• HOME
  • ABOUT ME
  • CONTACT
  • WIRDY'S PROJECT

Rahayu Wulandari Ibrahimelya

Daripada tawuran, mending kita curhat-curhatan

Gue sama sekali bukan tipikal orang yang mencintai binatang atau pecinta binatang atau animal lovers. Pokoknya gitu gitu dah.
Kadang gue bingung kalo ditanya tentang binatang kesukaan, binatang peliharaan. Nggak tau mau jawab apa. Pengen jawab kucing. Kucingta kamu selamanya.
Tapi gue nggak suka kucing.

Kemarin pagi saat berangkat kerja gue memutuskan untuk lewat jalan raya. Rencananya sekalian mau ke ATM. Dan gue memilih pergi ke  ATM yang ada di SPBU. Sekalian lewat SPBU juga sih.
Sesampainya disana, gue menghela nafas saat melihat beberapa orang yang ngantri di depan pintu ATM. Baru inget gue, ini kan awal bulan. Pantesan ATM rame.
Akhirnya gue melewati ATM yang rame itu dan memutar melewati antrian kendaraan yang sedang mengisi bahan bakar. Gue ngerasa jadi orang aneh. Datang ke SPBU cuma numpang muter doang trus pergi.
Melihat jam tangan yang sudha menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit, gue langsung menancap gas motor.

Dari kejauhan gue ngeliat ada sesuatu yang tergeletak di tengah jalan. Karena penasaran, gue akhirnya mendekat. Mendekat. Lebih dekat.

Iyak. Itu bangkai.
Bangkai anjing.
Di hadapan gue tergeletak seekor anjing yang badannya sudah berceceran di sekitarnya. Bisa dikatakan, anjing itu sudah hancur. Sudah gepeng. Tapi bercak darahnya masih kelihatan jelas.
Serem..

Pagi hari yang menegangkan.


***

Sepulang kerja, seperti biasa gue memilih untuk melewati jalan belakang. Jalan yang jauh dari keramaian dan padatnya jalan raya. Jalanan yang bener-bener sepi menurut gue. Lengang.
Dengan penuh rasa lapar, gue menancap gas motor kencang. Pengen cepetan pulang kerumah soalnya.
Sial !
Laju motor gue terpaksa berhenti mendadak. Di depan gue terlihat banyak sekali pejalan kaki bapak-bapak dan remaja laki-laki yang berbaris berjalan di pinggi kiri-kanan jalanan.
Nggak hanya itu, masing-masing mereka juga memegang tali pengikat anjing. Iya, mereka bawa anjing.
Satu orang bawa lima anjing. Memang diikat sih.
Tapi banyak banget kayak demo.
 Gue sempat kebingungan harus lewat mana saat anjing-anjing itu berjalan ke tengah.
Gue ngerasa seolah-olah mereka sedang menyambut kedatangan gue sebagai induknya. Ehm maksud gue tuannya. Cuma kurang karpet merah doang.
Gue bener-bener takut. Anjingnya ada di kanan kiri. Dan itu posisinya juga berbaris gitu.
Gue menurukan laju kecepatan motor. Sampai gue mendengar sebuah suara.
  '' Kakak, baru pulang ya kak? ''

Entah itu suara dari abang-abang yang sedang jalan dengan anjingnya, atau suara anjing. Entahlah. Yang pastinya adrenalin gue seolah terpacu saat melewati itu.

Selepas dari barisan dan jalanan yang penuh dengan anjing itu, gue langsung menancap gas kencang. Geli. Serem.
Sekitar lima menitan dari jalan yang banyak anjing itu, gue hampir menabrak motor yang dikendarai bapak-bapak dari belakang. Hampir saja. Untung gue buru-buru memutar stang motor.
Sebel juga sih. Itu bapak-bapak apa banget pake acara berhenti mendadak di tengah jalan. Cari perhatian banget.
Langsung saja gue melewati bapak itu setelah membunyikan klakson berkali-kali. 

Gue kaget. Beneran kaget. Saat sebuah motor dari arah berlawanan berhenti mendadak di depan gue. Apa gue salah jalur ya?
Gue bingung. Lebih bingung lagi saat melihat ekspresi dua pemuda yang naik motor dari arah berlawanan itu. Kedua pemuda itu juga ikutan kaget. Dan kayaknya itu bukan kaget karena gue yang tiba-tiba menyalip motor si bapak. Bukan kaget karena gue hampir menabrak si pemuda itu. Bukan juga kaget karena melihat gue yang seperti eehmm.... Raisa.  Bukan, bukan karena itu.

Si bapak dan dua pemuda itu terdiam melihat ban motor gue. Mereka melihat ke bawah. Melihat anu.

ASTAGA.
Gue ngelindes ular.

Dengan perasaan takut, gue menoleh lagi ke bawah.
Sumpah, itu ularnya gede banget. Segede lengan gue. Panjang juga.

Saat itu gue ngerasa semuanya berjalan lambat. Dan ada kira-kira dua detik gue terdiam bego di atas motor dengan ular gede meliuk di bawah kaki gue.
Gue beneran pasrah. Dan saking gugupnya karena nggak pernah melihat yang besar dan panjang, gue sampe nggak berkutik sama sekali. Gue nggak melajukan motor dari posisi itu. Bego memang.

Sampai akhirnya gue tersadar dan gue langsung saja pergi dari ular itu.
Alhamdulillah gue nggak kenapa-kenapa. Nggak ada yang lecet, nggak ada yang digigit. Tapi di hati siapa yang tau? Luka dihati kan nggak terlihat.
Ini kenapa jadi baper gini tulisannya sih.

Sesampinya di rumah, baru turun dari motor gue langsung ngomong dengan rasa bangga sok hebat pada ayah dan ibu.
  '' Bu, tadi Wulan ngelindes ular. Keren kan. Nggak kenapa-napa sih. Ularnya juga nggak tau ntah udah mati atau belum. Ularnya gede. ''
Dengan penuh semangat yang berkoar-koar gue menceritakan itu ke hadapan ayah dan ibu.
Dan kalian tau apa jawaban ibu?
  '' Oh, iya ya. hmm. ''

Padahal dalam hati ibu,
  '' Kenapa nggak digigit ular aja sih nih anak. Nyusahin aja. Mana makannya banyak di rumah. Ngabisin beras mulu. ''
Mungkin seperti itu. Hiks.

***
Dan hari ini saat gue berangkat kerja tadi gue kembali lewat dari jalan belakang. Awalnya semua berjalan seperti biasa.
Jalanan sepi, udara dingin, asap dimana-mana. Semuanya seperti biasa. Nggak ada yang beda. Yang beda cuma cara makan bengbeng doang.
Sampai akhirnya gue melihat banyak sekali anak anjing yang lucu bermain-main di tengah jalan. Karena takut menabrak anak anjing itu, gue menurunkan kecepatan motor menjadi sangat pelan. Pelan sekali.
Gue nggak tau kenapa, tiba-tiba seekor anjing gede mengejar gue dari arah samping kanan. Kayaknya itu induk si anjing. Induknya mengira gue bakal gangguin anak-anaknya. Padahal mah enggak. Gue kan sukanya gangguin om-om.
Eh enggak gitu. Maksud gue anaknya om gue. Anaknya lucu.

Gue dikejar anjing. Sampe dua meter lebih.
HUUWAAAAA..

Apa coba salah gue? Gue kan cewek. Cewek nggak pernah salah.

Gue benci mantan. Emm maksud gue, gue benci anjing. Pokoknya gue nggak suka binatang. Tapi bukan gue sering menyakiti binatang juga. Yang ada gue yang sering disakiti. Tersakiti. Pedih men disakiti itu.
Intinya gue nggak suka melihara binatang. Memelihara hubungan aja udah repot, apalagi harus memelihara binatang.


Mulai hari ini gue bertekad untuk nggak melewati jalan itu lagi. Lewat jalan raya lebih baik daripada harus berhadapan dengan anjing dan ular.
Nggak bakal lewat jalan itu lagi!

Share
Tweet
Pin
Share
23 comments
Cinta tak pernah lelah menjatuhkan hatinya kepada setiap insan.

Seperti kita ketika itu.
Akhir tahunku yang begitu hancur sempat tersusun kembali saat aku mengenalmu. Gelap hitamku perlahan membias dan memantulkan cahaya putih pada kehidupanku. Pada hatiku.
Awalnya aku sempat menolak untuk berkenalan dengan lelaki lain. Apalagi dengan kamu. Seperti yang aku tau, kamu adalah orang yang sibuk. Kesana-kesini dengan berbagai kegiatan, bertemu dengan banyak orang, berinteraksi dengan banyak kepala, dan karena itu aku sempat mengaca pada diriku. Hingga aku merasa aku adalah satu diantara banyak mereka yang ingin mengenal dekat tentangmu. Mustahil.
Tetapi kenyataannya berbeda.
Aku masih ingat saat pertama kali kedua mata itu saling menatap, saat lontaran kalimat basa-basi yang pernah kita ucapkan saat di awal perkenalan. Saat tanya-jawab yang kita perbicangkan di depan rumahku. Dan kita langsung berlari masuk ke rumah saat hujan turun membasahi permukaan tanah.
Kata orang, hujan itu anugerah.
Seperti perkenalan kita dengan obrolan itu. Adalah anugerah.
Perbincangan itu berakhir dengan saling bertukaran nomer handphone. Akhir perbincangan yang sangat indah.

Aku hampir meloncat kegirangan tak terkendali saat melihat sebuah pesan mendarat di handphoneku. Dari kamu. Kamu yang mencoba bertanya tentang kegiatanku, sedang apa dan berbagai rentetan obrolan lainnya. Malam itu, pendekatan kita di mulai.
Selalu saja ada senyum mengambang yang terlukis di sudut bibirku. Ada harap-harap cemas saat aku mengetahui belum ada pesan masuk darimu untukku.

Ketahuilah, aku malu untuk memulai. Karena aku ingin kau yang mendahulu dan percayalah karena aku akan siap mengikuti alurmu.

Masih teringat jelas putaran masa itu. Saat aku dengan keadaan yang mendadak mengajakmu pergi bersama kakakku dan kekasihnya. Saat itu kita masih kaku. Enggan untuk menatap lebih lama. Malu. Lebih tepatnya aku takut kalau kamu bisa menebak sorot mataku yang mengedarkan pandangan bahwa aku telah jatuh cinta.
Perjalanan itu menempuh waktu dua jam. Itu berarti aku akan berada selama dua jam di belakangmu. Berhadapan dengan punggungmu. Punggung yang menjadi saksi bahwa ada senyum bahagia yang tertanam ketika aku bisa berada sedekat ini denganmu. Tak jarang sekali helmku terbentur dengan helmmu saat jalanan yang tidak rata kita lewati. Terdengar seperti benturan yang lucu sekali.
Saat itu, aku bisa melihatmu dengan penuh kelelahan menungguku yang berputar tidak jelas di Gramedia. Bersabar menantiku yang heboh kegirangan diantara banyak tumpukan buku. Aku tenggelam berjam-jam lamanya dikerumunan buku-buku itu. Setiap sudut ruangan bahkan lantai juga sudah ku jelajahi demi mencari sebuah buku. Tak peduli penat yang mulai merambati tulang kakiku.
Hampir dua jam aku berkeliling di dalamnya, dan saat aku menemuimu aku terkejut. Kamu masih tetap berdiri dan membaca buku di depan rak yang sama seperti saat dua jam yang lalu. Saat kita pertama kali sampai di sini.
Kamu juga sabar saat menungguku mencari sepatu. Mengitari mall yang penuh banyak orang. Hingga akhirnya kita kelelahan dan kamu mengajakku untuk beristirahat dengan segelas cappuccino. Aku bisa bernafas lega bersamaan dengan tegukan cappuccino dingin itu. Juga saat posisi kita yang memungkinkan aku untuk berhadapan dengan wajahmu, bukan lagi dengan punggungmu.
Ah, momen itu terasa jelas terngiang di benakku.
Magrib itu, hujan turun rintik-rintik. Lagi-lagi hujan yang menyaksikan kebersamaan kita.
  '' Apa kakak terlalu kencang bawa motornya? Kalau iya bilang saja ya. ''
Kalimat itu yang sempat terlontar dan memecah suara rintikan hujan. Aku hanya mengangguk dan menikmati setiap tetesnya.
Malam itu, kita semua tertawa saat melihat wajah kelelahan satu sama lain.

Pendekatan itu akhirnya mencapai sebuah status. Perjalanan baru yang akan kita tempuh berdua. Saling merajut kisah setelah sebuah cokelat dengan tulisan indah kamu sodorkan di hadapanku.
Aku bahagia bisa menjadi salah seorang perempuan yang kamu cintai. Yang selalu hadir menemaniku kapan saja.
Selalu ada yang membuat pagiku bahagia saat pesan masuk mendarat di handphoneku. Ucapan selamat pagi yang indah. Sangat istimewa.
Bagaimana mungkin aku tidak mempersiapkan tempat untuk kenyamanan yang sehebat ini?
Sungguh, ini hal mustahil yang terjadi hingga bisa kurasakan di saat ini.

Meski aku kerap sekali bertahan dengan emosiku, berpacu menyuarakan amarahku, bertingkah seperti anak-anak, bahkan kita sempat saling berdiam diri. Menunggu salah satu akan mengulurkan tangan lebih dahulu. Aku dan egoku sangat kuat. Hingga pada akhirnya, lagi lagi kamu yang mengalah untuk setiap hal kecil perselisihan kita.

Aku tak pernah meminta waktu banyakmu untukku, karena aku tau kita semua memiliki kehidupan masing-masing. Kita mempunyai sahabat, teman, saudara, guru juga keluarga. Aku tau akan hal itu.

Hanya saja aku ingin kita bisa menempatkan dan menyisihkan dua jam dalam kurun waktu seminggu. Bukan sehari, tapi seminggu.
Kita jauh? Tidak. Hanya sepuluh menit untuk bisa bertemu.

Sampai pada akhirnya kita beneran jauh. Jarak yang menjadi penghalang rindu yang menggebu. Rasa hendak bersua kerap sekali hadir memecah benakku. Tapi bagaimana caranya?

Aku selalu percaya bahwa komunikasi adalah kunci utama sebuah hubungan. Dan karena itu aku ingin kita selalu menerapkan itu untuk saling mempertahankan hubungan ini. Bicaralah. Meski itu dalam keadaan apapun.
Tiga bulan lamanya sang jarak menjadi perantara bagi kita. Ini sama sekali tidak mengurangi kadar perasaanku padamu. Sama sekali tidak. Bahkan semakin meningkat saat telingaku menangkap suara di seberang telefon. Suara yang mampu meredam rindu yang bergejolak hebat.
Selalu ada rasa kantuk yang menyerang saat aku berusaha untuk menemanimu mengerjakan tugas. Berulang kali kamu bertanya, berulangkali juga aku membohongimu bahwa aku-masih-belum-mengantuk.
Jarak dan sinyal. Dua paket yang tak terpisahkan itu seakan mencoba menghancurkan tembok kokoh yang telah kita bangun bersama.
Aku membenci sinyal. Aku membenci jarak. Namun percayalah, aku adalah seorang pejuang LDR yang tangguh.

Ada tatapan mata yang mendalam yang merasuk dan mencoba menghentikan denyut nadiku. Tatapan kedua mata yang selalu ku nantikan setiap malam.
Mulai hari itu, sinyal dan jarak telah letih menghampiri kita. LDR itu telah usai.
Kita adalah kebersamaan yang dekat.

Walaupun hanya seminggu saja kebersamaan itu hadir untuk kita, lagi-lagi aku harus memasang label sebagai Distancer saat menemanimu di terminal. Melepasmu untuk pulang menemui keluarga di sana. Meskipun ada genangan air yang siap untuk jatuh di ujung mata.

Namun, aku percaya. Jarak jauh itu yang membuat kita semakin terasa dekat.

Hari itu, tepat sebulan semenjak aku menyaksikanmu pergi di terminal, kamu kembali lagi di sini. Mencairkan segala kebekuan yang tertinggal semenjak aku berusaha menepiskan rasa cemas dan rindu itu.
Di bawah sorotan lampu jalanan. Di bawah rintikan hujan yang dengan derasnya mengguyur jalanan kota. Aku dan kamu tengah berteduh di depan emperan toko. Hampir saja kebasahan.
Lagi-lagi hujan menjadi saksi tentang kebersamaan kita. Dan aku berharap agar suatu saat nanti sang hujan dapat mengulas kembali momen indah ketika itu.
Aku pernah melukiskan angan, mengukir impian. Berharap langkah kaki kita mampu beriringan bersama hingga derap kaki kita dapat memecahkan keheningan angkasa. Dengan tawa yang menggelegar, senyuman konyol yang melekat, juga tangan yang saling mengenggam.


Tidak sampai seratus hari setelah hujan dan kita yang berteduh itu, ada hal yang seakan sedang mencoba merayapi  titik kesabaranku. Menguji sampai sebatas apa aku bertahan.
Berkali-kali aku lelah dengan berpura-pura tenang dengan keadaan seperti ini. Hei, itulah hebatnya seorang perempuan. Mampu menutupi keadaan yang seburuk apapun dengan topeng penuh eksrepi bahagia. Seolah sedang baik-baik saja.
Seperti yang sudah pernah ku bilang dahulu, aku sama sekali tak pernah merekrut semua waktumu jika hanya untuk dihabiskan bersamaku. Hanya saja, kita harus saling bisa membagi waktu.
Kenyataannya tak lagi sama. Berbeda 360 derajat.

Tidak ada lagi tawa dan cerita konyol yang memenuhi telingaku. Tidak ada lagi Sabtu-Minggu bersama. Tidak ada lagi curhatan protes, sebal dan lucu yang dulu kerap sekali kita perbincangkan.
Masih kukecap jelas raut wajah terbahak-bahak kita saat menyaksikan aku yang terjatuh ketika mengenakan heels. Aku malu bukan main, sementara kamu tertawa dan kemudian menenangkan rasa maluku.

Percayalah, saat ini aku sudah mulai terbiasa dengan cara seperti ini. Kita yang saling acuh tak acuh.
Aku yang dulu selalu menghela nafas saat tidak ada sms darimu di pagi hari, kini mulai terbiasa. Bukan, bukan aku membalas dendam dengan perlakuanmu itu padaku. Tidak seperti itu.
Hanya saja aku lebih memilih untuk tidak membuat rumit keadaan ini. Itu saja.

Hei, bukankah jarak dan sinyal kini telah menjauh dari kita? Kita sudah terbebas dari dua hal itu bukan?

Namun kenapa aku masih merasa kita adalah jarak yang jauh.
Sangat jauh.
Dan entah untuk yang keberapa kalinya.

Aku akan mengikuti alurmu.


Ah udah ah. Ntar yang baca pada baper.

Share
Tweet
Pin
Share
41 comments
Alhamdulillah keputusan yang akan gue ambil di postingan kemarin tidak terwujud dalam waktu dekat. Yaiyalah, masak gue harus menikah di usia yang sekarang ini. Mens juga belum. Masih delapan taon qaqa.

Dan alhamdulillah, di tahun ini gue mulai menyandang status sebagai mahasiswi. Itu berarti satu minggu gue akan full dengan kegiatan. Nggak ada istilah hari Minggu santai, bisa leyeh-leyeh di rumah. Nggak ada istilah bobo siang di hari Sabtu.
Berhubung di hari Sabtu gue kerja setengah hari, biasanya gue selalu menyempatkan diri untuk bobo siang sepulang dari kerja. Hitung-hitung untuk persiapan di malam minggu. Biar nggak ngantuk. Biar bisa tidur agak larut malam. Ya meskipun cuma mantengin hape. Nggak apa-apa.
Dan semua kegiatan indah yang gue harapkan di hari Sabtu dan Minggu itu bakalan hilang dan terisi dengan kegiatan kuliah.
Lah terus kapan gue istirahatnya? Nanti saat tanggal merah.

Sabtu kemarin gue minta izin pulang cepat ke atasan. Yang biasanya pulang jam 1 siang, hari itu gue pulang jam 12 siang. Soalnya jam 1 udah masuk kuliah umum. Informasinya begitu.
Posisi letak kampus bisa dibilang cukup dekat dengan rumah. Kira-kira begini gambarannya.

Kantor----------------------------------------------- Rumah-------Kampus.

Daripada pulang kerja langsung ke kampus, mending gue pulang ke rumah dulu. Toh bakal ngelewatin rumah juga nantinya. Sekalian makan siang juga sih.
Sesampainya di rumah. Dewi Fortuna sedang berpihak ke gue.
Rumah sepi. Kosong. Hanya pintu dapur yang terbuka. Ternyata ibu dan kakak sedang ke pasar. Otomatis, ibu nggak masak. Otomatis lagi, nggak ada yang bisa gue makan. Mantap.

Jam 1 kurang 15 menit, gue langsung otewe ke kampus. Awalnya gue ragu, ini kampus kok sepi. Apa gue yang terlambat? Atau gue salah kampus?
Untung saja, oom datang menghampiri gue.
  '' Loh Lan, masuknya nanti jam 2. Kenapa datang sekarang? ''
Gue menelan ludah. Cengengesan.
  '' Yaudah, Wulan nunggu aja deh om. ''

Kurang teladan apa gue coba?
Kurang teladan ndasmu.


Cukup lama gue menunggu di lantai bawah. Mana perut keroncongan, nggak bawa minum, batuk-batuk. Sampai akhirnya seorang maba datang menghampiri gue. Cewek. Cantik. Baik. Imut. Manis. Unyu.
Hingga pada akhirnya gue tersadar, kalo itu adalah wujud gue yang terpantul dari dinding kaca pintu. Uhuk.

Sekitar jam dua kurang, ada dua orang maba yang masuk. Duduk di samping gue. Kita kenalan, saling menyebutkan nama, menyebutkan alamat, menyebutkan minuman kesukaan, warna favorit, zodiak, cita-cita, hobi dan kesan juga pesan.
Gue terkejut saat mbak-mbak bagian administrasi menyebutkan nama gue. Mempersilahkan gue duduk di hadapannya. Satu hal yang gue takutin. Menatap matanya. Gue takut jatuh cinta.
  '' Ini silahkan tandatangan di sini, '' ujar si mbak-mbak.
Dengan penuh ekspresi gue menandatangani selembar kertas yang disodorkannya. Corat-coret, sret-sret jadilah tanda tangan gue.
  '' LOH KENAPA DI CORET? '' Mbak adm protes. Gue cengengesan.
Sebenernya tanda tangan gue memang rame, penuh, berantakan juga. Di tambah dengan gerakan cepat tangan gue yang terlihat seperti mencoret-coret kolom tandatangan.
  '' Hehee, kan tanda tangan mbak. Ya memang gini tandatangan saya. ''

Padahal dalam hati gue pengen ngomong, '' YA SUKA-SUKA GUE DONG. TANDATANGAN JUGA TANDATANGAN GUE. LEMPAR GOLOK NEH ''

Setelah mengucapkan itu, gue kembali duduk ke tempat semula. Di samping maba yang baru gue kenal tadi.
Gue duduk tenang sambil sesekali mengedarkan pandangan ke muka-muka maba. Saat gue menyandangkan tas ke pundak, oh no. Tali tas gue copot.
Memalukan. Untung saja masih ada tali lainnya.

Tepat jam setengah tiga, para maba naik ke lantai atas. Setengah tiga gaes. Gue datang ke sana jam satu. Satu setengah jam pantat gue panas duduk di kursi. Huh.
Hari itu pembelajaran belum di mulai. Masih perkenalan tentang bagaimana dunia perkuliahan, sistemnya blablablaa dan berakhir pada jam empat.


***


Hari Minggu ini mbak Yoan, sepupu yang sudah dua minggu tinggal di rumah gue akhirnya memutuskan untuk pindah ke kosan. Itu artinya gue harus menemani mba tidur di kosannya.
Setelah beres-beres hingga jam 2 siang, kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Dengan kondisi seperti ini, gue merasa jiwa memasak gue lebih ditantang. Siapa takut. 
Gue akhirnya langsung memutuskan untuk memasak nasi. Ya memang cuma bisa masak nasi sih.
Saat gue sedang memasak nasi dengan khidmat, mbak Yoan terdengar menjerit dari dalam kamar mandi.
   '' HUAAA ADA KODOK!.. HAAAAA ''

Mbak Yoan ngacir ke luar dari kamar mandi.
Melihat hal itu, gue dengan gagah berani langsung mencari tongkat kayu yang panjang dan bergegas masuk ke kamar mandi.
   '' Mana kodokya mbak? '' Di situasi seperti ini gue jadi merasa macho. Gagah abis.
   '' Itu Lan, di balik pintu. ''
Benar saja. Ada seekor kodok dengan perut yang gede sedang berdiam diri di balik pintu kamar mandi. Gue langsung saja menyodok-nyodok kodok tersebut dengan mengarahkan arah lompatannya menuju pintu keluar belakang. 
Dengan penuh perjuangan hingga titik darah penghabisan, akhirnya kodok tersebut berhasil ke luar dari rumah.
Gimana? Gue udah cocok belum bikin acara di tipi. Pengganti acara Petualangan Panji.
Jangan heran kalo suatu saat nanti ada acara, '' Wulan Si Penakluk Kodok '' dalam tayangan tipi kalian semua. 
Keren abis. 


Sore harinya, gue dan mbak keluar untuk membeli jeruk. Berhubung si penjual jeruk adalah orang Padang, mbak Yoan yang memang berasal dari Padang dengan fasih bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Padang.
Gue cuma melongo.
Saat si penjual menunjuk bagian tumpukan jeruk yang bentuknya kecil, gue langsung ngomong dengan pedenya.

  '' KETEK BANA. ''

Si penjual langsung menoleh ke gue. Mbak Yoan juga. Beberapa pembeli juga menoleh ke gue.
Ketek dalam bahasa Padang artinya berukuran kecil.
Jadi maksud gue, itu jeruk yang di tawari si penjual terlalu kecil. Gue nggak suka yang kecil-kecil. Maksud gue, kalo jeruknya kecil otomatis bijinya kecil. Gue nggak suka biji yang kecil. Maunya yg gede kayak biji salak.
Kalo jeruk yang gede, pasti bijiinya juga gede kan. Jadi nggak khawatir kalo keselek saat memakannya.
Gitu.

Selama di perjalanan pulang, gue masih nggak tau kenapa tadi orang-orang pada ngeliatin gue saat gue dengan sok berbicara dengan bahasa Padang.
Apa karena ucapan gue yang salah? Karena intonasi gue yang nyaring? Atau karena gue ketahuan nyicipin 2 jeruk tadi?
Entahlah.

Selang beberapa menit, akhirnya kita sampai di kosan.
Sebenernya ini bukan kosan kalau melihat bentuk tempat tinggal yang di tinggali oleh Mbak.
Kosan ini cukup luas. Ada ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur dua, kamar mandi dan dapur yang cukup gede. Iya dapurnya beneran gede. Nggak tau kenapa.
Kayak kontrakan. Cocoknya sih ditempati untuk orang yang sudah berkeluarga.
  Kalo aku dan kamu, kapan bikin keluarga?

Satu hal yang sempat bikin gue kesal. Pintu  kosannya berat banget. Sempat terlintas di fikiran gue saat hendak menutup pintu kosan, Ini pintu atau beban kehidupan? Berat amat.
Itu masih pintu kosan. Beda masalah dengan pintu kamar. Betewe kita tidurnya di satu kamar. Masih takut meskipun ada dua kamar di kosan ini.

Masalah yang mucul kembali di malam itu adalah,
Pintu kamarnya nggak bisa di kunci dari dalam. Bagus. Kalo ada orang asing yang masuk ke kamar gimana?
Kan serem.
Gue dan Mbak Yoan sama-sama panik. Saling berpandangan.
  '' Duh, gimana dong mbak? ''
  '' Iya Lan,Mbak bingung juga nih. Nguncinya susah kali. ''
Hampir 10 menitan, gue dan mbak sibuk mendorong-dorong pintu, buka-tutup, colokkin kunci, puter sana-sini tapi tetep nggak bisa.
Saat itu yang ada di pikiran gue cuma, menurunkan anu. Maksud gue, menurunkan posisi lubang yang ada di kusen pintu. Gue udah nyoba nurunkan pake tangan. Dengan cara memukul-mukul tangan gue ke besi di lubang itu. Yang ada tangan gue malah sakit.
  '' Mbak, ada palu nggak? '' tanya gue.
Mbak Yoan menggeleng. Gue melihat ke sekeliling. Ada obat nyamuk semprot. Kayaknya kuat nih untuk di pukul-pukul ke lubang besi di kusen pintu.
Baru dua kali pukulan, gue berhenti.
Suara pukulannya terlalu kuat. Takut menganggu tetangga sebelah. Lagian sudah malam juga.
  '' Aduh, gimana ya Lan. Masak kita tidur dengan pintu kamar yang nggak di kunci. Takut. '' Mbak Yoan tetep terlihat bingung.
Gue diem beberapa detik sebelum akhirnya mengambil kunci motor. Membuka jok motor. Mengambil obeng yang ada di sana.
Mengotak-atik lubang pintu. Menekan lubang pintu dengan kuat.

  '' Bisa Lan? ''

Gue diem.

  '' Gimana Lan? Payah nggak? ''

Gue diem. Sibuk konsentrasi demi menyelamatkan tidur kami malam itu.

Selang beberapa lama.
  '' Coba dulu mbak. '' Gue mengambil kunci dari tangan Mbak Yoan.
Dan UHLALAA
Alhamdulillah ya. Pintunya bisa di kunci.


Gue baru menyadari suatu hal. Kayaknya mulai besok gue bakal membuka jasa yang bernama,
 ' Jasa Perbaikan Pintu '.
Bisa memperbaiki :
- Pintu kamar tidur
- Pintu kamar mandi
- Pintu kulkas
- Pintu lemari
- Pintu brankas
- Pintu hati
- Dan pintu surga bagi anak-anak kita kelak.
Ailofyu.



Jam setengah sembilan, akhirnya kita memutuskan untuk tidur dengan penerangan redup dari lampu tidur hello kitty yang dipasang oleh Mbak Yoan.
Serem tau. Malam-malam. Lampu kamar dimatikan dan diganti dengan cahaya lampu redup dari lampu tidur hello kitty.
Hello kitty mana yang bisa mengeluarkan cahaya? Cahaya putih lagi. Serem.
Lebih terlihat seperti  Hello Kitty yang kena kutukan penyihir jahat.
Terkadang ngerasa serem dan kampungan itu memang beda tipis.

Lagi enak-enak hendak memejamkan mata, gue terkejut saat mendengar teriakan dari luar.
  '' MALIING.. MALING ! ''

Gue dan mbak sontak bangun lalu terduduk di atas kasur. Saling bertatapan panik.
Tidak sampai dalam hitungan menit, di luar sudah terdengar ribut. Suara ibu-ibu yang membicarakan maling,, anak-anak kecil, suara rumpi ibu-ibu yang super nyaring, suara obrolan bapak-bapak dan anak remaja lainnya yang masih membicarakan seputar kejadian maling barusan, semuanya terdengar ricuh sekali, bahkan gue sampai mendengar suara percakapan,
  '' Bapak kamu maling ya? ''
  '' Kok tau? ''
  '' Karena kamu telah memaling hatiku. ''

Ternyata itu suara abang-abang tetangga sebelah yang lagi mojok pacaran dengan kekasihnya.

Dan gue baru tau, ternyata begini amat yak jadi anak kosan. Serba parno.
Kangeeen rumah.

Share
Tweet
Pin
Share
44 comments
Gue bingung. Apa yang salah dengan mulut gue.
Akhir-akhir ini gue sering banget salah manggil orang. Kalo salah manggil nama, dari Rina ke Sari sih nggak apa-apa. Bisa dimaklumin. Kali aja gue lupa namanya, lupa karena wajahnya yang mirip. Wajar sih.
Yang gue alamin beda.
Gue sering salah memanggil kata sapaan.
Kayak kemarin, oom gue dateng ke rumah. Setelah bercerita cukup panjang, gue sempat merespon obrolan oom dengan ucapan,
   '' Hehe, iya bang. Tapi om, blablabalaaa... Gitu bang. ''
Bang? Abang?
Gue malu. Untung sama oom sendiri.
Nggak hanya itu. Kemarin gue beli jajan di Indomaret. Kasir yang bisa gue lihat adalah seorang cowok. Ganteng. Kalo ngeliat si kasir, bawaannya pengen bikin kartu keluarga aja deh.
Setelah membayar, si kasir ganteng langsung memberikan kembalian uang ke gue seraya berkata,
  '' Ini sayang kembaliannya. Terimakasih. Ailofyu. ''

Enggak deng.

Si kasir ganteng ngomong, '' Ini mbak kembaliannya. Terimakasih mbak. ''
Gue dengan pedenya menjawab, '' Sama-sama mbak. ''
Selangkah, dua langkah keluar dari pintu Indomaret gue baru sadar. Gue salah manggil. Heran deh. Kenapa mulut gue bisa dengan santainya ngucapin kata 'mbak' ke mas-masnya. Huwaaa  malu.

Tadi malam gue, LAGI LAGI salah ngomong ke orang.
Sekitaran jam delapan, ada ibu-ibu dengan dua orang anaknya berdiri di depan rumah gue. Gue langsung keluar saat melihat ada orang yang berdiri di teras.
  '' Numpang berdiri di sini ya dek, '' ujar si ibu-ibu sambil duduk di kursi depan rumah gue.
  '' Iya buk, masuk aja Bu. Di luar banyak nyamuk. '' Gue sok perhatian gitu. Kali aja si ibu punya anak cowok ganteng, trus si ibu berniat untuk menjodohkan gue dengan anaknya. Ya kali aja.
  '' Enggak dek, di sini aja. Nggak apa-apa kok. ''
  '' Yaudah Pak, saya masuk dulu ya. '' Gue pun ngacir masuk ke kamar. Meneruskan bertapa.

Pak?
Gue-memang-bego.

Sudah banyak sekali kejadian-kejadian memalukan itu terjadi. Yang seharusnya, 'Pak', malah gue panggil, 'Bu'. Seharusnya, 'Mas', malah gue panggil, 'Mbak'. Gue cuma takut salah nyebut. Kan nggak lucu kalo suatu saat gue keluar dari parkiran sambil nyodorin duit seribu ke tukang parkir, trus ngomong,
  '' Ini duitnya. Makasih Beb. ''
Trus abang tukang parkirnya ngeliatin gue. Gue ngeliatin abang tukang parkir.
Mata bertemu mata. Kita saling tatapan. Jatuh cinta.
Kemudian menikah dan hidup bahagia selamanya.
End.

Gue nggak tau. Apa ini ada hubungannya dengan faktor usia, tanda-tanda hari kiamat sudekat, kepikunan, kelemahan atau mungkin gue butuh refreshing.
Kayaknya jawaban yang tepat yang paling akhir deh. Mastin, good.

***

Oh ya, kemarin ada kejadian menegangkan saat malam takbiran. Malam sebelum lebaran Idul Adha.
Malam itu gue sedang asyik dengan dunia gue sendiri. Minum susu, ngemil biskuit, selimutan di sofa sambil membaca anu. Membaca buku. Malam itu, daun pintu hanya di buka setengah oleh ayah. Yang satu tertutup, sedangkan yang satu lagi terbuka. Nggak tau apa tujuan ayah melakukan itu. Mungkin ayah sedang menerapkan sistem dengan satu jalur kepada para nyamuk. Untuk menghindari macet.
Gue yang sedang khusyuk melakukan ritual tersebut dikagetkan dengan suara heboh orang-orang yang berteriak kenceng.
Teriakan yang pertama kali gue denger,
  '' Toloong, toloonng ! ''
Gue dengan mantap ngomong dalam hati.
  '' Oh, mungkin lagi diperkosa. ''

Teriakan kedua semakin kencang. Yang gue denger,
   '' Itu ada Bali. ''
Gue bertanya dalam hati.
 '' Bali? Bule dari Bali maksudnya? Ada bule ganteng dari Bali? '' 

Demi melihat si bule ganteng dari Bali, akhirnya gue nekat menyudahi sementara ritual tersebut. Gue beranjak keluar bersamaan dengan teriakan ketiga yang kali ini lebih jelas gue dengar.
  '' TOLLOONG, ITU SAPINYA LARI ! ''
Benar saja pemirsa. Seekor sapi terlihat lari-lari melewati jalan depan rumah gue. Larinya kenceng bener. Gue cuma bisa ngakak geli sambil melihat bagian belakang sapi yang berlari melewati rumah gue.
Satu kalimat yang terlontar dari mulut gue,
  '' Ebuseet, belakang sapinya montok banget. ''

Beneran deh. Sapinya montok. Sehat dan bergizi banget.

Setelah si sapi sadar bahwa jalur larinya salah karena berhadapan dengan jalan buntu, si sapi akhirnya memutar arah dan berlari melewati jalan samping rumah gue. Orang-orang yang ngejar terlihat kewalahan menghadapi si sapi tersebut.
Gue mendekat saat melihat si sapi lari melewati jalan samping rumah gue. Otomatis gue bisa melihat si sapi dari bagian depan.
Gue ketawa kenceng. Satu kalimat lagi yang terlontar dari mulut gue,
  '' Gilaaa, luar biasa. Dadanya montok bingits. ''

Sumpah, gue geli banget. Bayangin aja, ada sapi gemuk, dagingnya padat, badannya montok, sedang lari-larian. Badannya bergelambir goyang-goyang gondal gandul gitu. Lucu. Hahaa.


***

Besok harinya setelah kejadian lucu itu, adalah hari Idul Adha.
Seperti orang-orang biasanya, gue bangun, mandi dan langsung ke mesjid untuk melaksanakan sholat Idul Adha.
Sepulang sholat, gue makan lontong. Trus tidur sampai jam empat sore. Makan lontong lagi, makan kerupuk, makan lontong, trus makan lontong dan makan lontong.
Asli, nggak ada momen yang wow yang gue lakukan. Soalnya gue ingin memanfaatkan hari libur itu dengan sebaik mungkin. Jarang-jarang gue bisa libur gini.
Sebenernya nggak ada gunanya sih gue nulis yang bagian ini. Hahaa

Dan malam harinya. TARAAAA

Gue bingung.
Jadi gini, sebelumnya ibu dan gue udah sibuk nyari info tentang pendaftaran masuk kuliah. Denger-denger bukanya awal tahun depan.
Tapi semuanya berbeda saat oom gue yang tadi malem datang ke rumah. Kebetulan si oom tahu bener dengan info perkuliahan di sana. Dan si oom bilang kalo tanggal 26 besok jadwal masuk hari pertama untuk kuliah umum bagi mahasiswa baru. Itu artinya besok, Hari Sabtu. Bener-bener mendadak.
Betewe, gue ambil kuliah Non-reguler. Hanya di hari Sabtu-Minggu.
Dan ibu menyuruh gue untuk masuk kuliah di tahun ini. Raisa bingung dong.
Oom dengan bersenang hati bakal mengurus semua pendaftaran gue. Oom gue baik ya. Ganteng, tinggi, kul. Minat, PING!

Gue bingung karena beberapa hal.

1. Ambil kuliah tahun ini.
    Kalo gue ambil kuliah tahun ini, itu berarti besok gue sudah masuk kuliah. Hari pertama. Sementara        tanggal 9 sampai 13 Oktober gue akan pergi ke Padang. Menghadiri acara wisuda kakak. Lumayan, bisa    liat-liat abang ganteng di sana. Bisa jalan-jalan juga, seperti yang gue bilang di atas. Gue-butuh-refreshing.
 Nah, kalo gue pergi ke Padang, itu artinya di minggu ketiga kuliah, gue harus izin dong karena nggak bisa masuk. Yakali baru masuk kuliah gue langsung izin. Huaaa

2. Ambil kuliah tahun ini dan tidak ikut ke Padang.
    Oke, gue ambil kuliah tahun ini dan gue men-cancel pergi ke Padang. Ya meskipun gue bakal tinggal berdua dengan sekardus mie di rumah. Masalahnya sih bukan itu, sebenernya dari jauh hari gue juga udah mengajukan permohonan cuti ke kantor karena acara wisuda kakak di Padang bulan depan.
Belum di acc sih, kalo di acc trus gue nggak jadi ikut ke Padang gimana?
Rugi dua kali dong. Huaaaa

3. Tidak ambil kuliah tahun ini dan ikut ke Padang.
    Hmm, sayang umur.

4. Tidak ambil kuliah tahun ini dan tidak ikut ke Padang.
    Kalo ini sih, bego namanya.

Gue bingung gaes.
Dari tadi gue bener-bener bingung mikirin itu. Dan setelah gue menimang-nimang resiko apa saja yang akan gue terima dari beberapa poin keputusan di atas, akhirnya gue berniat untuk mengambil satu keputusan.


Yaitu:




MENIKAH.





Share
Tweet
Pin
Share
36 comments
Dulu sewaktu kecil gue bandelnya nau'udjubillah. Minta digaplok banget. Untung ibu baik, masih mengangap gue sebagai anaknya.
Sewaktu SD dulu gue punya geng gitu. Hanjir, anak esde udah punya geng segala. Gengnya terdiri dari tiga cewek alay sok gaoel. Gue, Nila dan Asti.

Dulu sewaktu esde gue tinggal di perumahan komplek RAPP gitu. Rumah gue nomer tiga, rumah nila nomer lima dan rumah Asti nomer enam. Cocok deh. Satu geng, rumah deketan.
Kami bertiga kemana-mana pasti barengan. Mandi bareng, tidur siang bareng, makan bareng. Kadan makan malam juga bareng.
Kalo hari ini jadwal makan di rumah Asti, selesai magriban gue langsung keluar bawa piring isi nasi dan gelas air minum ditangan. Kayak orang kesenengan yang baru dapat sumbangan makan.
Asti ini orang jawa banget. Hitam manis. Anehnya, Asti nggak pernah mau makan sayuran atau ikan. Bahkan gue dan Nila udah terbiasa saat ngeliat Asti makan hanya dengan kerupuk dan kecap. Padahal ibunya masak yang enak-enak di rumah. Alhasil, siapa lagi yang makan makanan hasil masakan ibunya Asti kalo nggak gue. Mantap.

Kebiasaan gila kita saat bulan ramadhan adalah ritual makan mie. Sebelum adzan isya, sahutan panggilan nama gue pasti udah kedengaran dari luar. Dan itu pertanda bagi gue untuk ngambil mukenah dan buru-buru ngambil duit gopek. Untuk apalagi kalo bukan untuk beli mie.
Gue, Nila dan Asti jalan dengan gagahnya menuju warung. Beli mie goreng. Waktu itu harga mie masih seribulimaratusrupiah. Jadi tiap orang harus punya duit gopek untuk bisa mendapatkan satu bungkus indomie.
Selesai isya, seperti biasa akan ada sedikit ceramah dari sang ustadz sebelum masuk ke sholat tarawih.
Dulu saat masih esde, gue masih diberikan tugas dari pihak sekolah di bulan ramadhan. Iya, bener. Mencatat ceramah di buku agenda ramadhan. Selesai isya, kami bertiga ngumpul di shaf paling belakang. Mendengar satu judul yang akan diucapkan sang ustadz di mikrofon mesjid.
  '' Jadi, judul ceramah kita malam ini adalah, Kemuliaan Bulan Ramadhan. ''
Kita bertiga langsung menulis judul dengan sigapnya di buku agenda ramadhan. Bodo amat dengerin ceramahnya, ntar masih bisa ngarang sendiri kok atau bisa juga nyontek punya temen lain/
 Yang penting udah tau judulnya. Beres.
 Usai menulis judul,  kita bertiga melesat menuju kamar mandi mesjid.

Ritual pun dimulai.
Tutup pintu kamar mandi.
Nyalain keran air, biar dikira beneran ada yang orang yang ngambil wudhu di dalamnya.
Asti ngeluarin sebungkus mie.
Nila ngeluarin gunting.

Dan gue yang mengaduk dan mencampurkan semua bumbu mie ke dalam mie mentah tersebut. Dan jadilah kokokrunch. Di sini udah keliatan banget ya, jiwa dan aura masak memasak gue keluar. Mie hasil campuran tangan gue bener-bener lezatos.

Berasa jadi Farah Quin.


Enak gaes. Semua aroma bercampur menjadi satu. Aroma wc, aroma bak kamar mandi, aroma nafas Asti yang masih beraroma es cendol ketan duren. Pokoknya kesemua aroma itu jika digabungkan akan membentuk suatu reaksi kimia.

Reaksi kenyang.

Kita bertiga dengan lahapnya memakan sebungkus mie itu dengan keganasan. Heran deh. Padahal baru selesai buka puasa juga, kok masih laper aja ya. Pengaruh aroma wc mungkin.

Prinsip kami bertiga adalah, '' Pantang keluar, sebelum habis.''
Dan kami bertiga sebagai murid teladan, cerdas dan berwawasan luas selalu menerapkan prinsip itu di kehidupan.
  '' Baiklah, para jamaah sekalian. Ceramah malam ini cukup sampai disini. Semuanya telah berakhir. Buat apa dipertahankan jika hanya membuat luka hati. CUKUP SAMPAI DI SINI! ''

Antara ngingat sinetron tadi siang dengan denger ceramah yang sayup-sayup dari kamar mandi mesjid.
  '' Wassalamualaikum. '' Akhirnya suara ceramah sudah tidak kedengaran lagi. Dan itu  seolah menjadi bel pertanda masuk ke dalam mesjid bagi kami bertiga, si calon penghuni neraka. Udah nggak dengerin ustadz ceramah, malah makan mie di kamar mandi, nyalain air keran sampe selesai makan mie, buang-buang air. Dasar. Cewek-cewek cakep.

Karena tadi nggak sempat mendengar dan mencatat ceramah di buku agenda ramadhan, akhirnya kami bertiga harus meminjam dan  menyalin buku catatan temen. Biasanya yang jadi langganan kami adalah buku milik Novi. Novi ini anaknya kalem banget. Penurut. Cantik. Calon istri sholehah gitu.
Dan karena kesibukkan mencatat hasil ceramah, kita bertiga nggak sempat melakukan sholat tarawih.
Keren. Nambah satu dosa. Di mesjid. Di bulan ramadhan.
Sebenernya, di rakaat sholat keempat dan kelima kami sudah bisa ikut melakukan tarawih. Soalnya catatan yang dicontek cuma sedikit. Buku agenda ramadhannya juga kecil. Jadi enak kalo mau nulis. Tapi nggak juga sih. Kadang karena males nulis, gue sengaja nulis huruf dengan ukuran besar. Baru nulis sebaris, eh udah gue sambung dibaris berikutnya. Sebenernya bukan karena males nulis sih, tapi karena banyak banget godaan syaiton yang ada di sekeliling gue. Ada yang ngajak ngerumpi, ada yang ngajak berburu takjil sisa di depan. Gue yang kuat iman dan tahan godaan, YA ENGGAK MUNGKIN NOLAKLAH.

Kebiasaan kita sebelum pulang tarawihan dan keluar dari mesjid adalah menendang-nendang sendal para jamaah yang sholat. Nggak tau deh, mau itu sendal Pak erte, Bu lurah, Pak ustadz, gebetan pak erte, mantan pak erte, cowok kece, ibu-ibu,
POKOKNYA TENDANG.
 TENDANG SAJA.
BEBAAASSS.
Gue dengan gaya ala ronaldowati, heboh nendang sendal kesana sini. Pokoknya sampe puas dan sendal itu masuk ke parit atau ke tempat sampah, baru deh kami seneng. Ketawa cekikikan.
Kadang juga ada yang ngumpetin sendal ke dalam tanaman pagar yang tumbuh mengelilingi mesjid.
Malam. Gelap. Banyak nyamuk. Tanaman pagarnya tinggi. Rimbun. Daunnya lebat.
Sungguh malang sekali nasib si pemilik sendal itu saat mengetahui sendalnya ada di dalam tanaman pagar. Pukpuk.

Setelah capek, akhirnya kita memutuskan pulang kerumah masing-masing.
Pernah suatu kali, gue pulang lama karena menunggu kakak gue yang masih ngerumpi dengan temannya di halaman mesjid. Sementara, teman se-genk. Hasek bahasanya. Nila dan Asti sudah lebih dulu pulang. Dan gue bener-bener nggak tega pas ngeliat pak ustadz sekaligus guru ngaji gue celingukan kesana sini nyari sendalnya yang hilang. Astaga. Berarti ada sendal pak ustadz yang ikut kami tendang tadi.
Bagus. Dosa gue, nambah. Lagi.

Yang anehnya, beberapa bulan kemudian istri pak ustadz melahirkan seorang anak perempuan. Dan nggak tau kenapa, pak ustadz menamai anaknya dengan nama 'Wulan'.
Gue pengen teriak,
ITU NAMAA GUEEEH !!
Tapi nggak jadi. Gue tau, pasti ada alasan kenapa pak ustadz menamai anaknya dengan nama yang sama seperti nama gue. Mungkin supaya nanti anaknya tumbuh besar dengan cantik dengan memiliki perilaku baik kayak gue.
perigut~

***

Bukan hanya di bulan ramadhan. Di hari hari lain gue juga tetep bandel. Waktu esde, gue paling seneng kalo sholat zuhur di mesjid. Selesai sholat zuhur, kami bertiga pasti dikasih jajan sama orangtua. Biasanya kami memilih untuk beli es. Siang-siang, pulang zuhur makan es. Mantap.
Jangan kira, karena dikasih duit untuk beli es, sholat zuhur gue jadi khusyuk. Enggak. Gue, Nila dan Asti tetep bandel.
Gue saat itu sedang sholat di shaf paling depan bagian shaf makmum wanita. Otomatis, didepan gue ada tirai sebagai pembatas shaf antara wanita dan laki-laki.
Pas gue sujud di rakaat pertama, JLEDUK.
Jidat gue sakit. Ada sebuah kaki yang nongol di balik tirai pemabatas itu. Kaki anak kecil. Kelihatannya anak kecil itu sedang dalam posisi telungkup.


Dengan menahan sakit perih di jidat, gue langsung mendekati kaki anak tersebut.
HIYAAAT .. Rasakan ini, jurus rasengan !

Ciyut.
Tangan gue sukses mencubit paha belakang anak kecil tersebut. Anak tersebut nangis heboh. Rasain lu.
Seusai zuhur, gue yang sedang berjalan lenggang keluar bersama Nila dan Asti mendengar suara anak kecil dari belakang. Gue menoleh.
  '' Itu tuh, kakak itu tuh. '' Anak kecil itu menarik tangan bapaknya dan menunjuk-nunjuk gue.
Mampus gue.

***

Suatu hari, genk A dan genk B berantem hebat. Ada yang bawa parang, golok, bambu runcing, mata rantai de el el. Gue dengan pedenya keluar dengan membawa sebuah gir ditangan. Gir minjam punya Darma.
Berasa keren gitu.
Karena genk A dan genk B terdiri dari anak anak cewek esde, maka itu semua nggak akan terjadi. Berantem antar genk itu hanya dilakukan dengan adu mulut, saling ejek, saling bikin yel-yel.
Yang gue inget yel-yel genk gue kayak gini nih,

  Mana orangnya, tuh, tuh, tuh   (nunjuk genk musuh)
  Kasi pantatnya, nih,nih,nih       ( Mamerin pantat)
  Ejek orangnya, wek,wek,wek  (Julurin lidah)

Nggak tau kenapa, pas di lirik akhir suara gue lebih kedengeran mirip orang lagi ngeden karena susah boker. Miris.
Setelah yel-yel genk gue selesai, kini giliran genk B yang akan mempertunjukkan yel-yelnya. Kurang lebih kayak di acara tim kuis gitu. Tinggal nyari juri aja lagi untuk nentuin siapa pemenang yel-yel terbaik.
Berantem antar genk nggak sampe di situ aja. Seusai magriban di mesjid, gue, Nila dan Asti pulang dengan melewati rumah milik musuh dari genk B. Kita sebut saja namanya Sintia. Memang Sintia sih.
Entah karena sebab apa, kami bertiga berbuat baik malam itu. Jarang banget ada anak-anak yang mengutip sampah plastik, dedaunan di malam hari seperti ini. Memang, genk gue adalah genk anak baik.
Dan entah ide gila darimana, akhirnya kami memutuskan untuk mengumpulkan sampah-sampah itu menjadi satu di tempat yang layak. Iya, di teras rumah Sintia.
Mampus lu. Rasain. Udah yel-yelnya jelek lagi. Cemen ih.

Sebelum melangkah jauh, gue sempat mengambil batu dan melemparkannya ke rumah Sintia.
PRAAANGG.

Suara kaca pecah.
Mati gue.

Setengah jam kemudian, gue yang lagi duduk anteng sambil nonton tv dengan senyuman puas karena telah sukses melakukan misi terlaknat tersebut dikejutkan dengan suara cempreng Asti.
  '' Kenapa Ti? ''
  '' Itu, ayah Sintia datang ke rumah Asti. Marah-marah. Gimana dong?  Huwaaaa ''

Asti mewek ketakutan. Gue yang saat itu melihat Asti mewek, cuma bisa berpura-pura steikul. Dalem hati ngomong,
  '' Gue yang mecahin kacanya aja, nggak sampe mewek ketakutan itu. Ta-tapi... HUWAAAAAAA ''
Gue ikutan mewek.
Malam itu, kami bertiga nangis saat  dinasehati oleh bapak Sintia.

'' Ampun, janji nggak ngulangi lagi Om. Kami janji. Lagian siapa suruh yel-yel genk Sintia jelek gitu. Huh ''




Share
Tweet
Pin
Share
27 comments
Newer Posts
Older Posts

Rahayu Wulandari

Rahayu Wulandari
Atlet renang terhebat saat menuju ovum dan berhasil mengalahkan milyaran peserta lainnya. Perempuan yang doyan nulis curhat.

Teman-teman

Yang Paling Sering Dibaca

  • ADAM
  • Ciri-ciri cowok yang beneran serius
  • Pelecehan
  • 5 Tipe Cowok Cuek

Arsip Blog

  • ▼  2020 (5)
    • ▼  September (1)
      • Perjalanan Baru
    • ►  June (1)
    • ►  April (3)
  • ►  2019 (5)
    • ►  October (1)
    • ►  July (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2017 (14)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  July (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (5)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (5)
    • ►  March (5)
    • ►  February (8)
    • ►  January (7)
  • ►  2015 (138)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (8)
    • ►  September (12)
    • ►  August (12)
    • ►  July (6)
    • ►  June (9)
    • ►  May (10)
    • ►  April (15)
    • ►  March (21)
    • ►  February (11)
    • ►  January (24)
  • ►  2014 (18)
    • ►  December (10)
    • ►  November (6)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates