lebih tepatnya aku takut kalau kamu bisa menebak sorot mataku yang mengedarkan pandangan bahwa aku telah jatuh cinta.
Perjalanan itu menempuh waktu dua jam. Itu berarti aku akan berada selama dua jam di belakangmu. Berhadapan dengan punggungmu. Punggung yang menjadi saksi bahwa ada senyum bahagia yang tertanam ketika aku bisa berada sedekat ini denganmu. Tak jarang sekali helmku terbentur dengan helmmu saat jalanan yang tidak rata kita lewati. Terdengar seperti benturan yang lucu sekali.
Saat itu, aku bisa melihatmu dengan penuh kelelahan menungguku yang berputar tidak jelas di Gramedia. Bersabar menantiku yang heboh kegirangan diantara banyak tumpukan buku. Aku tenggelam berjam-jam lamanya dikerumunan buku-buku itu. Setiap sudut ruangan bahkan lantai juga sudah ku jelajahi demi mencari sebuah buku. Tak peduli penat yang mulai merambati tulang kakiku.
Hampir dua jam aku berkeliling di dalamnya, dan saat aku menemuimu aku terkejut. Kamu masih tetap berdiri dan membaca buku di depan rak yang sama seperti saat dua jam yang lalu. Saat kita pertama kali sampai di sini.
Kamu juga sabar saat menungguku mencari sepatu. Mengitari mall yang penuh banyak orang. Hingga akhirnya kita kelelahan dan kamu mengajakku untuk beristirahat dengan segelas cappuccino. Aku bisa bernafas lega bersamaan dengan tegukan cappuccino dingin itu. Juga saat posisi kita yang memungkinkan aku untuk berhadapan dengan wajahmu, bukan lagi dengan punggungmu.
Ah, momen itu terasa jelas terngiang di benakku.
Magrib itu, hujan turun rintik-rintik. Lagi-lagi hujan yang menyaksikan kebersamaan kita.
'' Apa kakak terlalu kencang bawa motornya? Kalau iya bilang saja ya. ''
Kalimat itu yang sempat terlontar dan memecah suara rintikan hujan. Aku hanya mengangguk dan menikmati setiap tetesnya.
Malam itu, kita semua tertawa saat melihat wajah kelelahan satu sama lain.
Pendekatan itu akhirnya mencapai sebuah status. Perjalanan baru yang akan kita tempuh berdua. Saling merajut kisah setelah sebuah cokelat dengan tulisan indah kamu sodorkan di hadapanku.
Aku bahagia bisa menjadi salah seorang perempuan yang kamu cintai. Yang selalu hadir menemaniku kapan saja.
Selalu ada yang membuat pagiku bahagia saat pesan masuk mendarat di handphoneku. Ucapan selamat pagi yang indah. Sangat istimewa.
Bagaimana mungkin aku tidak mempersiapkan tempat untuk kenyamanan yang sehebat ini?
Sungguh, ini hal mustahil yang terjadi hingga bisa kurasakan di saat ini.
Meski aku kerap sekali bertahan dengan emosiku, berpacu menyuarakan amarahku, bertingkah seperti anak-anak, bahkan kita sempat saling berdiam diri. Menunggu salah satu akan mengulurkan tangan lebih dahulu. Aku dan egoku sangat kuat. Hingga pada akhirnya, lagi lagi kamu yang mengalah untuk setiap hal kecil perselisihan kita.
Aku tak pernah meminta waktu banyakmu untukku, karena aku tau kita semua memiliki kehidupan masing-masing. Kita mempunyai sahabat, teman, saudara, guru juga keluarga. Aku tau akan hal itu.
Hanya saja aku ingin kita bisa menempatkan dan menyisihkan dua jam dalam kurun waktu seminggu. Bukan sehari, tapi seminggu.
Kita jauh? Tidak. Hanya sepuluh menit untuk bisa bertemu.
Sampai pada akhirnya kita beneran jauh. Jarak yang menjadi penghalang rindu yang menggebu. Rasa hendak bersua kerap sekali hadir memecah benakku. Tapi bagaimana caranya?
Aku selalu percaya bahwa komunikasi adalah kunci utama sebuah hubungan. Dan karena itu aku ingin kita selalu menerapkan itu untuk saling mempertahankan hubungan ini. Bicaralah. Meski itu dalam keadaan apapun.
Tiga bulan lamanya sang jarak menjadi perantara bagi kita. Ini sama sekali tidak mengurangi kadar perasaanku padamu. Sama sekali tidak. Bahkan semakin meningkat saat telingaku menangkap suara di seberang telefon. Suara yang mampu meredam rindu yang bergejolak hebat.
Selalu ada rasa kantuk yang menyerang saat aku berusaha untuk menemanimu mengerjakan tugas. Berulang kali kamu bertanya, berulangkali juga aku membohongimu bahwa aku-masih-belum-mengantuk.
Jarak dan sinyal. Dua paket yang tak terpisahkan itu seakan mencoba menghancurkan tembok kokoh yang telah kita bangun bersama.
Aku membenci sinyal. Aku membenci jarak. Namun percayalah, aku adalah seorang pejuang LDR yang tangguh.
Ada tatapan mata yang mendalam yang merasuk dan mencoba menghentikan denyut nadiku. Tatapan kedua mata yang selalu ku nantikan setiap malam.
Mulai hari itu, sinyal dan jarak telah letih menghampiri kita. LDR itu telah usai.
Kita adalah kebersamaan yang dekat.
Walaupun hanya seminggu saja kebersamaan itu hadir untuk kita, lagi-lagi aku harus memasang label sebagai Distancer saat menemanimu di terminal. Melepasmu untuk pulang menemui keluarga di sana. Meskipun ada genangan air yang siap untuk jatuh di ujung mata.
Namun, aku percaya. Jarak jauh itu yang membuat kita semakin terasa dekat.
Hari itu, tepat sebulan semenjak aku menyaksikanmu pergi di terminal, kamu kembali lagi di sini. Mencairkan segala kebekuan yang tertinggal semenjak aku berusaha menepiskan rasa cemas dan rindu itu.
Di bawah sorotan lampu jalanan. Di bawah rintikan hujan yang dengan derasnya mengguyur jalanan kota. Aku dan kamu tengah berteduh di depan emperan toko. Hampir saja kebasahan.
Lagi-lagi hujan menjadi saksi tentang kebersamaan kita. Dan aku berharap agar suatu saat nanti sang hujan dapat mengulas kembali momen indah ketika itu.
Aku pernah melukiskan angan, mengukir impian. Berharap langkah kaki kita mampu beriringan bersama hingga derap kaki kita dapat memecahkan keheningan angkasa. Dengan tawa yang menggelegar, senyuman konyol yang melekat, juga tangan yang saling mengenggam.
Tidak sampai seratus hari setelah hujan dan kita yang berteduh itu, ada hal yang seakan sedang mencoba merayapi titik kesabaranku. Menguji sampai sebatas apa aku bertahan.
Berkali-kali aku lelah dengan berpura-pura tenang dengan keadaan seperti ini. Hei, itulah hebatnya seorang perempuan. Mampu menutupi keadaan yang seburuk apapun dengan topeng penuh eksrepi bahagia. Seolah sedang baik-baik saja.
Seperti yang sudah pernah ku bilang dahulu, aku sama sekali tak pernah merekrut semua waktumu jika hanya untuk dihabiskan bersamaku. Hanya saja, kita harus saling bisa membagi waktu.
Kenyataannya tak lagi sama. Berbeda 360 derajat.
Tidak ada lagi tawa dan cerita konyol yang memenuhi telingaku. Tidak ada lagi Sabtu-Minggu bersama. Tidak ada lagi curhatan protes, sebal dan lucu yang dulu kerap sekali kita perbincangkan.
Masih kukecap jelas raut wajah terbahak-bahak kita saat menyaksikan aku yang terjatuh ketika mengenakan heels. Aku malu bukan main, sementara kamu tertawa dan kemudian menenangkan rasa maluku.
Percayalah, saat ini aku sudah mulai terbiasa dengan cara seperti ini. Kita yang saling acuh tak acuh.
Aku yang dulu selalu menghela nafas saat tidak ada sms darimu di pagi hari, kini mulai terbiasa. Bukan, bukan aku membalas dendam dengan perlakuanmu itu padaku. Tidak seperti itu.
Hanya saja aku lebih memilih untuk tidak membuat rumit keadaan ini. Itu saja.
Hei, bukankah jarak dan sinyal kini telah menjauh dari kita? Kita sudah terbebas dari dua hal itu bukan?
Namun kenapa aku masih merasa kita adalah jarak yang jauh.
Sangat jauh.
Dan entah untuk yang keberapa kalinya.
Aku akan mengikuti alurmu.
Ah udah ah. Ntar yang baca pada baper.
Seperti kita ketika itu.
Akhir tahunku yang begitu hancur sempat tersusun kembali saat aku mengenalmu. Gelap hitamku perlahan membias dan memantulkan cahaya putih pada kehidupanku. Pada hatiku.
Awalnya aku sempat menolak untuk berkenalan dengan lelaki lain. Apalagi dengan kamu. Seperti yang aku tau, kamu adalah orang yang sibuk. Kesana-kesini dengan berbagai kegiatan, bertemu dengan banyak orang, berinteraksi dengan banyak kepala, dan karena itu aku sempat mengaca pada diriku. Hingga aku merasa aku adalah satu diantara banyak mereka yang ingin mengenal dekat tentangmu. Mustahil.
Tetapi kenyataannya berbeda.
Aku masih ingat saat pertama kali kedua mata itu saling menatap, saat lontaran kalimat basa-basi yang pernah kita ucapkan saat di awal perkenalan. Saat tanya-jawab yang kita perbicangkan di depan rumahku. Dan kita langsung berlari masuk ke rumah saat hujan turun membasahi permukaan tanah.
Kata orang, hujan itu anugerah.
Seperti perkenalan kita dengan obrolan itu. Adalah anugerah.
Perbincangan itu berakhir dengan saling bertukaran nomer handphone. Akhir perbincangan yang sangat indah.
Aku hampir meloncat kegirangan tak terkendali saat melihat sebuah pesan mendarat di handphoneku. Dari kamu. Kamu yang mencoba bertanya tentang kegiatanku, sedang apa dan berbagai rentetan obrolan lainnya. Malam itu, pendekatan kita di mulai.
Selalu saja ada senyum mengambang yang terlukis di sudut bibirku. Ada harap-harap cemas saat aku mengetahui belum ada pesan masuk darimu untukku.
Ketahuilah, aku malu untuk memulai. Karena aku ingin kau yang mendahulu dan percayalah karena aku akan siap mengikuti alurmu.
Masih teringat jelas putaran masa itu. Saat aku dengan keadaan yang mendadak mengajakmu pergi bersama kakakku dan kekasihnya. Saat itu kita masih kaku. Enggan untuk menatap lebih lama. Malu. Lebih tepatnya aku takut kalau kamu bisa menebak sorot mataku yang mengedarkan pandangan bahwa aku telah jatuh cinta.
Perjalanan itu menempuh waktu dua jam. Itu berarti aku akan berada selama dua jam di belakangmu. Berhadapan dengan punggungmu. Punggung yang menjadi saksi bahwa ada senyum bahagia yang tertanam ketika aku bisa berada sedekat ini denganmu. Tak jarang sekali helmku terbentur dengan helmmu saat jalanan yang tidak rata kita lewati. Terdengar seperti benturan yang lucu sekali.
Saat itu, aku bisa melihatmu dengan penuh kelelahan menungguku yang berputar tidak jelas di Gramedia. Bersabar menantiku yang heboh kegirangan diantara banyak tumpukan buku. Aku tenggelam berjam-jam lamanya dikerumunan buku-buku itu. Setiap sudut ruangan bahkan lantai juga sudah ku jelajahi demi mencari sebuah buku. Tak peduli penat yang mulai merambati tulang kakiku.
Hampir dua jam aku berkeliling di dalamnya, dan saat aku menemuimu aku terkejut. Kamu masih tetap berdiri dan membaca buku di depan rak yang sama seperti saat dua jam yang lalu. Saat kita pertama kali sampai di sini.
Kamu juga sabar saat menungguku mencari sepatu. Mengitari mall yang penuh banyak orang. Hingga akhirnya kita kelelahan dan kamu mengajakku untuk beristirahat dengan segelas cappuccino. Aku bisa bernafas lega bersamaan dengan tegukan cappuccino dingin itu. Juga saat posisi kita yang memungkinkan aku untuk berhadapan dengan wajahmu, bukan lagi dengan punggungmu.
Ah, momen itu terasa jelas terngiang di benakku.
Magrib itu, hujan turun rintik-rintik. Lagi-lagi hujan yang menyaksikan kebersamaan kita.
'' Apa kakak terlalu kencang bawa motornya? Kalau iya bilang saja ya. ''
Kalimat itu yang sempat terlontar dan memecah suara rintikan hujan. Aku hanya mengangguk dan menikmati setiap tetesnya.
Malam itu, kita semua tertawa saat melihat wajah kelelahan satu sama lain.
Pendekatan itu akhirnya mencapai sebuah status. Perjalanan baru yang akan kita tempuh berdua. Saling merajut kisah setelah sebuah cokelat dengan tulisan indah kamu sodorkan di hadapanku.
Aku bahagia bisa menjadi salah seorang perempuan yang kamu cintai. Yang selalu hadir menemaniku kapan saja.
Selalu ada yang membuat pagiku bahagia saat pesan masuk mendarat di handphoneku. Ucapan selamat pagi yang indah. Sangat istimewa.
Bagaimana mungkin aku tidak mempersiapkan tempat untuk kenyamanan yang sehebat ini?
Sungguh, ini hal mustahil yang terjadi hingga bisa kurasakan di saat ini.
Meski aku kerap sekali bertahan dengan emosiku, berpacu menyuarakan amarahku, bertingkah seperti anak-anak, bahkan kita sempat saling berdiam diri. Menunggu salah satu akan mengulurkan tangan lebih dahulu. Aku dan egoku sangat kuat. Hingga pada akhirnya, lagi lagi kamu yang mengalah untuk setiap hal kecil perselisihan kita.
Aku tak pernah meminta waktu banyakmu untukku, karena aku tau kita semua memiliki kehidupan masing-masing. Kita mempunyai sahabat, teman, saudara, guru juga keluarga. Aku tau akan hal itu.
Hanya saja aku ingin kita bisa menempatkan dan menyisihkan dua jam dalam kurun waktu seminggu. Bukan sehari, tapi seminggu.
Kita jauh? Tidak. Hanya sepuluh menit untuk bisa bertemu.
Sampai pada akhirnya kita beneran jauh. Jarak yang menjadi penghalang rindu yang menggebu. Rasa hendak bersua kerap sekali hadir memecah benakku. Tapi bagaimana caranya?
Aku selalu percaya bahwa komunikasi adalah kunci utama sebuah hubungan. Dan karena itu aku ingin kita selalu menerapkan itu untuk saling mempertahankan hubungan ini. Bicaralah. Meski itu dalam keadaan apapun.
Tiga bulan lamanya sang jarak menjadi perantara bagi kita. Ini sama sekali tidak mengurangi kadar perasaanku padamu. Sama sekali tidak. Bahkan semakin meningkat saat telingaku menangkap suara di seberang telefon. Suara yang mampu meredam rindu yang bergejolak hebat.
Selalu ada rasa kantuk yang menyerang saat aku berusaha untuk menemanimu mengerjakan tugas. Berulang kali kamu bertanya, berulangkali juga aku membohongimu bahwa aku-masih-belum-mengantuk.
Jarak dan sinyal. Dua paket yang tak terpisahkan itu seakan mencoba menghancurkan tembok kokoh yang telah kita bangun bersama.
Aku membenci sinyal. Aku membenci jarak. Namun percayalah, aku adalah seorang pejuang LDR yang tangguh.
Ada tatapan mata yang mendalam yang merasuk dan mencoba menghentikan denyut nadiku. Tatapan kedua mata yang selalu ku nantikan setiap malam.
Mulai hari itu, sinyal dan jarak telah letih menghampiri kita. LDR itu telah usai.
Kita adalah kebersamaan yang dekat.
Walaupun hanya seminggu saja kebersamaan itu hadir untuk kita, lagi-lagi aku harus memasang label sebagai Distancer saat menemanimu di terminal. Melepasmu untuk pulang menemui keluarga di sana. Meskipun ada genangan air yang siap untuk jatuh di ujung mata.
Namun, aku percaya. Jarak jauh itu yang membuat kita semakin terasa dekat.
Hari itu, tepat sebulan semenjak aku menyaksikanmu pergi di terminal, kamu kembali lagi di sini. Mencairkan segala kebekuan yang tertinggal semenjak aku berusaha menepiskan rasa cemas dan rindu itu.
Di bawah sorotan lampu jalanan. Di bawah rintikan hujan yang dengan derasnya mengguyur jalanan kota. Aku dan kamu tengah berteduh di depan emperan toko. Hampir saja kebasahan.
Lagi-lagi hujan menjadi saksi tentang kebersamaan kita. Dan aku berharap agar suatu saat nanti sang hujan dapat mengulas kembali momen indah ketika itu.
Aku pernah melukiskan angan, mengukir impian. Berharap langkah kaki kita mampu beriringan bersama hingga derap kaki kita dapat memecahkan keheningan angkasa. Dengan tawa yang menggelegar, senyuman konyol yang melekat, juga tangan yang saling mengenggam.
Tidak sampai seratus hari setelah hujan dan kita yang berteduh itu, ada hal yang seakan sedang mencoba merayapi titik kesabaranku. Menguji sampai sebatas apa aku bertahan.
Berkali-kali aku lelah dengan berpura-pura tenang dengan keadaan seperti ini. Hei, itulah hebatnya seorang perempuan. Mampu menutupi keadaan yang seburuk apapun dengan topeng penuh eksrepi bahagia. Seolah sedang baik-baik saja.
Seperti yang sudah pernah ku bilang dahulu, aku sama sekali tak pernah merekrut semua waktumu jika hanya untuk dihabiskan bersamaku. Hanya saja, kita harus saling bisa membagi waktu.
Kenyataannya tak lagi sama. Berbeda 360 derajat.
Tidak ada lagi tawa dan cerita konyol yang memenuhi telingaku. Tidak ada lagi Sabtu-Minggu bersama. Tidak ada lagi curhatan protes, sebal dan lucu yang dulu kerap sekali kita perbincangkan.
Masih kukecap jelas raut wajah terbahak-bahak kita saat menyaksikan aku yang terjatuh ketika mengenakan heels. Aku malu bukan main, sementara kamu tertawa dan kemudian menenangkan rasa maluku.
Percayalah, saat ini aku sudah mulai terbiasa dengan cara seperti ini. Kita yang saling acuh tak acuh.
Aku yang dulu selalu menghela nafas saat tidak ada sms darimu di pagi hari, kini mulai terbiasa. Bukan, bukan aku membalas dendam dengan perlakuanmu itu padaku. Tidak seperti itu.
Hanya saja aku lebih memilih untuk tidak membuat rumit keadaan ini. Itu saja.
Hei, bukankah jarak dan sinyal kini telah menjauh dari kita? Kita sudah terbebas dari dua hal itu bukan?
Namun kenapa aku masih merasa kita adalah jarak yang jauh.
Sangat jauh.
Dan entah untuk yang keberapa kalinya.
Aku akan mengikuti alurmu.
Ah udah ah. Ntar yang baca pada baper.