• HOME
  • ABOUT ME
  • CONTACT
  • WIRDY'S PROJECT

Rahayu Wulandari Ibrahimelya

Daripada tawuran, mending kita curhat-curhatan




Di pertengahan bulan Agustus tahun lalu, gue berkenalan dengan seorang lelaki melalu dunia maya. Lelaki itu seorang blogger. Hmm mungkin diantara teman-teman sudah ada yang tau dengan lelaki tersebut. Ia juga sempat meramaikan kotak komentar di blog ini dengan berbalas komentar yang super aneh. Yang anehnya gue dengan senang hati membalas komentar anehnya. Berarti gue yang lebih aneh. Okesip.

Chat yang awalnya hanya bermula di hangout gmail perlahan beralih pada chat line.
Gue mulai mengenal siapa dia dan bagaimana kesehariannya. Tak jarang di setiap harinya kami selalu berbagi cerita yang kami alami masing-masing. Cerita apapun itu. Mulai dari cerita ngeselin, cerita bahagia, cerita random, cerita kebegoan masing-masing, cerita nggak penting, cerita nggak penting yang sebenernya nggak penting untuk diceritain, cerita nggak penting dan nggak ada faedahnya sama sekali dan berbagai cerita absurd lainnya.

Semenjak kenal dengan lelaki itu, gue perlahan mulai membuka diri. 

Jujur, gue seorang introvert. Meskipun di dalam lingkup keluarga sendiri. Gue nggak bakal membuka mulut dan cerita apapun tanpa ada yang bertanya. Gue nggak bakal berani membuka sebuah obrolan tanpa ada yang mendahului. Gue nggak bisa mengangkat topik pembicaraan untuk dijadikan bahan obrolan. Gue nggak bisa.
Apapun yang gue alami, gue selalu memendam itu sendirian. Gue nggak berani bercerita ke Ayah Ibu di rumah. Baik itu hal yang menyenangkan maupun tidak.

Karena itu, gue lebih memilih untuk menulis apa yang gue rasakan, unek-unek amarah  pada sebuah binder cokelat milik gue.

Gue nggak pernah punya teman cerita.
Maksudnya, gue nggak pernah punya teman yang bisa menerima segala cerita gue dengan respon yang menurut gue nyaman.

Dan dengan lelaki itu, gue mulai menyibakkan diri dari sosok Wulan yang introvert. Gue dengan mudahnya bercerita apapun dengan lelaki itu. Ada perasaan lega setiap kali gue selesai bercerita dan mendapatkan respon darinya. Lega kayak habis boker di jamban.

Itu artinya dia jamban. Eh enggak gitu.

Tapi memang iya sih. Jamban.


Gue nggak pernah menemukan teman ngobrol yang bisa senyaman ini. Apakah ini yang dinamakan teman-ngobrol-nyaman-zone?
HALAH.


Dengan beberapa lelaki yang pernah hadir mengisi hati gue sebelum pada akhirnya mereka tidak hanya mengisi tetapi juga menyakiti. Tsadeeesst.
Gue nggak pernah bisa seterbuka itu dengan para mantan gue yang pernah khilaf jadi pacar gue ketika itu. Hanya sebatas, kamu pacar aku dan aku pacar kamu. Hanya itu. Gue nggak pernah bercerita banyak tentang keseharian gue dengan mereka.
Iya. Gue seaneh itu.

Lelaki itu tidak hanya membuat gue menjadi orang yang terbuka, ia juga bisa membuat gue ngakak bodoh nggak jelas di tengah malam. Cekikikan sendiri dengan mata yang menatap layar handphone. Senyam-senyum sendiri sambil bergumul di dalam selimut.

Lelaki itu juga membuat gue yang ketika itu sempat kelabakan dengan jadwal ujian semester dan jadwal kerja yang melelahkan, menjadi kembali semangat. Ia selalu mengingatkan gue untuk membawa modul ataupun catatan kuliah untuk dibaca-baca di jam istirahat kantor. Tidak hanya itu, ia juga mengajak gue untuk menyelesaikan kisi-kisi soal matematika ekonomi bersama. Dan kemudian ia mengirim foto cara dan hasil penyelesaian soal tersebut. Gue juga mengirim hasil penyelesaian untuk menyocokkan jawaban.

Kalau nggak salah, di bulan November tahun lalu ia sempat bercanda akan rencananya untuk datang ke rumah gue. Ke Pekanbaru. Riau. Di pulau Sumatera.
Mengingat gue dan dia berada di pulau yang berbeda, gue hanya memberi respon biasa dengan ucapannya yang menurut gue itu adalah sebuah candaan.

Tepat di tanggal 24 Februari, menjelang siang hari. Ia mengirimkan foto bukti pembayaran atas pembelian tiket ke gue.

Asli.

Gue.

Terharu.


Gue nangis di ruangan kantor.
Gue nggak tau harus bagaimana mengungkapkan kebahagian yang gue rasakan ketika itu.
Intinya. Gue terharu atas sebuah keputusan penuh perjuangan yang telah ia ambil.



                              



Jumat, 25 Maret 2016

Hari ini hari libur. Hari yang selalu gue nantikan kehadirannya. Jarang-jarang bisa dapet libur gini. Hari ini, lelaki yang pernah gue ceritakan di sini akan tiba dan mendarat di bandara SSK II. Sebelumnya gue sudah mengatakan kalo gue nggak bisa menjemputnya di bandara.

Darma akan datang ke Pekanbaru bersama dengan Ayahnya.

Mungkin bakal ada yang bertanya mengapa Darma datang bersama dengan Ayahnya. Melepas anak sendiri tanpa khawatir untuk pergi jauh sampai menyebrangi pulau itu menurut gue suatu tindakan yang bodoh.
Untungnya, Ayah Darma tidak melepas anaknya begitu saja.
Takut terjadi apa-apa.


Takut Darma diculik kali ya.
Padahal kagak bakalan ada yang mau nyulik dia. Hih.

Jam dua, pesawatnya akan berangkat. Begitu isi chatnya. Beberapa menit setelah itu, sebuah chat masuk kembali.

  ‘’ Pesawatnya delay. ‘’

Gue sempat ngerasa nggak enak. Kasihan harus nunggu lama di bandara.

Tidak ada yang bisa gue lakukan selain hanya goleran di ruang tamu dan di kamar. Berhubung hari itu hujan, gue yang sudah mulai ngantuk hampir saja ketiduran.
Jam mulai menunjukkan pukul setengah empat. Gue mengirim sms ke Darma. Pending.
Oke. Ini saatnya gue tidur.

Sambil berulangkali memejamkan mata dengan perasaan tak tenang karena sms gue masih pending, tepat di jam setengah lima, sebuah sms masuk.

  ‘’ Gue sudah naik taksi. ‘’

Okesip. Darma sudah landing.
Darma dan Ayahnya sudah sampai di bandara Pekanbaru dengan selamat. Syukurlah.

Ini pertama kalinya Darma menginjakkan kaki di pulau Sumatera. Di Pekanbaru. Karena itu, gue langsung saja mengiriminya pesannya.
  ‘’ Selamat datang di Pekanbaru. ‘’

  ‘’ Telat lu. Lebih dulu mbak pramugarinya yang ngucapin itu :p ‘’

Keyfain. Akurapopo.

Berhubung rumah gue di pelosok, dari Pekanbaru Darma dan Ayahnya harus naik mobil umum untuk sampai di Pangkalan Kerinci. Perjalanan yang membutuhkan waktu satu setengah jam paling lama.
Usai magrib, gue menerima sms kalau Darma dan Ayahnya sudah sampai di Pangkalan Kerinci.

  ‘’ Gue udah sampai. Lagi makan sate di deket toko obat Agi Farma. ‘’

Belum sempat gue membalas smsnya, Darma langsung menelfon gue.

  ‘’ Toko obat Agi Farma di mana? ‘’

INI KOK GUE BEGO YA.
MALAH NANYA BALIK KE DARMA.

Agar kebegoan gue tidak terlalu terlihat, gue bertanya kembali ke Darma.

  ‘’ Di seberangnya ada Vanhollano, bukan? ‘’

  ‘’ Hah? Apa? ‘’

  ‘’ Seberangnya. Ada Vanhollano? ‘’

  ‘’ Apa? ‘’

  ‘’ Di seberangnya. Seberang. ADA VANHOLLANO, BUKAN? ‘’

  ‘’ Vanhollano? ‘’

  ‘’ Iya. ‘’

  ‘’ Enggak ada. ‘’

Gue sempat panik. Keliatan begonya gue. Gue dari lahir udah di sini, tapi kenapa gue nggak tau kalau ada toko obat Agi Farma di tempat gue tinggal ini.
Lagi asyik mikir dan sempat ada niatan untuk mengelilingi semua toko obat di Pangkalan Kerinci, sebuah sms kembali masuk di hp gue.

  ‘’ Toko obat Anggi Farma. Hehehee tadi salah baca. ‘’

Gue ngangguk-ngangguk sambil tersenyum.

MAU AGI FARMA, MAU ANGGI FARMA, TETEP AE GUE NGGAK TAU TOKO OBAT ITU. AAAAAKKK


***


Singkat cerita, gue akhirnya menemukan Darma dan Ayahnya di samping abang-abang gerobak sate. Gue langsung mengajak Ayahnya untuk ke rumah.
Darma mah bodo amat. Hahahaaa

Enggak deng.
Gue juga mengajak Darma untuk ke rumah.

Sesampainya di rumah, Ibu langsung mengobrol banyak dengan Ayah Darma. Sedangkan Darma? Itu anak diem mulu. Bengong.
Sepertinya dia masih ngebayangin paha mulus dan body mba pramugari tadi di pesawat.

Sekitar pukul setengah sepuluh malam, gue dan Ibu langsung saja mengantarkan Darma dan Ayahnya ke rumah Om gue yang letaknya cukup dekat dengan rumah gue. Selama beberapa hari di Pangkalan Kerinci, Darma dan Ayahnya akan tidur di rumah Om gue.
Sesampainya di rumah Om, Darma langsung meletakkan tasnya yang berat-amat-gile. Nggak tau deh itu Darma bawa apaan di tasnya. Setelah beres-beres semuanya, gue dan Ibu pamit untuk balik ke rumah dan membiarkan mereka beristirahat malam itu.
Saat gue hendak memakai sandal, Darma menemui gue.

  '' Lu langsung cepet tidur ya. ''


LAH BARU NGOMONG INI ANAK.






 (Next)


Share
Tweet
Pin
Share
47 comments


Bagian sebelumnya. (Bagian Delapan)

Bagi yang ingin membaca cerita bersambung ini dari awal silahkan lihat di halaman Proyek WIDY







Agus lupa bagaimana cara berdamai dengan kehilangan. Saat ini, ia memang sudah ikhlas dengan kepergian ayahnya. Bahkan sudah dari SMA. Tapi, kini ia mengalami rasa kehilangan yang baru. Kehilangan seseorang yang ia sayangi. Ini memang pertama kalinya Agus merasakan jatuh cinta. Rasanya pasti berbeda jika disamakan dengan kehilangan ayahnya beberapa tahun yang lalu.

Di saat keadaan semakin kelam, Agus kemudian teringat pesan almarhum ayahnya beberapa hari sebelum meninggal,

“Ketika Ayah udah nggak ada, kamu nggak boleh terpuruk lama-lama. Segeralah bangkit. Kamu itu anak cowok. Harus kuat. Jangan benci ibumu. Juga kakakmu. Apa yang ibumu bilang itu sebenarnya baik. Tapi cara penyampaiannya mungkin salah. Dia cuma ingin memotivasi kamu supaya berprestasi dan mandiri. Ayah yakin kamu bisa mandiri, tapi memang butuh proses. Cara belajar kamu berbeda dengan Januar. Kamu itu tidak bisa terburu-buru, sedangkan ibumu wataknya kurang sabaran. Kamu harus bisa maklumi itu, ya.
Kamu juga nggak perlu iri sama kecerdasan kakakmu. Setiap orang diciptakan Tuhan berbeda-beda. Kamu nggak perlu jadi seperti kakakmu untuk mendapatkan kasih sayang dari ibu atau orang lain. Karena kamu juga spesial, Nak. Jadilah dirimu sendiri.
Ayah sayang kamu, Gus.”


Air mata Agus pun mengalir semakin deras. Ia ingat sekali pesan itu lengkap dengan jenis suara Ayah yang terdengar parau dan melemah. Tapi, berkat pesan itulah ia sedikit-sedikit mulai belajar. Agus jadi lebih mandiri sejak kepergian ayahnya. Ia mulai tidak acuh ketika ibunya mulai memuji-muji Januar. Agus juga tidak perlu membuktikan apa-apa kepada ibunya. Ia cukup bersyukur menjadi dirinya sendiri, meskipun kenyataannya ia memang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sang kakak. Agus masih percaya dengan kata-kata ayahnya, menjadi diri sendiri itu menyenangkan. Dan di situlah letak keunikannya.

Lagi pula, Agus hanya sebulan memandangi Mei dari kejauhan. Baru bertemu dua kali, dan tentunya belum mengenal Mei lebih lama daripada Januar. Sedangkan Januar sudah hampir setahun memiliki hati Mei. Agus kalah terlampau jauh. 


***


Setelah tidur, semua ingatan menyedihkan itu mulai tertutup dan kembali tersimpan otomatis di memorinya. Agus bangun tidur dengan lebih fresh. Hati Agus juga sudah tak sesakit malam itu. Setelah melewati masa-masa sulit, ia tampaknya mulai belajar mengikhlaskan Mei untuk Januar.

Hari ini, perkuliahan sedang libur dan ia tidak ada kesibukan. Maka, siang itu, Agus berencana untuk pergi ke toko buku. Saat sedang bosan di rumah, di sanalah tempat yang membuatnya merasa tenang. Larut dalam imajinasi akan tokoh-tokoh yang disajikan oleh jajaran novel fiksi di rak buku yang sering ia sambangi.

Sesampainya di Gramedia, Agus langsung menuju ke arah rak favoritnya. Matanya yang cokelat itu membulat begitu melihat banyak novel yang dipajang di rak itu. Dadanya pun bergemuruh. Agus mengambil salah satu novel untuk dibaca. Ia mulai membaca halaman demi halaman sambil berjalan. Sampai akhirnya, ia tak sengaja menabrak seorang perempuan di dekatnya.
“Duh, maaf-maaf,” ucap Agus spontan.

“Gapapa, Mas,” jawab perempuan itu.

“Ng... Mei?” ucap Agus heran melihat penampilan perempuan yang mirip Mei. Perempuan ini memang benar-benar mirip. Dari mulai matanya, warna kulitnya, dan juga jenis kelaminnya (yaiyalah kampret). Hanya saja perempuan ini memiliki potongan rambut berbeda dan suara yang lebih lembut.

“Mas siapa?” tanya perempuan itu.

Padahal Agus serasa mimpi kalau dirinya dapat bertemu Mei di Gramedia. Namun, aneh sekali karena Mei kali ini sangat berbeda. Apalagi mendengar responsnya yang seperti itu. Apakah itu bukan Mei? Kalaupun bukan, apakah Mei punya kembaran? Apa mungkin di dunia ini ada seseorang yang benar-benar mirip dengan Mei?

“Gue Agus. Kita pernah ketemu di kafe deket kampus. Ngobrol banyak hal sambil nunggu macet waktu itu,” terang Agus.

“Hmm.... Kok saya nggak ingat apa-apa, ya?" jawab perempuan itu.

“Tapi kita, kan, sempet ketemu lagi waktu itu di....”Agus ingin mengingatkan perempuan ini tentang pertemuan selanjutnya saat makan malam bersama keluarganya. Namun, ia sendiri ingin sekali menghapus momen itu dari ingatannya. Agus kemudian termenung. Wajahnya mendadak murung.

"Di mana?" tanya perempuan itu.

“Lu bener bukan Mei? Lu mirip temen gue soalnya.”

“Bukan. Saya Septi, Mas.”

“Oh, maaf kalo gitu. Gue salah orang,” jawab Agus pasrah, kemudian ia berjalan menjauhi perempuan yang tidak mengenali dirinya ini. Mungkin ingatan tentang Mei di pikiran Agus masih benar-benar melekat. Sehingga saat ia melihat perempuan yang rada mirip, ia pun berpikir kalau perempuan itu adalah ’Mei’.


***


Agus sedang membaca novel yang baru saja ia beli siang tadi, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Agus mendapat sebuah notif di layar ponselnya. Sebuah permintaan pertemanan BBM dari seorang perempuan. Yang ternyata adalah Mei. Padahal Agus sudah mulai mencoba untuk mengikhlaskannya, tapi dia malah hadir kembali.

Ada perlu apaan dia invite gue, ya? Bukannya waktu itu dia nggak mau ngasih pinnya? Apa dia mulai kehilangan gue? Atau dia baru menyadari bahwa gue lebih ganteng daripada Januar?

Tanpa berpikir macam-macam dan untuk menghindari agar ia tidak terlalu kegeeran, Agus segera menerima permintaan pertemanan dari Mei. Setelah berteman di BBM, Agus ingin sekali mengontak Mei. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan rindunya. Paling tidak, ia mungkin bisa bertanya basa-basi “Kok tau pin gue? Ada apa, ya?”, namun, ia malah bimbang dengan keadaan ini.

'' BBM aja. ''
'' Jangan! ''
'' BBM. ''
'' Jangan! ''
'' BBM! ''



Suara-suara di dalam kepalanya mulai berdebat.

Oke, BBM aja deh.
Saat sudah mulai menggerakan jemarinya untuk mengetik sesuatu, tiba-tiba... INGET! DIA ITU PACAR KAKAK LU WOY! IKHLASIN. HARUS IKHLASIN. INGET PESAN AYAH.

Jemari Agus perlahan kaku danmenjauh dari layar ponsel. Ia kembali mengurungkan niatnya.

*tengtongteng*

Dan di saat kebimbangan Agus, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi di HP-nya.

“Gus?” sebuah chat masuk dari...

Mei.
Ingin rasanya Agus bersorak girang. Bagaimana mungkin Mei mengirim chat untuknya?
Karena setahu Agus, bagi perempuan, mengontak laki-laki terlebih dahulu adalah ketidakmungkinan yang tak akan terjadi di dunia.
Seperti pada umumnya, biasanya kebanyakan perempuan gengsi untuk mengontak laki-laki terlebih dulu.

Dan betapa bahagianya ia saat mengetahui  Mei terlebih dahulu mengontaknya dengan mengirim sebuah chat bbm. Agus buru-buru melupakan ketidakmungkinan bodoh itu.

Senyuman terlukis di bibir Agus. Hidungnya kembang-kempis. Matanya berbinar-binar. Cukup lama Agus terdiam hening dengan menatap chat yang tertera di layar HP-nya. Seolah terhipnotis dengan chat barusan. Agus mulai menggerakkan jemarinya, menyusun kata-kata yang hendak ia layangkan kepada Mei sebagai chat balasan.

“Ya? What's up?”


Agus tau kalau Mei adalah penggila musik hip-hop. Ia berlagak seperti rapper dengan sok asyiknya, berharap Mei tertawa dan mengejeknya. Lalu, berharap kalau mereka bisa chatting tanpa ingat waktu.

“Cuma mau nanya, apa Januar sudah pulang kerja, Gus? Chat gue dari tadi sore belum di-read."



Bangkeh. 

Hal ini lebih mengejutkan dari seorang perempuan yang tidak gengsi mengontak duluan. Ya, mengontak hanya karena ada maunya.


Bagian Sepuluh



Share
Tweet
Pin
Share
46 comments


                                






Gue anak pecinta rumah. 
Bagi gue, rumah adalah segalanya. Tempat berkumpulnya keluarga, tempat dimana canda dan gelak tawa tertumpah di dalamnya, tempat melepas penat dengan saling bercerita di malam hari.

Sabtu kemarin, saat menunggu jarum jam beralih ke angka satu, waktunya pulang kerja, gue yang lagi duduk manis di depan komputer terlibat dalam percakapan dengan teman-teman kerja.
Fyi, gue satu-satunya karyawan perempuan di kantor ini. Ngerasa paling cakep banget kalo gabung bareng mereka. Padahal mah muka gue beda tipis sama kanebo kering. Kusut. Tegang. Dekil.
Selain ngerasa paling cakep saat gabung dengan mereka, gue juga ngerasa paling dimanja. Hohooo

Siang itu, salah seorang teman menganggu gue yang sedang khusyuk blogwalking.
  ‘’ Lan, ntar malam kemana? Malam minggu kan. ‘’
  ‘’ Nggak kemana-mana bang. Di rumah doang. ‘’
  ‘’ Siang pulang kerja ini kemana? ‘’
  ‘’ Ya sama, di rumah doang. Nggak kemana-mana. ‘’
  ‘’ Nonton Comic 8, yuk. ‘’
 
Gue memasang muka nyengir.
  ‘’ Rame-rame kok. Mereka juga ikut. ‘’ Temen gue menunjuk ke arah dua orang teman lainnya.
  ‘’ Nggak mau ah. Males. ‘’
  ‘’ Atau kita nonton kungfu panda. ‘’ Salah seorang temen gue yg lain angkat bicara.
  ‘’ Enggak deh. Mending tidur di rumah. ‘’


Meskipun gue seumur hidup nggak pernah nonton bioskop, gue sama sekali nggak mengiyakan ajakan mereka. Daripada nonton bioskop, mending makan nasi padang kuah rendang. Nonton bioskop mentok-mentok makan popcorn. Nggak kenyang. Kecuali kalo makan popcornnya pake nasi. Baru dah gue mau.

Gue kembali meneruskan kegiatan blogwalking gue di depan meja.
  ‘’ Nomor hp Ayah berapa, Lan? ‘’

Lah ini kenapa segala nanya nanya Ayah gue.
  ‘’ Buat apaan bang? ‘’ ujar gue bingung.
  ‘’ Buat minta izin bawa Wulan keluar. ‘’

Gue hanya menghela nafas kemudian kembali melanjutkan blogwalking.

  ‘’ Ayah sukanya buah apa, Lan? ‘’

Asli. Ini orang kepo parah. Segala nanya-nanya Ayah gue sukanya buah apa. Ya buah dada lah.

  ‘’ Hhehee enggak tau, Bang. ‘’ Gue menjawab dengan sekedarnya. 


**


Percakapan di hari Sabtu itu mengingatkan gue dengan sifat gue yang bisa dibilang cupu. Diumur yang sedang otewe ke duapuluh tahun, gue masih jarang untuk keluar dan ngumpul dengan teman-teman.
Ngumpul yang gue maksud di sini adalah ngumpul yang kerjaanya ‘haha hihi’ doang. Nggak guna menurut gue. Kalo mau ‘haha hihi’ doang ngapain harus keluar rumah. Nonton mister bin di laptop aja, gue udah ‘haha hihi’ nggak jelas di kamar.
Beda dengan ngumpul yang memang untuk mengerjakan sesuatu hal.
Contohnya, gue masih menerima ajakan teman untuk mengerjakan tugas kuliah, tugas sekolah, atau membahas suatu hal di luar.  Itu juga kadang gue masih memberi tawaran kepada mereka untuk mengerjakan dan ngumpulnya di rumah gue.

Gue secemen itu untuk keluar rumah.

Nggak jarang, setiap kali libur atau tanggal merah, gue selalu memanfaatkan moment itu untuk beristirahat, bantu-bantu Ibu di rumah dan nonton film di laptop.
Gue masih ingat dengan chat dari Darma ketika tanggal 9 Maret kemarin.
  ‘’ Lu hari libur gini, nggak jalan-jalan keluar? ‘’

Mungkin ada sebagian teman-teman gue yang menganggap kalau gue anaknya sombong. Padahal mah enggak. Gue memang nggak doyan aja ngerumpi di luar. Jalan sana-sini sama temen-temen. Sampai-sampai ada temen gue yang nekat datang ke rumah gue saat malam hari hanya untuk curhat ke gue, setelah beberapa kali gue menolak tawarannya untuk bertemu di luar rumah.


Sifat gue yang cupu ini selalu saja menjadi bahan pertanyaan yang selalu Ibu lontarkan ke gue. Ibu sering berkata, ‘’ Mbok ya sekali-sekali keluar rumah gitu, Lan. Main sama teman-temanmu. Ini enggak, mendekem terus di dalam kamar. ‘’


Sebegitu cintanya gue dengan kamar. Hhhh
Sama kamar aja aku cinta, apalagi sama kamu. Apalagi sama kamu di dalam kamar.



***


Beberapa Minggu yang lalu, di siang hari yang terik, gue memutuskan untuk membeli indomie ke warung belakang. Gue langsung saja mengambil payung dengan corak orange dan biru lalu dengan sigap mengembangkan payungnya.
Gue berjalan ke warung belakang rumah. Deket doang sih sebenernya. Gue gaya-gaya aja pake payung. Biar sok anti panas matahari. Eheh.
Dengan langkah yang pasti dan anggun, gue berjalan dengan payung yang memayungi badan gue.
Sesampainya di warung, gue dikejutkan dengan suara ibu ibu yang juga turut belanja yang tiba-tiba menepuk pundak gue.
  ‘’ Eh ini si Wulan ya? ‘’
  ‘’ Hehee iya, Bu. Ibu belanja? ‘’ tanya gue basa-basi.
  ‘’ Iya nih. Wulan udah besar aja ya sekarang. Dulu masih kecil, kurus. Sekarang udah sebesar ini. ‘’


INI APANYA YANG BESAR COBAA?!!?


Gue hanya cengengesan seraya berkata, ‘’ Hehee dari dulu gini-gini aja kok, Bu. ‘’

Di perjalanan pulang dari warung, gue nggak habis pikir. Ini gue yang jarang keluar rumah atau pertumbuhan gue yang cepet membesar atau si Ibunya yang selama ini nggak memerhatikan gue. Iya sih, nggak mungkin juga Ibu ibu itu merhatiin gue. Gue kan anaknya kurang perhatian. Kurang kasih sayang juga.
Sayangin aqu dongs qaqaaa~

Sambil membuat mie, gue masih saja heran. Masalahnya, itu rumah ibu ibu tadi deket banget dengan rumah gue. Yakali dia nggak ngeliat punya gue yang udah sebesar ini. Ahelah.
Maksudnya, badan punya gue yang udah sebesar ini.

Beberapa hari berikutnya, gue bertemu dengan seorang ibu tetangga di suatu toko buku. Gue yang hampir-setiap-minggu membeli pena untuk persiapan kuliah, dikejutkan dengan panggilan seorang ibu ibu.
Iya, gue setiap hari Sabtu pasti membeli pena. Soalnya selesai kuliah, pena gue selalu hilang entah kemana.

Dari kejauhan, gue mendengar suara panggilan ibu ibu itu. Memang ya, gue idola ibu ibu banget.
Sambil memanggil nama gue, ibu ibu yang mengenakan baju putih lengan pendek itu menghampiri gue. 
  ‘’ Eh Wulan. Sama siapa ke sini? ‘’

SKSD banget sih.
Sebagai anak perempuan yang cukup mengerti dengan tata krama, gue menatapnya dengan sinis sambil berkata, ‘’ Menurut lu aje? ‘’

Enggak deng.
Gue membalasnya dengan senyum sebelum akhirnya gue menjawab pertanyaanya.
  ‘’ Wulan kok jarang keliatan sih. Nggak pernah keliatan sama Ibu. ‘’

Gue hampir aja mau jawab, ‘’ Iya sama dengan jodoh saya, nggak keliatan. ‘’ Trus gue dan Ibunya berpelukan hangat. Menangis bersamaan. Soswit.

  ‘’ Wulan nggak kemana-mana kok, Bu. Di rumah aja. Memang jarang keluar. Hehee. ‘’

Jujur, siklus kegiatan gue dari hari ke hari sangat pasif. Itu itu mulu.
Bangun tidur-mandi-berangkat kerja-pulang kerja-mandi-tidur.
Gitu terus.

Rasanya gue udah cukup lelah di malam hari setelah seharian bekerja. Karena itu, gue jadi jarang untuk keluar rumah.
Selain itu, bagi gue, rumah adalah segalanya. Rumah dan keluarga adalah satu paket kebahagiaan yang tak dapat terpisahkan.
Gue selalu merindukan hangatnya suasana rumah, ramainya gelak tawa yang pecah hanya karena humor receh dari Ayah, ributnya suara sorak-sorakan kayak di pasar malam dari gue yang selalu membully kakak dan adik gue.


Sungguh, gue seorang saudara yang keji.


Sejauh manapun gue pergi,  seberapa lamapun gue jauh dari rumah, gue selalu merindukan rumah dan keluarga.


Bahkan, gue selalu suka keluar dan liburan bersama keluarga. Seperti jalan jalan sore dengan keluarga, makan sate, bakso dan lainnya bareng satu keluarga, foto-foto alay di taman bersama keluarga dan hal hal yang sepertinya nggak penting juga gue lakuin bersama keluarga.
Meskipun keluarga gue kalo keluar udah kayak rombongan jemaah haji yang mau berangkat umroh. Rame heheee. Tapi gue selalu bahagia dengan suasana yang tercipta di sana.

Mungkin karena hal itu, gue jadi kurang suka dengan kegiatan ngumpul bersama teman yang nggak penting karena cuma ketawa ketiwi ketika bertemu.

Sampai-sampai sewaktu SMK, gue pernah dikucilkan dari pergaulan anak hits yang doyan foto. Sudah bisa ditebak, alasannya karena gue selalu menolak ajakan mereka untuk berfoto foto ria dengan camera milik salah seorang teman gue.
Iya, gue bukan anak hits. Gue enggak kayak mereka yang foto pesbuknya sering diganti dengan foto baru yang keren. Foto duduk bersila di semak-semak belukar, trus difoto dari atas. Kalo dilihat sekilas kayak orang-orangan sawah yang kekenyangan habis nyemilin mecin.
Mereka juga sering mengupload foto terbaru mereka. Foto dengan pose duduk di tengah jalan sekaligus dengan rambut yang sengaja diacak-acak serta ekspresi yang galau, seakan foto tersebut menggambarkan orang yang tengah frustasi. Meskipun kalo dilihat, lebih mirip ke kuntilanak kena diare yang kelindes mobil di tengah jalan.
Serem.

Tapi foto-foto seperti itu cukup hits dan nge-trend di kalangan anak anak sekolah gue. Gue hanya bisa diam sambil pura pura main hp saat mereka dengan bangganya memamerkan hasil foto kemarin sore. Dan seperti itu disetiap harinya.
Mereka selalu keluar di saat sore dan malam hari hanya untuk mencari lokasi-lokasi foto yang menurut mereka bagus. Sedangkan gue, selalu menolak ajakan mereka.
Aku mah apa.

Mungkin gue sudah ditakdirkan untuk tidak menjadi salah seorang dari bagian komunitas anak hits di sekolahan. Gue anaknya pemalu sih kalo difoto. Apalagi fotonya berduaan sama kamu. Coba aja foto, pasti aku tutup-tutupin muka karena malu sambil nyender dibahu kamu.

EHEHEEE


**


Gue ngerasa, rumah adalah tempat paling nyaman bagi gue dalam kondisi apapun.
Lagi seneng dapat sms gebetan, gue langsung joget joget dangdut depan laptop di kamar. Trus direkam. Jadi aib pribadi. 
Lagi galau habis putus dari pacar, gue bisa nangis sesenggukan di kamar mandi sambil keramas. Disitu kadang gue ngerasa jadi agnes monica yang sedang syuting video klip.
Lagi kesel, nggak mood, gue bisa nangis keras sambil berusaha nutupin mulut dengan bantal.
Lagi sakit, gue bisa tiduran seharian di depan tv dengan indahnya. Nonton acara dari subuh waktu si ustadz Maulana ceramah sampai acara berita islami masa kini. Bayangin aja, pas sakit gue selalu nonton tayangan-tayangan dakwah tentang islam.
Ya meskipun pas siang harinya gue nonton tayangan kisah cinta-cintaan anak muda. Heheeew

Gue juga ngerasa bahagia saat di hari Minggu tiba. Dimana gue selalu bertugas sebagai penyedia teh anget untuk keluarga. Kata mereka, teh anget buatan gue enak. Ini karena jiwa keibuan gue atau jiwa pembokat gue yang keluar sehingga bisa bikin teh anget yang enak.
Selain bertugas sebagai penyedia teh anget di rumah, saat hari Minggu, gue juga ditugaskan sebagai operator musik. Iya, gue selalu disuruh untuk menyetel lagu. Meskipun terkadang terjadi perdebatan antara Ayah yang ingin lagu campursarinya diputer dengan Ibu yang ingin lagu Nika Ardillanya diputer. Tanpa menunggu perdebatan selesai, gue biasanya langsung mengambil jalan tengah. Yaitu dengan memutar lagu Ungu. YEAAAH!

Berikan akuuuu ciuman pertamamu..
Agar kuyakin, kau memanglah milikku….
Ooohh ooh… 


Gue selalu senang mendengar cerita-cerita Ibu dan Ayah. Tentang Ayah yang menjadi superhero terhebat di keluarga gue. Ayah yang memilih untuk memandikan anak-anaknya ketika bayi sampai tali pusernya lepas. Meskipun ada bantuan seorang perawat, Ayah memutuskan untuk melakukan itu sendiri. Memandikan bayi yang masih merah dengan kedua tangannya.
Mengurus Ibu setelah masa melahirkan dengan sendiri tanpa bantuan siapapun. Memasangkan pembalut, membuatkan jamu bersalin dan kebutuhan Ibu melahirkan lainnya.

Gue selalu ketawa geli dan salut dengan hubungan pacaran Ayah Ibu yang backstreet selama 5 tahun. Mereka saling percaya dan yakin untuk bisa bersama. Ya walaupun untuk bertemu, Ayah harus menunggu Ibu libur kuliah. Itu juga bertemunya sebentar dengan cara kucing-kucingan.
Sampai akhirnya mereka mendapat restu dan menikah.
Gue salut dengan mereka. Hebat.

Gais, walau bagaimanapun kondisi keluarga kita, mereka tetaplah orang terdekat di dalam hidup kita. Orang terdekat di hidup kita bukan teman, sahabat ataupun pacar. Tetapi keluarga.
Hanya keluarga yang paling mengerti kita, keluarga yang selalu ada untuk kita disaat kita senang maupun terpuruk sekalipun. Terlebih kedua orangtua, yang selalu setia merawat kita, si bayi kecilnya saat dulu.

Rumah dan keluarga.
Nggak ada yang mengalahkan kebahagiaan gue dengan satu paket itu.


Dengan rumah dan keluarga aja, aku bahagia. Apalagi serumah dan berkeluarga dengan kamu.





Share
Tweet
Pin
Share
53 comments


                                       
                               





Pernah nggak sih, kalian mikir di usia berapa kalian akan menikah?

Dari saat gue masih berstatus sebagai pelajar SMP, pernah terbesit di pikiran gue kalau gue bakal menikah di usia paling lambat 25 tahun. Gue bahkan pernah bertanya hal yang sedemikian rupa ke segerombolan teman gue saat SMP yang lagi ngesosip.

Dan respon yang gue terima, ‘’ Ih apaan sih lu, masih esempe juga, mikirnya udah nikah-nikah. Haid juga baru 3 kali. ‘’

Nggak ada yang nanggepin gue. Kusyedih~



Akhir-akhir ini gue selalu risih dengan omongan orang, baik itu tetangga, saudara, temen Ibu, temen Ayah, Ibunya temen kakak gue, siapapun itu yang selalu melontarkan kalimat,
 
‘’ Wah, kayaknya yang nikah duluan ntar Wulan nih. ‘’

Dan yang ngomong seperti itu terlihat bicara serius ke Ibu. Yang ngomong itu nggak cuma satu orang.


Gue nggak tau harus senang atau sedih.
Tapi, kenapa harus gue sih yang duluan nikah? Gue masih punya kakak kok. Apa karena gue keliatan punya sifat keibuan? Halah. Keibuan opo. Mau makan aja masih suka rebutan centong nasi sama adik.

Apa karena muka gue lemah tak bergairah kayak emak-emak yang habis bilas kain? Muka gue kayak ulekan cabe rawit? Muka gue kusut kayak kain keset kaki depan kamar mandi? Apa gimanaaa??


Di lain sisi gue senang. Karena gue menganggap itu sebagai doa.

Hmm mungkin mereka bisa bicara seperti itu, karena melihat perbedaan gue dengan kakak yang sangat mencolok.
Kakak gue anaknya terlalu serius, kutu buku dan fokus. Jarang mikirin cinta-cintaan.
Sementara gue, heboh nau’ujibilah, setiap kali punya pacar, gue selalu kenalin ke rumah, kasih tau ke ibu dan ayah-walaupun bulan depannya putus. Ehehee.
Gue ceria abis, tapi mereka nggak tau aja yang sebenarnya. Keliatannya doang sih gue ceria, tapi dalemnya mah kayak kerupuk kena kuah lontong. Lembek.
Jadi kamu, jangan sakitin aku ya. Plis.

Tapi perbedaan yang mencolok antara gue dan kakak itu bukan jaminan kalau gue bakal menikah duluan. Meskipun dari SMP, seperti yang gue bilang, gue suka nulis-nulis tentang planning gue jika kelak nanti berumahtangga.
Bahkan saat SMP, gue pernah bertanya ke kakak, ‘’ Golut, kalau koe nanti punya anak laki-laki, mau dikasih nama apa? ‘’

  ‘’ Hmm, apa ya? ‘’ Kakak gue mikir.

  ‘’ Trus kalo perempuan? ‘’ tanya gue lagi sambil menyembunyikan kertas yang berisi tulisan daftar nama-nama bagus untuk anak.

  ‘’ Ah gatau ah. ‘’ 



***



Pernah suatu hari, temen Ayah datang ke rumah. Gue yang lagi asyik menonton tv, hanya sesekali memberikan senyum kepadanya. Antara sadar dan enggak, temen Ayah memperhatikan gue yang lagi serius nonton tv.

  ‘’ Kayaknya yang bakalan nikah duluan, Wulan. Menurut perkiraan Om sih gitu. ‘’

Gue tersentak kaget. Nggak ada angin, nggak ada hujan, nggak ada pacar, eh tiba-tiba temen Ayah ngomong kayak gitu. Gue cuma ketawa kecil dan mengamininnya.

Di suatu malam, Ibu pernah berkata,
  ‘’ Kalo cari suami besok hati-hati. Jangan sembarangan supaya kehidupan kalian bisa lebih baik dari Ibu sekarang ini. Cari suami yang sabar, jangan yang kasar. Cari suami juga harus yang sayang dengan keluarga kita. Jangan cuma sayang ke pasangannya aja. Cara lihat laki-laki yang beneran serius, dia pasti mau berjuang mati-matian demi kita, pasti gigih. Dengar apa yang Ibu bilang, Lan? ‘’

Sontak gue bingung. ‘’ Kok ke Wulan aja sih, Bu? ‘’

  ‘’ Eh, iya maksud Ibu, dengar kan apa yang Ibu bilang, Lan? Mel ? ‘’ Ibu memperbaiki kalimatnya.

Gue cuma manggut-manggut memahaminya. Hhh~

Mendengar ucapan Ibu, tiba-tiba saja pikiran gue melayang pada 2 tahun ke belakang.
Di tahun 2014 lalu, gue sempat menjalin hubungan dengan karyawan yang kerja di perusahaan yang sama dengan gue. Usia gue dan dia terpaut 12 tahun. Waktu itu gue masih berusia 18 tahun dan dia berusia 30 tahun.
Gue mengenalkannya dengan Ayah dan Ibu. Beberapa kali ia sempat datang ke rumah. Sampai di suatu malam, ia berbicara serius dengan Ibu di depan gue. Yang intinya dia bakal ngelamar gue 2 tahun lagi.

Tahun 2016. Iya di tahun ini.

Gue nggak nyangka dia akan berkata seperti. Diluar dugaan, respon Ibu justru positif.

  ‘’ Nggak papa toh ngelangkahin kakak. Siapa yang dapat jodoh duluan, ya duluan aja. Nggak papa. ‘’

Ibu berkata ke gue keesokan harinya setelah kejadian malam itu. Dia juga sempat bicara mengenai plannya buat ke depan dengan gue.
Sampai akhirnya di awal Desember 2014. Dia menghilang.

Ciyeee yang kena pehape level tinggi ciyeee
Ciyeee yang pernah kena tipu ciyee



BANGKEEEH!



Gue cuma berdoa setiap malam, kalo memang gue dan dia jodoh, semoga disatukan kembali. Kalo dia memang buat gue, pasti ada jalan untuk kembali lagi.
Dan akhirnya Allah menjawab doa gue di bulan Januari, awal tahun 2015. Sudah sebulan kami lost contact dan nggak pernah ketemu. Terhitung sejak awal Desember sampai Januari 2015, baru lah dia kembali memperlihatkan dirinya ke gue.
Namun sayang, hati gue udah menolak. Udah terlanjur sakit.  #AkuKuwat   #WulanWanitaTegar2015  #CumaDikitAjasihNangis  #DikitKok


Duh maap, ini paragrafnya berantakan, nggak beraturan. Lompat sana-sini ceritanya. Wwkwk


Intinya nggak ada batasan atau patokan umur bagi seseorang untuk menikah. Tapi jangan usia 10 tahun juga. Muda banget. Dada masih rata juga. Gimana mau netekin anak.
Meskipun ada sebagian orang terdekat gue, yang sering berkata, ‘’ Gue mah nikah nunggu punya rumah, mobil, lulus S2 dulu. ‘’

Nggak salah sih, itu impian masing-masing. Tapi yang lebih utama sebenernya bukan itu. Melainkan persiapan mental, fisik dan material. Nggak perlu mewah, yang penting tercukupi. Nggak perlu tunggu punya apartemen dulu, ntar keburu lari pasangan lu. Dilamar orang lain. Ujung-ujungnya galau. Bunuh diri. Apartemen nggak ada yang ngurus. Jadi apartemen angker. Trus masuk tipi, masuk ke acara ‘jejak paranormal’.

Apartemennya masuk tipi, elunya kagak.

Satu lagi, nikah itu bukan cuma soal ‘enak-enak’ doang.

Duh kalo bahas tentang nikah rada berat nih.


Buat siapapun kamu calon imamku kelak, dari sekarang kita sama-sama mulai mempersiapkan ya.
Kamu mempersiapkan diri untuk bisa menafkahi keluarga dan aku akan mempersiapkan telapak tangan buat nerima uang bulanan.

Eeh nggak gitu, Jod.   (Jodoh ya, bukan Jodha Akbar)

Oke ralat.

Buat siapapun kamu calon imamku kelak, dari sekarang kita sama-sama mulai mempersiapkan ya.
Kamu mempersiapkan diri untuk bisa menafkahi keluarga dan aku akan mempersiapkan diri untuk mengemban semua tugas rumahtangga, mendidik anak-anak dan semua tugas seorang istri.
Jod, kamu sekarang lagi di hati siapa sih?
Kalo kamu udah baca tulisan ini, tolong ya putusin pacar kamu.

Ailofyu.








Jadi, kamu kapan lamar dia?

Share
Tweet
Pin
Share
104 comments
Selama satu setengah tahun gue memiliki blog, gue baru 2 kali ganti template, 1 kali ganti pacar. Trus putus, jomblo. Yaudah ya.

Yang pertama pada bulan Agustus. Gue lupa tanggal detailnya. Kalo nggak salah tanggal belasan. Darma menawarkan bantuannya untuk membantu gue mengganti template. Dengan senang hati gue menerima tawarannya. Darma mengirim beberapa contoh template yang akan gue pilih. Setelah menentukan template, pemasangan template pun dimulai dengan gue yang melakukannya dan Darma yang memberi perintah melalui chat line.
Setelah dipasang, Darma mengirim chat ke gue, ‘’ Nanti agak susah pas di HTML. Jangan pusing ya. ‘’


Darma nggak tau aja kalo gue cuma pusing pas tanggal tua. Akhir bulan. Nunggu gajian. Pusing parah sih itu.
Gue langsung membalas chatnya, ‘’ Oke. Kalo gue nggak bales chat lu, berarti gue udah pingsan ya. ‘’

Gue melakukan pengeditan sesuai perintah dari Darma. Untung gue anaknya nurut. Sampai akhirnya gue masuk ke edit HTML.  Darma orang yang pertama kali ngenalin gue dengan HTML. Dan gue baru tau kalo apa itu HTML.

Yawla itu angka dan huruf kayak sakit hati gue yang tersakiti oleh mantan. BANYAK BANGET!
Lagi-lagi, dengan arahan  dari Darma, pelan-pelan gue mencoba untuk mengeditnya. Untungnya lagi Darma sabar ngadepin otak gue yang lelet.
Hingga gue menerima chat yang isinya, ‘’ Bentar, bentar. Gue juga lupa nih. ‘’



Hah??
Gue hanya menelan ludah.
Lah ini gimana kalo Darma mendadak amnesia? Dia lupa segalanya. Dia lupa dengan HTML, kecuali ML. Kalo ML mah dia pasti inget banget.


Makan Lele maksudnya.


Akhirnya tak lama kemudian, Darma kembali lagi mengechat gue. Kemudian dia melanjutkan perintahnya untuk mengedit ke gue.
Dan hari itu, gue senang bukan main. Bahagia banget. Kayak diajak nikah sama Zayn Malik, trus bulan madu keliling dunia. Duuuuhh.



Tampilan blog lama.

Sejak hari itu, semangat gue untuk nulis semakin tinggi. Tengkiyu Darma Kusumah J




***


Dan di hari Minggu kemarin, gue juga kembali bahagia banget. Markas gue, markas baru. Semua bermula saat Pangeran a.k.a Heru Arya mengirim chat ke gue. Pangeran menawarkan dirinya untuk membantu gue mengganti template serta mengeditnya.
Awalnya gue ragu untuk mengganti template yang lama dengan yang baru sekarang ini. Sampai akhirnya gue iseng melihat-lihat berbagai macam template yang bagus-bagus. Gue tertarik.

Gue pun mengirim 4 jenis template yang nanti salah satunya bakal gue pasang dan diedit oleh Pangeran.
Dan template pilihan itu jatuh di nomer 3. Template yang sekarang ini.


Mungkin kalo kalian tanya ke Pangeran, ‘’ Pangeran, capek nggak ngedit template untuk blognya Wulan? ‘’

Gue yakin, jawaban Pangeran pasti, ‘’ ENGGAK CAPEK. LEBIH CAPEK NUNGGUIN DIA BALES CHAT. SAMPE UBANAN GUE. ‘’

Iya, seperti itu.


Gue akui, gue selalu telat membalas chat Pangeran. Kayak,
  ‘’ Lan, mau tulisan yang warna apa? ‘’ (ngirim foto)
*1 menit*
*10 menit*
*30 menit*
  ‘’ Yang putih aja, Pange. ‘’

  ‘’ Lan, hurufnya dibesarin lagi nggak? ‘’
* Satu jam kemudian*
  ‘’ Iya Pange. Besarin dikit ya. ‘’


  ‘’ Lan, coba buka blognya dulu. Bagian bawahnya udah pas? ‘’
  ‘’ Lan? ‘’
  ‘’ Ouyy.. ‘’
  ‘’ Ya Allah, Wulan kemanaaa?? ‘’ 
*Puluhan tahun kemudian*
 ‘’ Iya Pange, udah Wulan buka. Udah pas bagian bawahnya. ‘’



Gue bener-bener jahat ya. Hahaaa. Udah kayak harapan gebetan, yang suka hilang-timbul. Untung Pangeran sabar. Untung gue nggak sampai di delcont.
Dan hingga pada akhirnya, Pangeran bener-bener selesai mengedit template blog gue. Yang hasilnya bisa dilihat saat ini.

Tengkiyu Pangeran J



Gue bersyukur bisa kenal baik dengan mereka, orang-orang yang berbaik hati. Saking baiknya, kadang sering dapat ucapan. ‘’ Maaf ya, kita temenan aja. Kamu terlalu baik buat aku. ‘’

Duh. Gue dosa nggak sih buka aib mereka gini.

Tapi nggak papa, kalian memang baik buat gue. Kadang gue sampai mikir kenapa masih aja ada yang mau bantuin gue. Masih ada yang mengerti gue. Masih ada yang peduli dengan gue.
Terimakasih gaes.

Untuk markas baru hasil editan template oleh Pangeran, kalian bisa melihatnya sendiri saat ini. Kalo mau lihat berdua bareng pacar juga nggak papa. Tapi kalo nggak punya pacar, ya lihat sendiri aja. Terima kenyataan.

INI APA YA?


Betewe, gue jadi tau kenapa Darma dan Pangeran sampai sekarang masih jomblo. Soalnya mereka cuma ngerti kode-kode HTML, mereka cuma peka dengan kode di HTML.  Mereka nggak ngerti dan nggak peka dengan kode-kode yang diberikan gebetan mereka.
Buat kalian, kapan bisa ngertiin kode dari gebetan?

EHEHEEEE

Oke deh, sekian dulu tentang template.
Semoga betah yaa. Semoga nyaman. Tapi jangan terlalu nyaman, biasanya yang nyaman sering ditinggalin sih. Kalo nggak ditinggalin, biasanya cuma sekedar friendzone doang. Syedih.



Bye.








Share
Tweet
Pin
Share
58 comments
Newer Posts
Older Posts

Rahayu Wulandari

Rahayu Wulandari
Atlet renang terhebat saat menuju ovum dan berhasil mengalahkan milyaran peserta lainnya. Perempuan yang doyan nulis curhat.

Teman-teman

Yang Paling Sering Dibaca

  • ADAM
  • Ciri-ciri cowok yang beneran serius
  • Pelecehan
  • 5 Tipe Cowok Cuek

Arsip Blog

  • ►  2020 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (3)
  • ►  2019 (5)
    • ►  October (1)
    • ►  July (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2017 (14)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  July (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ▼  2016 (39)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (5)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (5)
    • ▼  March (5)
      • 85 Jam di Pekanbaru (Selamat Datang)
      • Sepotong Hati di Segelas Milkshake Cokelat (Bagian...
      • Rumah dan Keluarga
      • Perihal Menikah
      • Template
    • ►  February (8)
    • ►  January (7)
  • ►  2015 (138)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (8)
    • ►  September (12)
    • ►  August (12)
    • ►  July (6)
    • ►  June (9)
    • ►  May (10)
    • ►  April (15)
    • ►  March (21)
    • ►  February (11)
    • ►  January (24)
  • ►  2014 (18)
    • ►  December (10)
    • ►  November (6)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates