• HOME
  • ABOUT ME
  • CONTACT
  • WIRDY'S PROJECT

Rahayu Wulandari Ibrahimelya

Daripada tawuran, mending kita curhat-curhatan

Udah seminggu lebih gue meninggalkan blog ini. Sedih ya.
Ikut hadir di acara wisudaan kakak adalah salah satu penyebab dari gue yang menelantarkan blog ini. Wisuda yang diadakan di Padang cukup membuat gue sempat merasa kelelahan dan capek di jalan. Alhasil baru sekarang gue bisa kembali menulis. Huhu
Perjalanan ke Padang yang biasanya hanya memakan waktu 9 atau 10 jam, ternyata kali ini berbeda. Perjalanan gue dari Pekanbaru ke Padang kali ini harus memakan waktu selama 12 jam. Berangkat jam 4 sore, sampai di Padang jam 4 subuh. Mantap.

Sore itu sebelum berangkat, kami menyempatkan diri untuk menjemput kakak yang saat itu lagi menghadiri sebuah acara Expo. Hari jadi kota tercinta.
Setelah semua anu dimasukkan ke dalam mobil, kami berangkat cus menuju acara Expo. Dan momen terkampretnya, kakak gue bertingkah. Sudah bolak-balik ditelfon, eh malah nggak diangkat. Gue juga sudah sms. Tapi nggak dibales. Kalo nggak salah isi sms gue gini, '' Sis, order barang lagi yuk. Fast respond. '' Gitu.

Akhirnya, mau nggak mau dan sebagai adik yang masuk dalam nominasi adik terbaik dan tersabar gue pun turun dan masuk ke dalam acara Expo. Gue tau, banyak tatapan heran orang-orang yang melihat gue ketika itu. Gimana enggak, gue turun cuma pake sendal jepit cokelat, pake rok hitam, pake baju cokelat, jilbab cokelat, plus tampang wajah pertanda kiamat. Kayak orang kena azab gitu.

Ada dua pintu yang gue temukan. Yang satu pintunya cukup jauh, yang satu lagi pintu yang sudah tepat berada di hadapan gue. Gue pun memilih masuk dari pintu yang ada di depan gue.
Celingukan ke sana sini.
Muter-muter kayak orang goblok.
Mulut mangap, siap-siap manggil kakak gue kalo ketemu.
Lama juga gue celingukan.
Sampai pada akhirnya kaki gue mulai menuju ke pintu keluar. Pintu yang tadi berada cukup jauh dari gue saat di luar.
Bodo amat kakak gue nggak ketemu. Yang penting gue bisa ke Padang, ketemu abang ganteng. Kakak gue nggak usah ikut juga nggak papa.
Tapi berhubung gue ke Padang karena acara wisudaan kakak, terpaksa gue memperlambat langkah dan mencari-cari kakak gue lagi. Gue jalan menuju pintu keluar sambil ngotak-ngatik hp. Biar keliatan kayak orang sibuk. Cemas. Gitu-gitu dah.

Pas gue mau keluar dari pintu, gue melihat dia. Kakak gue. Lagi asyik mainin hp sambil sekali-sekali ngobrol dengan abang-abang.

  '' Golut! '' teriak gue dengan pedenya.

Kakak gue menoleh. Ketahuilah gaes, ''Golut'' itu nama panggilan jelek dia di rumah. Gue yang namain. Alhasil sampe sekarang orang serumah ikutan manggil dia dengan panggilan itu.

  '' Golut, cepat! '' panggil gue lagi.

Kakak gue sedikit melotot. Gue tahu, dia malu saat gue manggil dia dengan sebutan itu. Hahahaa..

Jam 4 sore akhirnya kita cus berangkat ke Padang. Kebetulan hari itu hari pertama gue datang bulan dan gue belum makan siang sama sekali. Lengkap sudah. Perut gue sakit nggak karuan. Bukan, bukan karena gue mual atau mabuk perjalanan.
Gue anaknya strong. Kuat. Gue mabuk kalau naik taksi doang. Nggak tau kenapa. Karena taksi pendek dan kecil kali ya. Bisa disimpulkan, gue nggak suka yang pendek-pendek dan yang kecil-kecil.

Iya taksi maksud gue. Bukan yang lain.

***


Jam empat subuh, alhamdulillah gue dan keluarga sudah sampai di Padang. Di rumah bukde. Tanpa babibu gue langsung nyari bantal dan tepar.

Kamis, 08 Oktober. 
Hari pertama gue di Padang biasa saja. Gue kebanyakan tidur, istirahat, sarapan, mandi dan tidur lagi. Nggak ada yang seru.

Jumat, 09 Oktober.
Siang di hari ini, gue menjemput kakak yang sedari pagi sedang latihan wisuda di Universitas Andalas Padang. Unand yang terletak di dataran tinggi cukup membuat gue merasa kedinginan. Udaranya sejuk.
Dalem hati gue berharap semoga kejadian '' Adik mencari kakak '' yang terjadi di acara Expo kemarin bisa terjadi lagi di sini. Lumayan bisa keliling liat abang ganteng.
Tapi sayang, visi dan misi gue untuk melihat abang ganteng dan dosen muda hari itu terpaksa batal. Kakak gue ternyata udah nunggu di luar. Itu berarti nggak ada acara gue turun dan nyari nyari kakak lagi. Huh.
Sore ini, ibu berencana untuk mengajak kami semua ke Pantai. Pantai asuhan. Mulangin gue.
Enggak deng.
Beneran pantai.
Selama perjalanan gue cukup sedih saat mengetahui hujan turun rintik-rintik. Nggak bisa ke pantai.
Tapi untung saja, saat kami sampai di pantai, hujan mulai reda.
Hal yang pertama kali terucap dari mulut gue saat sampai dan turun di pantai adalah,
  '' BUSET KENAPA PAKE PETIR SEGALA? MAU HUJAN LAGI NIH. HUWAA ''

Gue bete. Kesel.
Gue langsung nyari kursi dan melemparkan pandangan ke ombak. Satu hal yang bisa gue simpulkan saat itu,

Ternyata suara petir dan suara debur ombak beda tipis ya?

Gue.
Malu.
Bener-bener.

Lagi-lagi gue kecewa saat melihat daftar menu yang di sodorkan ibu ke gue.
KOK NGGAK ADA SATE KERANG SIH??

  '' Sate kerang ndak ado kini ko. Malam ru nyo ado, '' ujar si ibu-ibu penjual. Gue menghela nafas. Sate kerang ada pas malam hari doang. Kenapa gitu sih?
Yang jual sate kerang kelelawar kali yak? Munculnya pas malam doang.
Yaudin, daripada nggak makan sama sekali akhirnya gue memesan pepsi. Makanan khas Padang yang isinya kerang beserta cangkangnya. Rasanya mantap sekaleh.


                             

Selesai menyantap pepsi, gue langsung bergegas turun dan bermain air. Seru. Jarang-jarang gue ke pantai. Terakhir ke pantai 2 tahun yang lalu.
Di Pekanbaru nggak ada pantai sih.



                                    





                                   



Hampir dua jam lamanya gue jejingkrakan di pinggir pantai. Lari sana, lari sini. Setiap kali ada ombak, gue langsung kegirangan. Nggak tau deh,  gue memang alay atau beneran kangen pantai. Entahlah.
Mendekati magrib, kita semua langsung bersih-bersih dan mencari kamar mandi yang memang hanya satu-satunya ada di sekitaran pantai.

Gue masuk kamar mandi.
Cuci kaki.
Cuci tangan.
Bersihin pasir yang nempel di celana.
Trus keluar.

  '' Bara bu? ''
  '' Limo ribu. ''

Gue dengan santainya mengeluarkan selembar uang lima ribu.
Kemudian gue berjalan meninggalkan kamar mandi.
Setelah agak jauh,
  '' GILAK, MAHAL AMAT CUCI KAKI DOANG LIMA RIBU? TAU GITU GUE SEKALIAN MANDI TADI. ''


Sabtu, 10 Oktober
Di hari ini gue bener-bener harus ekstra strong. Bayangin aja, gue tidur kemarin malam jam setengah duabelas. Jam empat subuh gue bangun bersamaan dengan kakak gue dan kak Putri. Mereka sengaja set alarm pukul 4 pagi. Soalnya harus dandan dulu segala macam persiapan untuk wisuda hari ini.
Mau nggak mau, gue terpaksa ikutan bangun di jam 4 subuh itu. Gue turun ke bawah, mandi.
Nggak kebayang gimana dinginnya cuaca di daerah Padang. Ditambah lagi gue harus mandi di jam 4 subuh. Dinginnya wow. Tapi gue strong.
Cuma dingin doang elaah.
Selesai mandi, gue melongo duduk di tepi tempat tidur.
  '' Betewe, gue ngapain mandi jam segini? Mau dandan? Kan gue nggak ikut wisudaan? ''

Bodo amat.

Gue langsung ikutan dandan dengan kakak gue dan kak Putri. Kamar yang semula rapi dan bersih mendadak hancur berantakan. Suasana kamar heboh rek.
Baju dimana-mana, make up dimana-mana, makanan cemilan sisa tadi malam, gantungan baju berserakan, hati juga hancur berantakan, berkeping-keping.
Setelah selesai make up dan jarum jam menunjukkan pukul tujuh lewat, kita semua langsung cus berangkat menuju Unand. Tempat dimana acara wisuda itu diadakan.
Sebenernya acara wisuda akan dimulai pukul delapan. Tapi ayah sengaja ngajak berangkat agak cepetan, soalnya lokasi Unand cukup jauh. Belum lagi macet di jalanan.
Tidak lama kemudian, kita semua sampai di Unand. Rame bener kayak tawuran. Kiri kanan sepanjang jalan udah penuh dengan mobil-mobil dan pedagang.
Saat berada di tengah-tengah macet sambil mencari posisi parkir, ibu langsung berkata.
  '' Yaudah, kita turun di sini aja yuk. ''

Kakak gue, ibu, kak Putri, dan ibu kak Putri turun tepat di depan halaman gedung. Gue melongo. Diem. Mau ikutan turun juga, tapi nggak bisa cepet-cepet. Ribet. Soalnya waktu itu gue pake dress panjang dan heels. Baru saja gue menggeser posisi duduk dan hendak membuka pintu, eh mobil di belakang malah membunyikan klakson sebanyak mungkin.
Terpaksa deh, gue tetep di dalam mobil.
Tinggalah gue dan ayah yang sibuk mencari posisi parkir. Sumpah, jalanannya padat bener. Nyari parkir sama kayak nyari jodoh. Susah.
Akhirnya setelah hampir 10 menit, barulah ayah menemukan posisi parkir yang pas. Jauh. Adanya di pojokan jalan.

Gue turun dan langsung menelan ludah.
Saat itu gue harus berjalan kaki menuju gedung. Jalan kaki pake heels dan dress.
Gue deg degan banget. Takut jatuh. Mana orang rame bener di sekitar jalan. Gue harus berjalan kaki sekitar 500 meter untuk sampai ke gedung.
Ya Allah, cobaan apa lagi ini -_-
Gue jalan sendirian. Tadinya sih sama ayah, tapi ayah udah duluan melesat jalan sementara gue tertinggal dengan gaya jalan yang kaku dan muka penuh cemas.
Satu kalimat yang gue ucapkan berulang kali selama berjalan kaki menuju gedung.
  '' Ya Allah, jangan sampai jatuh. Jangan sampai. ''

Setelah melewati perjalanan yang menegangkan itu, akhirnya gue sampai di halaman gedung.
Lagi-lagi gue kayak orang bego. Gue kehilangan ayah, ibu, kakak, kak Putri dan ibu kak Putri. Pengen nangis aja rasanya.
Gue mengedarkan pandangan ke sekeliling. Nggak ada yang gue kenal. Yaiyalah, ini kan di kota orang. Huuwaaaaaa
Gue celingukan sana-sini sambil mainin hp. Update status. " dUcH, guEh KeCepi4n NicH. mErekHa cmUwa keMana YaCh! ''

Enggak. Gue nggak sealay itu. Gue anaknya penuh wibawa dan bijaksana.

Gue jalan pelan sambil mainin hp. Pura-pura maninin hp sih sebenernya. Biar nggak keliatan banget lagi kehilangan keluarga.
Gue sempat berfikir, apa jangan-jangan ini semua memang rencana ibu dan ayah. Meninggalkan gue sendirian hingga tersesat di kota Padang ini. Mungkin mereka sudah lelah punya anak kayak gue dan tega menelantarkan gue. Huhuuu

Saat itu, gue berusaha stay cool. Cukup banyak para mahasiswa beserta keluarganya yang sibuk berfoto-foto di depan papan bunga. Ada juga yang selfie-selfie. Ada juga yang pelukan-pelukan. Tapi gue tetep lanjut melangkahkan kaki masuk ke dalam lorong gedung. Entah mau kemana.
  '' Lan.. sini ayo. '' Gue menoleh ke belakang. Alhamdulillah gue nggak ditelantarkan. Ibu terlihat melambaikan tangannya ke arah gue.
Gue berputar arah dan buru-buru mengejar ibu.

SIAL.
Gue terlambat. Ibu udah menghilang lagi entah kemana.
Itu ibu atau bukan sih? Kok menghilangnya cepet banget. Jangan-jangan itu malaikat? Malaikat izrail?

Lagi-lagi gue kehilangan jejak ibu. Gue sendirian lagi entah mau kemana. Lagian kemarin di undangan wisuda, gue ngeliat kalau undangan itu hanya untuk dua orang. Kedua orangtua atau wali.

Lah kalo gitu gue ngapain ikut dong? Sia-sia dong gue mandi jam 4 subuh? Trus gue ngapain di sini? Ngapain??

Akhirnya gue langsung menelfon ayah. Ayah bilang kalo acaranya sudah mulai. Oke akurapopo. Itu artinya gue harus nunggu di luar aula sendirian. Gue langsung mencari kursi di sebelah pintu Aula. Alhamdulillah dapat. Gue langsung duduk walaupun lebih terlihat kayak tukang jagain pintu.
Kalau pun gue tukang jagain pintu, percayalah itu pintu surga di kahyangan. Soalnya yang jaga pintunya kan bidadari. Uhuk.
Oh iya, dari dua kursi di posisi gue duduk ini, ada seorang cowok yang ikutan duduk. Cakep bet. Pake kacamata. Kacamatanya turun dikit di hidung. Minta dibenerin banget itu posisi kacamata. Cowoknya gemes. Peluk-able gitu. Uwuwwuw.
Tapi si cowok kacamata itu cuma bentaran doang duduk di dekat gue.

Pokoknya selama di wisudaan kakak, gue cukup banyak menderita. Gue sebutin nih ya.
1. Jalan 500 meter pake heels sendirian.
2. Kehilangan keluarga di lingkungan Unand. Sendirian. Kayak orang bego kuadrat.
3. Belum sarapan. Sakit perut.
4. Nggak bawa dompet.
5. Nunggu di samping pintu aula.
6. Panas.
7. Nggak bisa ketemu abang abang ganteng.
8.Nggak bisa ketemu abang abang ganteng.
9.Nggak bisa ketemu abang abang ganteng.
10.Nggak bisa ketemu abang abang ganteng.

Sedih deh pokoknya.
Saat jam menunjukkan pukul setengah duabelas, barulah akhirnya ayah menelfon gue dan mengajak gue masuk. Masuk dari pintu samping aula. Kayak sapi selundupan.
Dan tepat setelah adzan zuhur, acara wisuda itu selesai. Semua orang berhamburan keluar juga para tamu undangan. Berdesak-desakan. Sumpek. Panas.
Karena nggak mau ikut berdesakan, akhirnya gue memilih untuk menyingkir ke pinggir. Satu hal yang nggak bisa gue lupain di saat itu.


Pantat gue di grepe.

Pas gue noleh ke belakang, eh ada anak kecil cowok yang ketawa cengengesan. Rada kesel sih. Gue bales senyum juga ke si anak kecil cowok tersebut.
Apaan coba grepe grepe pantat orang? Kayaknya baju gue nggak ketat deh. Kenapa dia grepein gue? Kenapa harus gue dari sekian banyak pantat orang-orang di sini? Kenapa guee??
Apa faktor-faktor yang menyebabkan si anak kecil itu lebih memilih pantat gue daripada banyak pantat orang lain di sini?
HUH. Masih kecil aja udah mesum. Yang kayak gini nih calon generasi penerus Darma.

Gue kesel. Tapi enak.
Eh enggak deng.

Sepulang dari acara wisudaan itu, kakak dan kak Putri mengajak kami semua ke pantai. Kali ini pantainya beda. Tapi gue lupa nama pantainya. Yang jelas nggak ada kamar mandi yang-kalo-cuma-cuci-kaki-doang-bayarnya-lima-ribu.

Banyak banget mata orang yang ngeliatin kami bertiga saat kami berjalan menuruni batu karang menuju pasir pantai.
Aneh.
Kakak gue dan kak Putri saat itu sedang mengenakan kebaya. Sementara gue mengenakan dress panjang. Yakeles ada orang ke pantai dengan penampilan begitu.
Tapi nggak apa-apa. Yang penting bisa ke pantai.
Dan lagi-lagi gue kecewa. Sebagai perempuan nan kiyut gue merasa gagal saat belum menemukan sate kerang. Penjual di sana bilang sate kerang cuma ada pas malam hari doang.
Huhuuu..

Yaudah deh makin lama diterusin ntar bakal makin banyak penderitaan yang tertulis di sini. Sedih deh pokoknya.


Nggak tau kenapa, di hari itu semuanya kompakan pake baju biru.
Jodoh kali ya. 



Ciee yang di belakang ciee. Lagi pacaran -_-




Yang lainnya sok candid. Hhahaa gue '' BODO AMAT ''
(Raisa, ibu kak Putri, ibu Raisa, Kak Putri)



Kapan-kapan ke sini lagi ya. Love you :*





Share
Tweet
Pin
Share
26 comments
Menghitung hari. Yeay!
Beberapa hari lagi gue bakal pergi melepaskan status lajang dan menikah dengan abang Zayn.



Enggak deng.
Tapi aminin aja. Huahaaa

Beberapa hari lagi gue bakal pergi ke Padang. Ada beberapa alasan kenapa gue akan berangkat ke Padang. Yaitu untuk:
- Makan sate kerang
- Ke pantai
- Makan sate kerang
- Makan sate kerang
- Makan sate kerang
- Makan sate kerang
- Ke pantai
- Ke pantai
- Hadir di acara wisudaan kakak
- Makan sate kerang
- Makan sate kerang
- Makan sate kerang
- Makan sate kerang
- Makan sate kerang
- Ke pantai
- Ke pantai
- Ke pantai
- Hadir di acara wisudaan kakak
- Lihat abang-abang ganteng
dan yang terakhir adalah
- Makan sate kerang

Gilak, keren. Gue baru sadar, ternyata jika disebutin banyak banget alasan gue untuk pergi ke Padang. Kayaknya gue termasuk ke dalam tipikal orang yang penuh dengan rencana. Termasuk rencana hidup di masa depan dengan kamu. Iya kamu yang lagi baca ini. Ailofyu.

Tahun ini kakak gue akan melaksanakan wisudanya di Padang. Sebagai adik yang baik, gue akhirnya bisa memanfaatkan moment itu. Emm maksud gue harus bisa hadir di acara itu. Selain untuk melihat-lihat abang-abang kece dan dosen muda di sana, gue bakal ikut nangkring untuk foto di samping kakak. Lumayan, untuk nambahin isi foto di instagram.
Nggak terasa banget, kakak gue udah wisuda aja. Rasanya baru kemarin dia masuk kuliah. Sibuk-sibuk ngerjain tugas ini-itu, eh tau-tau sekarang udah lulus saja.

Akhir-akhir ini gue sering cekcok sama dia. Bahkan dalam segala hal.
Beberapa minggu yang lalu, ibu dan kakak habis pulang berbelanja baju kebaya. Kebaya untuk wisudaannya. Kebayanya warna pink. Feminim abis.
Dan karena itulah, gue sering ngomel setiap kali kakak gue ngemil di kamar. Gue takut, ntar badannya tambah gemuk, melar dan ujung-ujungnya tuh kebaya nggak muat. Kan kacau.
Setiap pulang kerja gue pasti ngomelin dia, kerjaannya tiduran di kamar sambil ngemil, kadang juga duduk di depan sambil ngemil. Apa-apa ngemil. Gue tau ngemil itu memang enak, apalagi ngemilikin kamu. Ngemil memang enak, tapi lihat ukuran badan juga dong. Kalo kayak gue gini, iya nggak apa-apa kalo kerjaanya ngemil mulu.
Dan karena ocehan gue yang bertujuan untuk mengingatkan dia agar mengurangi kerjaan ngemil, kami akhirnya keseringan cekcok. Adu mulut sampe ada yang sakit hati dan akhirnya diam-diaman.

Ada banyak kejadian-kejadian di rumah yang berhubungan dengan kakak gue. Kayak yang di bawah ini:

*Kacamata*
Kakak: HUAAAA KACAMATA GUE MANA? HAAA DIMANA NIH?? ADUUHH
Orang satu rumah menyebar. Bongkar sana-sini. Dan nggak berapa lama.
Gue : Nih kacamata lu.
Kakak: NAH KAN, LU PASTI DEH YANG NYEMBUNYIIN. IYA KAN? PERASAAN TADI ADA DI KAMAR DEH. KOK BISA ADA DI SITU.
Gue: Allahuakbar!

*Kunci Motor*
Gue pulang kerja. Mandi. Gue masuk ke kamar, dan sebelumnya mata gue sempat ngeliat sebuah kunci motor yang berada di atas kulkas. Gue masuk kamar, pake baju dll.
Selang beberapa lama di luar kedengaran heboh banget.
Gue:  Ada apaan sih? Ribut amat.
Kakak: Kunci motor hilang. HUWAAAAA
Gue: Apa?
Kakak: KUNCI MOTOR!
Gue: Oh, kunci motor. Itu tuh di atas kulkas.
Kakak : TUH KAN PASTI LU YANG NARUH KUNCI MOTOR DI SANA. YAKALI KUNCI MOTOR BISA JALAN KE ATAS KULKAS.
Gue: Hei, gue aja baru pulang kerja. Lagian kan lu yg make motor seharian.
Kakak : UDAH LAH!
Gue : asdfghjkl;'

*Binder*
Kakak: Tok-tok-tok. Lan, liat binder nggak? Gue mau ujian. Mau belajar, tapi bindernya hilang.
Gue : Binder hijau?
Kakak: Iya.
Gue nyari kesana-sini dan masuk ke kamarnya.
Gue: Nih bindernya.
Kakak: LU KAN YANG OBRAK ABRIK MEJA GUE. KALO NGGAK BERANTAKAN GINI, NGGAK MUNGKIN GUE NGGAK NGELIAT BINDERNYA ADA DI KAMAR GUE.
Gue: -______________________________________________________-


Kadang gue bingung. Serba salah. Sampai suatu hari gue bertekad untuk nggak bakal bantuin nyari apapun kalo dia lagi kehilangan. Tapi ujung-ujungnya gue nggak tegaan dan akhirnya ikut bantuin nyari. Walaupun pada akhirnya gue lagi yang dituduh.
Lelah gue.
Dibantuin salah, nggak dibantuin salah. Gue anaknya suka nggak tegaan gitu. Kalo kakak minta temenin ke sana-sini, pasti gue temenin. Lah kalo gue yang minta temenin? Nggak bakalan mau dia mah.
Beneran nggak tegaan gue. Kadang juga kalo lihat cowok ganteng yang jomblo, gue juga ngerasa nggak tegaan. Pengen gue nikahi aja.

Dari kejadian-kejadian seperti di atas, gue bisa menyimpulkan kalau,
'' Cowok dan adik yang mempunyai kakak SELALU SALAH ''
Kayak gue. Selalu salah.

Dibalik baju pasti ada daleman. Sama kayak kakak gue. Dibalik sifatnya yang seperti itu, dia baik banget. Dulu pas masih SMP gue sering banget diajarin matematika. Dia otaknya encer, pinter, juara satu umum terus. Lah gue, naik kelas aja udah sujud syukur.
Gue anaknya batu. Keras kepala. Gengsian kalo nanya pelajaran matematika ke kakak. Akhirnya saat ujian gue hanya bisa menjawab soal dengan otak gue yang minim. Sampai pada akhirnya ibu marah-marah saat melihat nilai ujian gue yang parah angkanya.
Dan hari itu, gue disuruh belajar matematika dengan kakak. Awalnya suasana damai, tenteram. Gue masih ngeh dan cuma ngangguk-ngangguk saat kakak gue jelasin soal.

K: Jadi gini, blablablaa. Rumusnya blbablablaa.
Gue: Oh gitu. (ngangguk-ngangguk sok ngerti. Padahal mah enggak)
Sejam kemudian.
K: Nah, sekarang coba kerjain soal ini.
Gue: Iya.
Beberapa menit kemudian.
K: KOK KAYAK GINI SIH? SALAH. BUKAN GINI CARANYA.
Gue: YA JADI GIMANA LAGI? TADI RUMUSNYA GITU. YAUDAH INI RUMUSNYA.
K: Tapi inikan rumus mencari luas lingkaran. Ini soalnya luas persegi panjang.
Gue: UDAH AH NGANTUK. (tutup buku, masuk kamar, tidur)

Dan karena itulah, sampe sekarang gue bener-bener bego dalam matematika.
Pokoknya gue paling benci dengan pelajaran yang berhubungan dengan angka dan rumus. Otak gue mendadak jadi tegang nggak karuan. Otak ya yg tegang, bukan anu.

Satu hal yang bisa gue pelajari dari sifat kakak gue. Dia orangnya tegar. Mau apapun yang terjadi, dia tetap bisa menutupinya. Hebat ya.
Januari kemarin, kakak gue putus dengan pacarnya yang sudah berhubungan selama empat tahun. Dan gue sama sekali nggak ngeliat ekspresi sedih atau galau atau depresi pada kakak gue. Hidupnya santai dan slow banget.
Padahal mereka pacaran udah empat tahun. Lah gue yang pacaran baru empat bulan trus putus aja udah mewek seminggu di kamar. Hebat ya.
Kenapa dia bisa sestrong itu? Caranya gimana coba? Apa harus minum kukubima dulu? Atau minum extrajoss? Kok bisa kuat gitu sih. Apa karena gue keseringan minum ale-ale ya? Jadi lemah gitu anaknya.
Satu lagi, kakak gue juga anaknya nggak baperan.
Beda dengan gue yang kalo di suit-suitin kang kernet angkot langsung geer trus malamnya nggak bisa tidur sampe terbawa mimpi.
Parah



Udah ah, ntar aib gue makin lama makin terbongkar di sini.
Doain ya semoga perjalanan gue nanti bisa lancar dan selamat sampai Padang. Biar bisa makan sate kerang bareng cowok ganteng. Enggak gitu, maksud gue biar bisa nemenin kakak di acara wisudanya.



Trus ini nutup postingannya gimana nih? Nggak usah pake pantun ah. Ribet.
Dadaaa                                                                                                          h.



Ini gue masukkin beberapa foto gue dan kakak.


Pipi gue kenapa jadi lebar gitu coba? huhuu


Tinggi kita sama rata. GAK USAH PROTES!



Gue.    Yang ngasahi batu cincinnya -_-
Share
Tweet
Pin
Share
60 comments
Gue sama sekali bukan tipikal orang yang mencintai binatang atau pecinta binatang atau animal lovers. Pokoknya gitu gitu dah.
Kadang gue bingung kalo ditanya tentang binatang kesukaan, binatang peliharaan. Nggak tau mau jawab apa. Pengen jawab kucing. Kucingta kamu selamanya.
Tapi gue nggak suka kucing.

Kemarin pagi saat berangkat kerja gue memutuskan untuk lewat jalan raya. Rencananya sekalian mau ke ATM. Dan gue memilih pergi ke  ATM yang ada di SPBU. Sekalian lewat SPBU juga sih.
Sesampainya disana, gue menghela nafas saat melihat beberapa orang yang ngantri di depan pintu ATM. Baru inget gue, ini kan awal bulan. Pantesan ATM rame.
Akhirnya gue melewati ATM yang rame itu dan memutar melewati antrian kendaraan yang sedang mengisi bahan bakar. Gue ngerasa jadi orang aneh. Datang ke SPBU cuma numpang muter doang trus pergi.
Melihat jam tangan yang sudha menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit, gue langsung menancap gas motor.

Dari kejauhan gue ngeliat ada sesuatu yang tergeletak di tengah jalan. Karena penasaran, gue akhirnya mendekat. Mendekat. Lebih dekat.

Iyak. Itu bangkai.
Bangkai anjing.
Di hadapan gue tergeletak seekor anjing yang badannya sudah berceceran di sekitarnya. Bisa dikatakan, anjing itu sudah hancur. Sudah gepeng. Tapi bercak darahnya masih kelihatan jelas.
Serem..

Pagi hari yang menegangkan.


***

Sepulang kerja, seperti biasa gue memilih untuk melewati jalan belakang. Jalan yang jauh dari keramaian dan padatnya jalan raya. Jalanan yang bener-bener sepi menurut gue. Lengang.
Dengan penuh rasa lapar, gue menancap gas motor kencang. Pengen cepetan pulang kerumah soalnya.
Sial !
Laju motor gue terpaksa berhenti mendadak. Di depan gue terlihat banyak sekali pejalan kaki bapak-bapak dan remaja laki-laki yang berbaris berjalan di pinggi kiri-kanan jalanan.
Nggak hanya itu, masing-masing mereka juga memegang tali pengikat anjing. Iya, mereka bawa anjing.
Satu orang bawa lima anjing. Memang diikat sih.
Tapi banyak banget kayak demo.
 Gue sempat kebingungan harus lewat mana saat anjing-anjing itu berjalan ke tengah.
Gue ngerasa seolah-olah mereka sedang menyambut kedatangan gue sebagai induknya. Ehm maksud gue tuannya. Cuma kurang karpet merah doang.
Gue bener-bener takut. Anjingnya ada di kanan kiri. Dan itu posisinya juga berbaris gitu.
Gue menurukan laju kecepatan motor. Sampai gue mendengar sebuah suara.
  '' Kakak, baru pulang ya kak? ''

Entah itu suara dari abang-abang yang sedang jalan dengan anjingnya, atau suara anjing. Entahlah. Yang pastinya adrenalin gue seolah terpacu saat melewati itu.

Selepas dari barisan dan jalanan yang penuh dengan anjing itu, gue langsung menancap gas kencang. Geli. Serem.
Sekitar lima menitan dari jalan yang banyak anjing itu, gue hampir menabrak motor yang dikendarai bapak-bapak dari belakang. Hampir saja. Untung gue buru-buru memutar stang motor.
Sebel juga sih. Itu bapak-bapak apa banget pake acara berhenti mendadak di tengah jalan. Cari perhatian banget.
Langsung saja gue melewati bapak itu setelah membunyikan klakson berkali-kali. 

Gue kaget. Beneran kaget. Saat sebuah motor dari arah berlawanan berhenti mendadak di depan gue. Apa gue salah jalur ya?
Gue bingung. Lebih bingung lagi saat melihat ekspresi dua pemuda yang naik motor dari arah berlawanan itu. Kedua pemuda itu juga ikutan kaget. Dan kayaknya itu bukan kaget karena gue yang tiba-tiba menyalip motor si bapak. Bukan kaget karena gue hampir menabrak si pemuda itu. Bukan juga kaget karena melihat gue yang seperti eehmm.... Raisa.  Bukan, bukan karena itu.

Si bapak dan dua pemuda itu terdiam melihat ban motor gue. Mereka melihat ke bawah. Melihat anu.

ASTAGA.
Gue ngelindes ular.

Dengan perasaan takut, gue menoleh lagi ke bawah.
Sumpah, itu ularnya gede banget. Segede lengan gue. Panjang juga.

Saat itu gue ngerasa semuanya berjalan lambat. Dan ada kira-kira dua detik gue terdiam bego di atas motor dengan ular gede meliuk di bawah kaki gue.
Gue beneran pasrah. Dan saking gugupnya karena nggak pernah melihat yang besar dan panjang, gue sampe nggak berkutik sama sekali. Gue nggak melajukan motor dari posisi itu. Bego memang.

Sampai akhirnya gue tersadar dan gue langsung saja pergi dari ular itu.
Alhamdulillah gue nggak kenapa-kenapa. Nggak ada yang lecet, nggak ada yang digigit. Tapi di hati siapa yang tau? Luka dihati kan nggak terlihat.
Ini kenapa jadi baper gini tulisannya sih.

Sesampinya di rumah, baru turun dari motor gue langsung ngomong dengan rasa bangga sok hebat pada ayah dan ibu.
  '' Bu, tadi Wulan ngelindes ular. Keren kan. Nggak kenapa-napa sih. Ularnya juga nggak tau ntah udah mati atau belum. Ularnya gede. ''
Dengan penuh semangat yang berkoar-koar gue menceritakan itu ke hadapan ayah dan ibu.
Dan kalian tau apa jawaban ibu?
  '' Oh, iya ya. hmm. ''

Padahal dalam hati ibu,
  '' Kenapa nggak digigit ular aja sih nih anak. Nyusahin aja. Mana makannya banyak di rumah. Ngabisin beras mulu. ''
Mungkin seperti itu. Hiks.

***
Dan hari ini saat gue berangkat kerja tadi gue kembali lewat dari jalan belakang. Awalnya semua berjalan seperti biasa.
Jalanan sepi, udara dingin, asap dimana-mana. Semuanya seperti biasa. Nggak ada yang beda. Yang beda cuma cara makan bengbeng doang.
Sampai akhirnya gue melihat banyak sekali anak anjing yang lucu bermain-main di tengah jalan. Karena takut menabrak anak anjing itu, gue menurunkan kecepatan motor menjadi sangat pelan. Pelan sekali.
Gue nggak tau kenapa, tiba-tiba seekor anjing gede mengejar gue dari arah samping kanan. Kayaknya itu induk si anjing. Induknya mengira gue bakal gangguin anak-anaknya. Padahal mah enggak. Gue kan sukanya gangguin om-om.
Eh enggak gitu. Maksud gue anaknya om gue. Anaknya lucu.

Gue dikejar anjing. Sampe dua meter lebih.
HUUWAAAAA..

Apa coba salah gue? Gue kan cewek. Cewek nggak pernah salah.

Gue benci mantan. Emm maksud gue, gue benci anjing. Pokoknya gue nggak suka binatang. Tapi bukan gue sering menyakiti binatang juga. Yang ada gue yang sering disakiti. Tersakiti. Pedih men disakiti itu.
Intinya gue nggak suka melihara binatang. Memelihara hubungan aja udah repot, apalagi harus memelihara binatang.


Mulai hari ini gue bertekad untuk nggak melewati jalan itu lagi. Lewat jalan raya lebih baik daripada harus berhadapan dengan anjing dan ular.
Nggak bakal lewat jalan itu lagi!

Share
Tweet
Pin
Share
23 comments
Cinta tak pernah lelah menjatuhkan hatinya kepada setiap insan.

Seperti kita ketika itu.
Akhir tahunku yang begitu hancur sempat tersusun kembali saat aku mengenalmu. Gelap hitamku perlahan membias dan memantulkan cahaya putih pada kehidupanku. Pada hatiku.
Awalnya aku sempat menolak untuk berkenalan dengan lelaki lain. Apalagi dengan kamu. Seperti yang aku tau, kamu adalah orang yang sibuk. Kesana-kesini dengan berbagai kegiatan, bertemu dengan banyak orang, berinteraksi dengan banyak kepala, dan karena itu aku sempat mengaca pada diriku. Hingga aku merasa aku adalah satu diantara banyak mereka yang ingin mengenal dekat tentangmu. Mustahil.
Tetapi kenyataannya berbeda.
Aku masih ingat saat pertama kali kedua mata itu saling menatap, saat lontaran kalimat basa-basi yang pernah kita ucapkan saat di awal perkenalan. Saat tanya-jawab yang kita perbicangkan di depan rumahku. Dan kita langsung berlari masuk ke rumah saat hujan turun membasahi permukaan tanah.
Kata orang, hujan itu anugerah.
Seperti perkenalan kita dengan obrolan itu. Adalah anugerah.
Perbincangan itu berakhir dengan saling bertukaran nomer handphone. Akhir perbincangan yang sangat indah.

Aku hampir meloncat kegirangan tak terkendali saat melihat sebuah pesan mendarat di handphoneku. Dari kamu. Kamu yang mencoba bertanya tentang kegiatanku, sedang apa dan berbagai rentetan obrolan lainnya. Malam itu, pendekatan kita di mulai.
Selalu saja ada senyum mengambang yang terlukis di sudut bibirku. Ada harap-harap cemas saat aku mengetahui belum ada pesan masuk darimu untukku.

Ketahuilah, aku malu untuk memulai. Karena aku ingin kau yang mendahulu dan percayalah karena aku akan siap mengikuti alurmu.

Masih teringat jelas putaran masa itu. Saat aku dengan keadaan yang mendadak mengajakmu pergi bersama kakakku dan kekasihnya. Saat itu kita masih kaku. Enggan untuk menatap lebih lama. Malu. Lebih tepatnya aku takut kalau kamu bisa menebak sorot mataku yang mengedarkan pandangan bahwa aku telah jatuh cinta.
Perjalanan itu menempuh waktu dua jam. Itu berarti aku akan berada selama dua jam di belakangmu. Berhadapan dengan punggungmu. Punggung yang menjadi saksi bahwa ada senyum bahagia yang tertanam ketika aku bisa berada sedekat ini denganmu. Tak jarang sekali helmku terbentur dengan helmmu saat jalanan yang tidak rata kita lewati. Terdengar seperti benturan yang lucu sekali.
Saat itu, aku bisa melihatmu dengan penuh kelelahan menungguku yang berputar tidak jelas di Gramedia. Bersabar menantiku yang heboh kegirangan diantara banyak tumpukan buku. Aku tenggelam berjam-jam lamanya dikerumunan buku-buku itu. Setiap sudut ruangan bahkan lantai juga sudah ku jelajahi demi mencari sebuah buku. Tak peduli penat yang mulai merambati tulang kakiku.
Hampir dua jam aku berkeliling di dalamnya, dan saat aku menemuimu aku terkejut. Kamu masih tetap berdiri dan membaca buku di depan rak yang sama seperti saat dua jam yang lalu. Saat kita pertama kali sampai di sini.
Kamu juga sabar saat menungguku mencari sepatu. Mengitari mall yang penuh banyak orang. Hingga akhirnya kita kelelahan dan kamu mengajakku untuk beristirahat dengan segelas cappuccino. Aku bisa bernafas lega bersamaan dengan tegukan cappuccino dingin itu. Juga saat posisi kita yang memungkinkan aku untuk berhadapan dengan wajahmu, bukan lagi dengan punggungmu.
Ah, momen itu terasa jelas terngiang di benakku.
Magrib itu, hujan turun rintik-rintik. Lagi-lagi hujan yang menyaksikan kebersamaan kita.
  '' Apa kakak terlalu kencang bawa motornya? Kalau iya bilang saja ya. ''
Kalimat itu yang sempat terlontar dan memecah suara rintikan hujan. Aku hanya mengangguk dan menikmati setiap tetesnya.
Malam itu, kita semua tertawa saat melihat wajah kelelahan satu sama lain.

Pendekatan itu akhirnya mencapai sebuah status. Perjalanan baru yang akan kita tempuh berdua. Saling merajut kisah setelah sebuah cokelat dengan tulisan indah kamu sodorkan di hadapanku.
Aku bahagia bisa menjadi salah seorang perempuan yang kamu cintai. Yang selalu hadir menemaniku kapan saja.
Selalu ada yang membuat pagiku bahagia saat pesan masuk mendarat di handphoneku. Ucapan selamat pagi yang indah. Sangat istimewa.
Bagaimana mungkin aku tidak mempersiapkan tempat untuk kenyamanan yang sehebat ini?
Sungguh, ini hal mustahil yang terjadi hingga bisa kurasakan di saat ini.

Meski aku kerap sekali bertahan dengan emosiku, berpacu menyuarakan amarahku, bertingkah seperti anak-anak, bahkan kita sempat saling berdiam diri. Menunggu salah satu akan mengulurkan tangan lebih dahulu. Aku dan egoku sangat kuat. Hingga pada akhirnya, lagi lagi kamu yang mengalah untuk setiap hal kecil perselisihan kita.

Aku tak pernah meminta waktu banyakmu untukku, karena aku tau kita semua memiliki kehidupan masing-masing. Kita mempunyai sahabat, teman, saudara, guru juga keluarga. Aku tau akan hal itu.

Hanya saja aku ingin kita bisa menempatkan dan menyisihkan dua jam dalam kurun waktu seminggu. Bukan sehari, tapi seminggu.
Kita jauh? Tidak. Hanya sepuluh menit untuk bisa bertemu.

Sampai pada akhirnya kita beneran jauh. Jarak yang menjadi penghalang rindu yang menggebu. Rasa hendak bersua kerap sekali hadir memecah benakku. Tapi bagaimana caranya?

Aku selalu percaya bahwa komunikasi adalah kunci utama sebuah hubungan. Dan karena itu aku ingin kita selalu menerapkan itu untuk saling mempertahankan hubungan ini. Bicaralah. Meski itu dalam keadaan apapun.
Tiga bulan lamanya sang jarak menjadi perantara bagi kita. Ini sama sekali tidak mengurangi kadar perasaanku padamu. Sama sekali tidak. Bahkan semakin meningkat saat telingaku menangkap suara di seberang telefon. Suara yang mampu meredam rindu yang bergejolak hebat.
Selalu ada rasa kantuk yang menyerang saat aku berusaha untuk menemanimu mengerjakan tugas. Berulang kali kamu bertanya, berulangkali juga aku membohongimu bahwa aku-masih-belum-mengantuk.
Jarak dan sinyal. Dua paket yang tak terpisahkan itu seakan mencoba menghancurkan tembok kokoh yang telah kita bangun bersama.
Aku membenci sinyal. Aku membenci jarak. Namun percayalah, aku adalah seorang pejuang LDR yang tangguh.

Ada tatapan mata yang mendalam yang merasuk dan mencoba menghentikan denyut nadiku. Tatapan kedua mata yang selalu ku nantikan setiap malam.
Mulai hari itu, sinyal dan jarak telah letih menghampiri kita. LDR itu telah usai.
Kita adalah kebersamaan yang dekat.

Walaupun hanya seminggu saja kebersamaan itu hadir untuk kita, lagi-lagi aku harus memasang label sebagai Distancer saat menemanimu di terminal. Melepasmu untuk pulang menemui keluarga di sana. Meskipun ada genangan air yang siap untuk jatuh di ujung mata.

Namun, aku percaya. Jarak jauh itu yang membuat kita semakin terasa dekat.

Hari itu, tepat sebulan semenjak aku menyaksikanmu pergi di terminal, kamu kembali lagi di sini. Mencairkan segala kebekuan yang tertinggal semenjak aku berusaha menepiskan rasa cemas dan rindu itu.
Di bawah sorotan lampu jalanan. Di bawah rintikan hujan yang dengan derasnya mengguyur jalanan kota. Aku dan kamu tengah berteduh di depan emperan toko. Hampir saja kebasahan.
Lagi-lagi hujan menjadi saksi tentang kebersamaan kita. Dan aku berharap agar suatu saat nanti sang hujan dapat mengulas kembali momen indah ketika itu.
Aku pernah melukiskan angan, mengukir impian. Berharap langkah kaki kita mampu beriringan bersama hingga derap kaki kita dapat memecahkan keheningan angkasa. Dengan tawa yang menggelegar, senyuman konyol yang melekat, juga tangan yang saling mengenggam.


Tidak sampai seratus hari setelah hujan dan kita yang berteduh itu, ada hal yang seakan sedang mencoba merayapi  titik kesabaranku. Menguji sampai sebatas apa aku bertahan.
Berkali-kali aku lelah dengan berpura-pura tenang dengan keadaan seperti ini. Hei, itulah hebatnya seorang perempuan. Mampu menutupi keadaan yang seburuk apapun dengan topeng penuh eksrepi bahagia. Seolah sedang baik-baik saja.
Seperti yang sudah pernah ku bilang dahulu, aku sama sekali tak pernah merekrut semua waktumu jika hanya untuk dihabiskan bersamaku. Hanya saja, kita harus saling bisa membagi waktu.
Kenyataannya tak lagi sama. Berbeda 360 derajat.

Tidak ada lagi tawa dan cerita konyol yang memenuhi telingaku. Tidak ada lagi Sabtu-Minggu bersama. Tidak ada lagi curhatan protes, sebal dan lucu yang dulu kerap sekali kita perbincangkan.
Masih kukecap jelas raut wajah terbahak-bahak kita saat menyaksikan aku yang terjatuh ketika mengenakan heels. Aku malu bukan main, sementara kamu tertawa dan kemudian menenangkan rasa maluku.

Percayalah, saat ini aku sudah mulai terbiasa dengan cara seperti ini. Kita yang saling acuh tak acuh.
Aku yang dulu selalu menghela nafas saat tidak ada sms darimu di pagi hari, kini mulai terbiasa. Bukan, bukan aku membalas dendam dengan perlakuanmu itu padaku. Tidak seperti itu.
Hanya saja aku lebih memilih untuk tidak membuat rumit keadaan ini. Itu saja.

Hei, bukankah jarak dan sinyal kini telah menjauh dari kita? Kita sudah terbebas dari dua hal itu bukan?

Namun kenapa aku masih merasa kita adalah jarak yang jauh.
Sangat jauh.
Dan entah untuk yang keberapa kalinya.

Aku akan mengikuti alurmu.


Ah udah ah. Ntar yang baca pada baper.

Share
Tweet
Pin
Share
41 comments
Alhamdulillah keputusan yang akan gue ambil di postingan kemarin tidak terwujud dalam waktu dekat. Yaiyalah, masak gue harus menikah di usia yang sekarang ini. Mens juga belum. Masih delapan taon qaqa.

Dan alhamdulillah, di tahun ini gue mulai menyandang status sebagai mahasiswi. Itu berarti satu minggu gue akan full dengan kegiatan. Nggak ada istilah hari Minggu santai, bisa leyeh-leyeh di rumah. Nggak ada istilah bobo siang di hari Sabtu.
Berhubung di hari Sabtu gue kerja setengah hari, biasanya gue selalu menyempatkan diri untuk bobo siang sepulang dari kerja. Hitung-hitung untuk persiapan di malam minggu. Biar nggak ngantuk. Biar bisa tidur agak larut malam. Ya meskipun cuma mantengin hape. Nggak apa-apa.
Dan semua kegiatan indah yang gue harapkan di hari Sabtu dan Minggu itu bakalan hilang dan terisi dengan kegiatan kuliah.
Lah terus kapan gue istirahatnya? Nanti saat tanggal merah.

Sabtu kemarin gue minta izin pulang cepat ke atasan. Yang biasanya pulang jam 1 siang, hari itu gue pulang jam 12 siang. Soalnya jam 1 udah masuk kuliah umum. Informasinya begitu.
Posisi letak kampus bisa dibilang cukup dekat dengan rumah. Kira-kira begini gambarannya.

Kantor----------------------------------------------- Rumah-------Kampus.

Daripada pulang kerja langsung ke kampus, mending gue pulang ke rumah dulu. Toh bakal ngelewatin rumah juga nantinya. Sekalian makan siang juga sih.
Sesampainya di rumah. Dewi Fortuna sedang berpihak ke gue.
Rumah sepi. Kosong. Hanya pintu dapur yang terbuka. Ternyata ibu dan kakak sedang ke pasar. Otomatis, ibu nggak masak. Otomatis lagi, nggak ada yang bisa gue makan. Mantap.

Jam 1 kurang 15 menit, gue langsung otewe ke kampus. Awalnya gue ragu, ini kampus kok sepi. Apa gue yang terlambat? Atau gue salah kampus?
Untung saja, oom datang menghampiri gue.
  '' Loh Lan, masuknya nanti jam 2. Kenapa datang sekarang? ''
Gue menelan ludah. Cengengesan.
  '' Yaudah, Wulan nunggu aja deh om. ''

Kurang teladan apa gue coba?
Kurang teladan ndasmu.


Cukup lama gue menunggu di lantai bawah. Mana perut keroncongan, nggak bawa minum, batuk-batuk. Sampai akhirnya seorang maba datang menghampiri gue. Cewek. Cantik. Baik. Imut. Manis. Unyu.
Hingga pada akhirnya gue tersadar, kalo itu adalah wujud gue yang terpantul dari dinding kaca pintu. Uhuk.

Sekitar jam dua kurang, ada dua orang maba yang masuk. Duduk di samping gue. Kita kenalan, saling menyebutkan nama, menyebutkan alamat, menyebutkan minuman kesukaan, warna favorit, zodiak, cita-cita, hobi dan kesan juga pesan.
Gue terkejut saat mbak-mbak bagian administrasi menyebutkan nama gue. Mempersilahkan gue duduk di hadapannya. Satu hal yang gue takutin. Menatap matanya. Gue takut jatuh cinta.
  '' Ini silahkan tandatangan di sini, '' ujar si mbak-mbak.
Dengan penuh ekspresi gue menandatangani selembar kertas yang disodorkannya. Corat-coret, sret-sret jadilah tanda tangan gue.
  '' LOH KENAPA DI CORET? '' Mbak adm protes. Gue cengengesan.
Sebenernya tanda tangan gue memang rame, penuh, berantakan juga. Di tambah dengan gerakan cepat tangan gue yang terlihat seperti mencoret-coret kolom tandatangan.
  '' Hehee, kan tanda tangan mbak. Ya memang gini tandatangan saya. ''

Padahal dalam hati gue pengen ngomong, '' YA SUKA-SUKA GUE DONG. TANDATANGAN JUGA TANDATANGAN GUE. LEMPAR GOLOK NEH ''

Setelah mengucapkan itu, gue kembali duduk ke tempat semula. Di samping maba yang baru gue kenal tadi.
Gue duduk tenang sambil sesekali mengedarkan pandangan ke muka-muka maba. Saat gue menyandangkan tas ke pundak, oh no. Tali tas gue copot.
Memalukan. Untung saja masih ada tali lainnya.

Tepat jam setengah tiga, para maba naik ke lantai atas. Setengah tiga gaes. Gue datang ke sana jam satu. Satu setengah jam pantat gue panas duduk di kursi. Huh.
Hari itu pembelajaran belum di mulai. Masih perkenalan tentang bagaimana dunia perkuliahan, sistemnya blablablaa dan berakhir pada jam empat.


***


Hari Minggu ini mbak Yoan, sepupu yang sudah dua minggu tinggal di rumah gue akhirnya memutuskan untuk pindah ke kosan. Itu artinya gue harus menemani mba tidur di kosannya.
Setelah beres-beres hingga jam 2 siang, kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Dengan kondisi seperti ini, gue merasa jiwa memasak gue lebih ditantang. Siapa takut. 
Gue akhirnya langsung memutuskan untuk memasak nasi. Ya memang cuma bisa masak nasi sih.
Saat gue sedang memasak nasi dengan khidmat, mbak Yoan terdengar menjerit dari dalam kamar mandi.
   '' HUAAA ADA KODOK!.. HAAAAA ''

Mbak Yoan ngacir ke luar dari kamar mandi.
Melihat hal itu, gue dengan gagah berani langsung mencari tongkat kayu yang panjang dan bergegas masuk ke kamar mandi.
   '' Mana kodokya mbak? '' Di situasi seperti ini gue jadi merasa macho. Gagah abis.
   '' Itu Lan, di balik pintu. ''
Benar saja. Ada seekor kodok dengan perut yang gede sedang berdiam diri di balik pintu kamar mandi. Gue langsung saja menyodok-nyodok kodok tersebut dengan mengarahkan arah lompatannya menuju pintu keluar belakang. 
Dengan penuh perjuangan hingga titik darah penghabisan, akhirnya kodok tersebut berhasil ke luar dari rumah.
Gimana? Gue udah cocok belum bikin acara di tipi. Pengganti acara Petualangan Panji.
Jangan heran kalo suatu saat nanti ada acara, '' Wulan Si Penakluk Kodok '' dalam tayangan tipi kalian semua. 
Keren abis. 


Sore harinya, gue dan mbak keluar untuk membeli jeruk. Berhubung si penjual jeruk adalah orang Padang, mbak Yoan yang memang berasal dari Padang dengan fasih bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Padang.
Gue cuma melongo.
Saat si penjual menunjuk bagian tumpukan jeruk yang bentuknya kecil, gue langsung ngomong dengan pedenya.

  '' KETEK BANA. ''

Si penjual langsung menoleh ke gue. Mbak Yoan juga. Beberapa pembeli juga menoleh ke gue.
Ketek dalam bahasa Padang artinya berukuran kecil.
Jadi maksud gue, itu jeruk yang di tawari si penjual terlalu kecil. Gue nggak suka yang kecil-kecil. Maksud gue, kalo jeruknya kecil otomatis bijinya kecil. Gue nggak suka biji yang kecil. Maunya yg gede kayak biji salak.
Kalo jeruk yang gede, pasti bijiinya juga gede kan. Jadi nggak khawatir kalo keselek saat memakannya.
Gitu.

Selama di perjalanan pulang, gue masih nggak tau kenapa tadi orang-orang pada ngeliatin gue saat gue dengan sok berbicara dengan bahasa Padang.
Apa karena ucapan gue yang salah? Karena intonasi gue yang nyaring? Atau karena gue ketahuan nyicipin 2 jeruk tadi?
Entahlah.

Selang beberapa menit, akhirnya kita sampai di kosan.
Sebenernya ini bukan kosan kalau melihat bentuk tempat tinggal yang di tinggali oleh Mbak.
Kosan ini cukup luas. Ada ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur dua, kamar mandi dan dapur yang cukup gede. Iya dapurnya beneran gede. Nggak tau kenapa.
Kayak kontrakan. Cocoknya sih ditempati untuk orang yang sudah berkeluarga.
  Kalo aku dan kamu, kapan bikin keluarga?

Satu hal yang sempat bikin gue kesal. Pintu  kosannya berat banget. Sempat terlintas di fikiran gue saat hendak menutup pintu kosan, Ini pintu atau beban kehidupan? Berat amat.
Itu masih pintu kosan. Beda masalah dengan pintu kamar. Betewe kita tidurnya di satu kamar. Masih takut meskipun ada dua kamar di kosan ini.

Masalah yang mucul kembali di malam itu adalah,
Pintu kamarnya nggak bisa di kunci dari dalam. Bagus. Kalo ada orang asing yang masuk ke kamar gimana?
Kan serem.
Gue dan Mbak Yoan sama-sama panik. Saling berpandangan.
  '' Duh, gimana dong mbak? ''
  '' Iya Lan,Mbak bingung juga nih. Nguncinya susah kali. ''
Hampir 10 menitan, gue dan mbak sibuk mendorong-dorong pintu, buka-tutup, colokkin kunci, puter sana-sini tapi tetep nggak bisa.
Saat itu yang ada di pikiran gue cuma, menurunkan anu. Maksud gue, menurunkan posisi lubang yang ada di kusen pintu. Gue udah nyoba nurunkan pake tangan. Dengan cara memukul-mukul tangan gue ke besi di lubang itu. Yang ada tangan gue malah sakit.
  '' Mbak, ada palu nggak? '' tanya gue.
Mbak Yoan menggeleng. Gue melihat ke sekeliling. Ada obat nyamuk semprot. Kayaknya kuat nih untuk di pukul-pukul ke lubang besi di kusen pintu.
Baru dua kali pukulan, gue berhenti.
Suara pukulannya terlalu kuat. Takut menganggu tetangga sebelah. Lagian sudah malam juga.
  '' Aduh, gimana ya Lan. Masak kita tidur dengan pintu kamar yang nggak di kunci. Takut. '' Mbak Yoan tetep terlihat bingung.
Gue diem beberapa detik sebelum akhirnya mengambil kunci motor. Membuka jok motor. Mengambil obeng yang ada di sana.
Mengotak-atik lubang pintu. Menekan lubang pintu dengan kuat.

  '' Bisa Lan? ''

Gue diem.

  '' Gimana Lan? Payah nggak? ''

Gue diem. Sibuk konsentrasi demi menyelamatkan tidur kami malam itu.

Selang beberapa lama.
  '' Coba dulu mbak. '' Gue mengambil kunci dari tangan Mbak Yoan.
Dan UHLALAA
Alhamdulillah ya. Pintunya bisa di kunci.


Gue baru menyadari suatu hal. Kayaknya mulai besok gue bakal membuka jasa yang bernama,
 ' Jasa Perbaikan Pintu '.
Bisa memperbaiki :
- Pintu kamar tidur
- Pintu kamar mandi
- Pintu kulkas
- Pintu lemari
- Pintu brankas
- Pintu hati
- Dan pintu surga bagi anak-anak kita kelak.
Ailofyu.



Jam setengah sembilan, akhirnya kita memutuskan untuk tidur dengan penerangan redup dari lampu tidur hello kitty yang dipasang oleh Mbak Yoan.
Serem tau. Malam-malam. Lampu kamar dimatikan dan diganti dengan cahaya lampu redup dari lampu tidur hello kitty.
Hello kitty mana yang bisa mengeluarkan cahaya? Cahaya putih lagi. Serem.
Lebih terlihat seperti  Hello Kitty yang kena kutukan penyihir jahat.
Terkadang ngerasa serem dan kampungan itu memang beda tipis.

Lagi enak-enak hendak memejamkan mata, gue terkejut saat mendengar teriakan dari luar.
  '' MALIING.. MALING ! ''

Gue dan mbak sontak bangun lalu terduduk di atas kasur. Saling bertatapan panik.
Tidak sampai dalam hitungan menit, di luar sudah terdengar ribut. Suara ibu-ibu yang membicarakan maling,, anak-anak kecil, suara rumpi ibu-ibu yang super nyaring, suara obrolan bapak-bapak dan anak remaja lainnya yang masih membicarakan seputar kejadian maling barusan, semuanya terdengar ricuh sekali, bahkan gue sampai mendengar suara percakapan,
  '' Bapak kamu maling ya? ''
  '' Kok tau? ''
  '' Karena kamu telah memaling hatiku. ''

Ternyata itu suara abang-abang tetangga sebelah yang lagi mojok pacaran dengan kekasihnya.

Dan gue baru tau, ternyata begini amat yak jadi anak kosan. Serba parno.
Kangeeen rumah.

Share
Tweet
Pin
Share
44 comments
Newer Posts
Older Posts

Rahayu Wulandari

Rahayu Wulandari
Atlet renang terhebat saat menuju ovum dan berhasil mengalahkan milyaran peserta lainnya. Perempuan yang doyan nulis curhat.

Teman-teman

Yang Paling Sering Dibaca

  • ADAM
  • Ciri-ciri cowok yang beneran serius
  • Pelecehan
  • 5 Tipe Cowok Cuek

Arsip Blog

  • ▼  2020 (5)
    • ▼  September (1)
      • Perjalanan Baru
    • ►  June (1)
    • ►  April (3)
  • ►  2019 (5)
    • ►  October (1)
    • ►  July (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2017 (14)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  July (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (5)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (5)
    • ►  March (5)
    • ►  February (8)
    • ►  January (7)
  • ►  2015 (138)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (8)
    • ►  September (12)
    • ►  August (12)
    • ►  July (6)
    • ►  June (9)
    • ►  May (10)
    • ►  April (15)
    • ►  March (21)
    • ►  February (11)
    • ►  January (24)
  • ►  2014 (18)
    • ►  December (10)
    • ►  November (6)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+

Total Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates